23/12/15

MARIA ZAITUN PELACUR TUA


MARIA ZAITUN PELACUR TUA
Disajikan kembali oleh: Jum’an

Sajak Nyanyian Angsa ditulis di Amerika tahun 1965 oleh sastrawan Willibordus Surendra Broto Rendra atau WS Rendra. Lahir di Solo 1935 (meninggal 2009) dari bapak Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo seorang guru Sekolah Katolik dan ibu Raden Ayu Catharina Ismadillah seorang penari Keraton. Nyanyan Angsa ditulis ketika ia masih beragama Katolik. Setelah memeluk Islam pada tahun 1970 nama almarhum berganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Inilah kisah Maria Zaitun pelacur tua  yang akhirnya menemukan kebahagiaan.  

NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.

Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. 
Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)



14/12/15

SAYA JAMLIKUN - GURU MADRASAH


SAYA JAMLIKUN – GURU MADRASAH
(JALAN YANG URUNG KUTEMPUH)
Oleh Jum’an

Almarhumah ibu saya adalah seorang guru mangaji dari desa kecil di Jawa Tengah. Muridnya anak-anak tetangga dekat saja. Saya kira dia pernah modok di salah satu pesantren. Sedangkan almarhum bapak saya seorang duda yang telah menikah dua kali dan kedua-duanya meninggal dunia. Ia pedagang kitab kuning dipasar-pasar desa. Konon ia menikahi ibu saya karena profesinya itu. Ia sering menginap dirumah paman ibu saya, lalu melamarnya dan diterima baik oleh ibu saya.  Pernikahan itu juga tidak lama karena sebelum saya masuk SD ibu dipanggil pulang ke rahmatullah. Lama sesudah itu, kalau ditanya oleh teman-temannya apakah mau menikah lagi ia sambil bergurau menjawab: “Tidak! Saya sudah bosan membeli kain kafan….” Sekarang di hari tua saya berkhayal: Seandainya saja dulu ibu saya menolak lamaran duda itu, saya sekarang bukanlah saya yang ini. Saya yang sekarang terdampar di Tenabang dan berkantor tepi danau Sunter telah menempuh lorong kehidupan yang panjang dan berliku-liku. Banyak lorong yang urung saya tempuh; sebagian karena pilihan saya, sebagian karena terpaksa dan sisanya karena karena ajakan atau paksaan orang lain.
Kalau saja ibu memutuskan untuk menolak lamaran duda pedagang kitab kuning itu dan memilih menikah dengan pemuda lain, jelas saya tidak akan diberi nama Jum’an. Jamlikun mungkin; nama itu serasi dengan nama anak-anak sedesa saya. Ada kemungkinan saya ikut dengan sepupu saya nyantri dipondok Lirboyo atau Tambak Beras di Jawa Timur dan sepulangnya saya menjadi guru ngaji seperti ibu saya atau jadi guru madrasah. Sepantasnya juga kalau saya lalu menikahi Siti Komsiah yang manis anak Dul Kohar tetangga belakang rumah. Tapi lorong itu tidak saya tempuh. Kalau saja saya ikuti keinginan nenek saya untuk menjaga sepetak sawah dan pekarangan sepeninggal dia, saya pasti berakhir sebagai seorang petani di grumbul Gebang pelosok Cilacap sana. Itupun tidak saya tempuh. Nasib menyeret saya masuk SD, SMP dan SMA membaurkan saya dengan anak-anak kota.
Kalau saja saya memilih masuk fakultas kedokteran bukan fakultas teknik seperti yang saya lakukan, barangkali sekarang saya tidak terkena dampak anjloknya harga crude oil yang menyakitkan seperti sekarang. Saya mungkin tinggal di Pondok Indah menjadi dokter spesialis yang berpenghasilan jutaan rupiah sehari. Tanpa paceklik tanpa krisis. Tapi itu pun tidak saya tempuh meskipun saya diterima di fakultas kedokteran waktu itu. Begitu banyak lorong yang saya tinggalkan yang kalau saya tempuh, saya sekarang bukan saya yang ini. Saya sungguh tidak tahu besok mau ada apa dan dimana saya akan berakhir seperti kata surat Luqman ayat terakhir. Bagaimanapun untu kedua ibu dan bapak sayasaya doakan; Allohummarham huma kama robbayani shoghiro………………Amin.


05/12/15

NOSTALGIA NIKMATNYA DOSA


NOSTALGIA NIKMATNYA DOSA
Oleh: Jum’an

Pada 19 April 1945 ketika Perang Dunia II masih berlangsung, Frank Dickinson seorang pelaut Inggris berada diatas kapal perang HMS Glenearn dilautan Pacific. Ia naik keatas deck sebentar untuk merokok, ketika tiba-tiba diruang bawah terjadi ledakan dahsyat yang menenewaskan 20 opsir dan melukai parah 70 lainnya. Seandainya waktu itu dia tidak naik keatas deck untuk merokok, dia tentu tidak berada dalam rombongan veteran PD II yang berkunjung ke Papua New Guinea sepuluh tahun yang lalu, untuk menziarahi teman-teman mereka yang dimakamkan disana.
Pada tahun 1965 Sir Winston Churchill, perdana menteri Ingris pemenang Perang Dunia II, meninggal pada umur 90 tahun setelah selama 70 tahun praktis menikah dengan cerutu dari tembakau Cuba dan hidup bahagia. Sir Winston dikabarkan meneyimpan antara tiga sampai empat ribu batang cerutu diruangan disebelah kamar kerjanya.

Pada suatu malam ditahun 1968 sejumlah mahasiswa termasuk saya waktu itu, duduk berpencar menyimak catatan kuliah masing-masing, belajar di Aula Pagelaran Sitihinggil Yogya. Aula Pagelaran adalah bagian dari kraton Yogyakarta yang diizinkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk fasilitas perkuliahan Universitas Gajah Mada. Di malam hari lampu-lampu tetap dinyalakan untuk memberi kemudahan dan tempat belajar bagi para mahasiswa yang tinggal disekitar kraton dan daerah kauman. Mereka duduk berpencar agar tidak terlalu dekat satu sama lain. Tidak jarang terjadi salah seorang diantara mereka naik ke mimbar layaknya seorang dosen yang akan memberi kuliah. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit sebatang rokok didepan mulut, sementara jempol kanannya digerak-gerakkan seperti sedang menyalakan korek api. Selalu ada seorang diantara audience yang menyambut dengan mengeluarkan korek dari saku dan mengacungkannya keatas. Turunlah dia dari podium mendekat untuk menyulut rokoknya, tanpa berkata apa-apa dan berterima kasih dengan gerakan tangan saja. Ritual seperti itu biasa diberi nama ”Cigarettes for Peace and Education”

Tahun1998 saya bertobat dan mengundurkan diri dari perasapan tembakau itu. Pokoknya saya tidak ikut-ikutan lagi merokok dan insyaalloh tidak akan mengisapnya lagi untuk selamanya. Tetapi sebagai mantan perokok berat, saya memilih untuk tidak ikut dalam jihad memberantas rokok. Saya tetap suka mencium-cium bungkusnya, dan tidak keberatan kalau sekali-sekali ada segumpal asap Gudang Garam yang wangi lewat didepan hidung. Sebagai bukti sikap non-smoking, saya selalu menyimpan puisi Taufiq Ismail yang berjudul ”Tuhan Sembilan Senti”, dalam bentuk file maupun hard copy, kalau-kalau ada teman yang tertarik untuk membacanya. Inilah bait yang paling saya sukai:

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Dan yang ini:
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Kalau saya ingat-ingat, merokok memang nikmat!


28/11/15

SAYA PILIH SITI MUNAROH


SAYA PILIH SITI MUNAROH
Oleh: Jum’an

Dulu, ketika teman saya sarjana akunting yang berpendirian keras menikah dengan seorang sarjana psikologi, naluri saya mengatakan ada sesuatu yang tidak kena pada pernikahan mereka. Pasangan itu sebenarnya ideal dilihat dari berbagai sudut. Hanya saja keduanya begitu pede dengan kepribadiannya masing-masing, begitu kristal mirip dua kelereng yang sama-sama keras dan bulat sempurna sehingga tidak ada lekuk-lekuk yang bisa berpasangan, tak ada ruang untuk memberi dan menerima.
Padahal seorang pria, seorang pendukung asas persamaan gender sekalipun, sebenarnya merindukan seorang gadis manis yang jujur dan lugu yang ingin dimanjakannya sebagai seorang ratu. Seorang gadis yang menaruh hormat kepadanya, berlindung kepadanya bila ada kesulitan atau bahaya. Seorang pria ingin berperan sebagai guru dan ada murid yang mengagumi bakat-bakatnya. Dengan kata lain ia mendambakan seorang yang dapat membuatnya merasa sebagai gentle-man yang disukai kerena cerdas, berwibawa dan dicintai karena kepribadiannya yang ramah dan simpatik.

Dibalik sana pasti ada seorang gadis yang merindukan pria idaman yang akan mengentaskannya dari gubuk derita dan memboyongnya kesebuah istana emas. Seorang pria yang bisa membuat semua yang kelam berubah menjadi cerah. Wanita mana yang sanggup menolak cinta seorang pria yang menumpahkan segenap perhatian dan memanjakannya seperti seorang dewi. Alangkah mulia seorang pria yang bekerja keras dan tekun yang mempersembahkan hasilnya demi kebahagiaan bersama.
Alkisah pasangan sarjana kristal teman saya bercerai pada tahun kedelapan pasca pernikahan mereka. Tak ada kecocokan dalam banyak hal dan masing-masing kukuh dengan pendiriannya. Setahun kemudian teman saya menikah dengan Siti Munaroh gadis berwajah bulat dari pinggir kota, tamatan madrasah ’aliyah. Berkerudung dan berkebaya. Manis dan ceria. Lugu dan apa adanya.

Siti Munaroh diboyong dari rumah kampung kerumah gedung, sebuah istana emas dimatanya. Ia sangat bahagia, tidak rewel, tidak neko-neko. Anak-anaknya diasuh dan dididik menghormat orang tua, terutama bapak mereka yang telah mengentaskannya dari kesengsaraan kedunia terang benderang. Kebahagiaan sebuah keluarga tradisional. Suami dengan tugas laki-lakinya, istri mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Siti Munaroh mengantar dan menyambut suamiya dengan senyum setiap hari, makan bersama dan solat berjamaah. Bila mereka berada berdua saja, Munaroh dengan tekun mendengarkan semua keluhan suamiya, memberinya dukungan agar tabah dan ia selalu menyertainya dengan doa.

Tahun 2008 Yorkshire Building Society dari Inggris mengadakan sebuah penelitian tentang pandangan pria dan wanita masakini mengenai pasangan yang ideal dalam berkeluarga. Hasilnya sungguh menyimpang dari impian kaum feminis yang mereka kobarkan sejak 1960 an yaitu sebuah dunia dengan persamaan hak antara pria dan wanita. Hasil penelitian itu tidak berbeda jauh dengan isi buku petunjuk tentang keluarga bahagia yang terbit tahun 50 an. Yaitu bahwa para pria lebih menyukai wanita tradisional dan bahwa para wanita merasa bahagia sebagai ibu rumah tangga.
Seandainya diizinkan kembali keumur dua puluh lima, saya akan melamar Siti Munaroh gadis berwajah bulat, ceria, berkerudung dan berkebaya. Tamatan sanawiyah sekalipun….



20/11/15

PRIA MAKIN WANITA


PRIA MAKIN WANITA
Oleh: Jum’an


Menurut statistik PBB, jumlah penduduk dunia pada 2011 ada 7 milyar padahal seabad sebelumnya hanya 1.65 milyar dan pada 2050 nanti akan mencapai 9 milyar lebih. Pertumbuhan yang demikian pesat menuntut ketersediaan bahan pangan, air bersih dan pemeliharaan kesehatan yang tidaklah semudah melahirkan anak. Menakutkan! Tetapi sebuah artikel dalam Live Science memberikan bukti-bukti adanya tanda-tanda bahwa laju pertumbuhan itu tidak akan sebagaimana yang dikhawatirkan, meskipun ini tetap merupakan kabar buruk. Berbagai penelitian ilmiah dan laporan fakta menunjukkan bahwa jumlah dan mutu sperma kaum pria (striker terdepan penembus gawang lawan) ternyata terus-menerus mengalami penurunan. Dua puluh lima tahun lalu, British Medical Journal menerbitkan sebuah makalah tentang kualitas air mani laki-laki antara 1938 dan 1990. Kesimpulannya sangat mengejutkan yaitu bahwa selama 50 tahun itu kadar sperma kaum pria telah menurun drastis dari 113 juta sperma per cc air mani menjadi hanya separohnya yaitu 66 juta per cc. Tulisan lain dalam L.A. Times menyatakan, sebuah bank sperma di Israel yang pada tahun 1991 menolak lebih dari 30% sperma dari donor karena mutunya rendah, sekarang menolak 80% donor karena kwalitas sperma yang makin menurun.

Grace Centola, presiden Society for Male Reproduction yang selama 8 tahun meneliti data donor sperma di Boston Massachusetts sangat yakin adanya penurunan yang signifikan dari volume air mani, termasuk vitalitas sperma untuk berenang mengejar sel telur. Para ilmuwan mengatakan bahwa perubahan mutu sperma ini merupakan ancaman bagi kesuburan laki-laki dan perubahan fisiologis dalam tubuh manusia. Sebuah laporan dalam Mail Online Inggris meyebutkan, satu dari 5 pria di Inggris mengalami masalah kesuburan dan ini adalah krisis. Para ilmuwan telah mengingatkan bahwa keadaan akan semakin parah. Profesor Niels Skakkebaek dari Universitas Copenhagen bahkan menggambarkan masalah ini ‘sama seriusnya dengan pemanasan global’. Dan jika berterusan, trend ini mengindikasikan kaum pria akan benar-benar mandul dalam beberapa generasi saja. Dari polusi berbagai bahan kimia, tuduhan terberat penyebab kemandulan kaum pria adalah dari estrogen sintetis (ethanol estradiol – bahan kimia yang digunakan dalam pil kontrasepsi yang 50 – 100 kali lebih kuat daripada estrogen alami), yang dikonsumsi oleh jutaan kaum wanita diseluruh dunia selama puluhan tahun. Hormon sintetis ini kemudian dikeluarkan melalui air seni wanita dan merebak ke selokan, sungai rawa-rawa dan instalasi pembersian air tanpa dapat dihilangkan maupun dimonitor oleh siapapun karena proses pengolahan air konvensional tidak dirancang untuk menangani estrogen. Sekitar 80% dari 139 sungai di Amerika terkontaminasi oleh senyawa estrogen. Dampak negative estrogen sintetis dalam air telah terbukti dalam banyak penelitian seperti banyaknya ikan jantan yang berubah kelamin dan hewan-hewan air lain yang kehilangan kejantanannya.

Orang tak pernah menyangka bahwa pil KB akan berdampak pada populasi ikan! Para ahli tidak hanya takut pada perubahan kelamin pada ikan, tetapi lebih dari itu. Kesuburan kaum pria juga berada dalam risiko karena hormon dalam pil KB yang masuk kedalam sumber air minum. Bahwa estrogen sintetis dalam pasokan air kita membuat kaum pria kurang jantan. Apa kira-kira komentar kaum pria yang mendapatkan dirinya mandul dan itu disebabkan karena wanita menggunakan Pil KB? Mungkin begini: “Sialan! Saya dijadikan hewan kurban…….disuruh memuas-muaskan diri lalu disembelih mati kesakitan.” Bukankah dapat dikatakan, ketika kaum wanita menelan pil KB, kaum pria dimandulkan tanpa sadar seolah-olah diberi kepuasan seksual tanpa risiko pasangannya hamil dan beranak?

Profesor Richard Sharpe dari Medical Research Council Inggris mengatakan bahwa ganguan hormon ini mem “feminisasi” bayi laki-laki di dalam rahim, menyebabkan peningkatan cacat lahir, kanker testis, dan jumlah sperma rendah. Itukah sebabnya kita makin banyak melihat pemain sinetron yang keperempuan-perempuanan di TV?Bermula dari ketakutan ledakan penduduk dunia, manusia berusaha susah-payah dengan penuh harapan untuk mengatasinya. Tanpa diduga usaha itu menusuk balik dari arah yang tidak diduga yaitu menjadikan kaum pria sebagai korbannya. Mereka makin kurang jantan, mandul, penyakitan atau menjadi bencong. Apa daya. Manusia telah berbuat, mereka juga yang harus menanggung akibatnya. Atau terserah apa kata anda……….

Referensi: (I) , (II) , (III) , (IV) , (V)




12/11/15

MENUA DENGAN LAPANG DADA


SAMBUT HARI TUA DENGAN LAPANG DADA
Oleh: Jum’an Basalim

Proses penuaan adalah fenomena alamiah dan universal, semua orang akan menua dengan sendirinya. Suatu saat dalam hidup kita terpaksa membiarkan sesuatu terlepas, menangisi yang hilang dan menggeliat bangkit untuk meneruskan pejalanan. Orang tua memang menurun fisik dan memorinya. Di Amerika dimana sikap generasi muda terhadap orang tua tidak terlalu ramah, ada sebutan ”Dirty Old Man” dengan konotasi bahwa orang tua itu lusuh dan tidak berguna. Tidak ada lagi kontribusinya untuk masyarakat karena lemah dan rentan. Di China orang tua lebih dihormati. Pemerintah di sana memberikan lima jaminan bagi orang tua: cukup makan, cukup pakaian, papan, pengobatan dan biaya penguburan. Lepas dari sampai dimana bukti pelaksanaannya, ini menunjukkan bahwa masyarakat China memberikan tempat terhormat bagi orang tua mereka. Di Indonesia orang tua juga mempunyai kedudukan yang mulia. Pepunden tempat kita sungkem di hari Lebaran, memohon restu dan nasihat.

Hari tua itu lebih baik disambut dengan ramah, jangan sekali-sekali dilawan. Kalau bisa, menualah dengan ikhlas. Takut seksualitas menurun, rambut memutih dan kulit keriput? Ketakutan itu timbul hanya karena kita membayangkannya dengan otak muda. Pada saat mengalaminya kelak, kita akan memahaminya sebagai kewajaran belaka. Asalkan kita menjaga keseimbangan jasmani dan rohani. Usia tua berarti menghampiri maut. Maka banyak orang menghadapinya dengan rasa cemas yang mendalam dan berkepanjangan. Orang yang beriman dan percaya kepada kehidupan akhirat dan meyakininya dengan sungguh-sungguh, menanggapinya dengan sikap yang lebih ringan bahkan disertai harapan akan kehidupan yang baik di sana nanti. Kebersamaan spiritual dengan orang-orang yang se-iman juga memberikan rasa senasib dan sepenanggungan yang menghilangkan kecemasan. Hidup bukanlah sebuah jalan yang terus menurun dari dataran tinggi yang terang benderang menuju lembah kematian yang gelap gulita. Meskipun kebanyakan orang muda beranggapan bahwa orang tua itu mudah tersinggung dan pemarah, penelitian menunjukkan orang menjadi lebih bahagia ketika sudah tua. Penelitian membuktikan bahwa grafik tingkat kebahagiaan manusia berbentuk huruf U dengan titik yang terendah pada usia sekitar 45 tahun, kemudian naik lagi. Meskipun kualitas fisik manusia menurun setelah usia pertengahan, kepuasan mental justru meningkat. Kebanyakan orang hidup ceria sampai usia 20 tahun. Lalu menurun sampai usia pertengahan yang dikenal sebagai krisis paruh baya yaitu pada umur 45 – 50 tahun. Yang mengejutkan adalah yang terjadi sesudah itu. Meskipun karena menua orang kehilangan miliknya yang berharga seperti vitalitas, ketajaman mental dan penglihatan, mereka ternyata memperoleh apa yang dicari orang dalam hidup selama ini yaitu kebahagiaan. Ini dapat disebabkan oleh kemampuan mereka mengatasi sesuatu dengan lebih baik, dapat juga oleh menurunnya harapan dari kehidupan, dimana orang tua tidak lagi bersedia memaksa diri dalam bidang pribadi maupun pekerjaan. Banyak penjelasan mengapa grafik kebahagiaan berbentuk huruf U tetapi penyebab yang dominan adalah menurunnya ambisi dan penerimaan kenyataan apa adanya. Penelitian yang lain menemukan bahwa otak orang tua lebih suka untuk memproses informasi positif dibanding otak orang muda. Orang tua memandang dunia melalui kacamata berwarna sejuk, lebih mengingat yang baik daripada yang buruk.

Sementara orang muda cenderung menikmati pengalaman yang menggairahkan seperti seperti berkelana, jatuh cinta atau mencari sensasi, orang tua lebih menyukai pengalaman biasa dan kesenangan sehari-hari, dan memperoleh jati-diri dari jenis pengalaman ini. Semakin tua, orang semakin menghargai hal-hal kecil. Orang tua, karena menyadari lebih dekat dengan kematian, mereka lebih hidup untuk saat ini, fokus pada hal-hal penting sekarang dan kurang pada tujuan jangka panjang. Orang muda menyangka, alangkah menakutkannya mendekati kematian. Tetapi orang tua tahu apa yang lebih penting dengan niat memanfaatkan sisa usia sebaik-baiknya. Kebanyakan orang tua memutuskan untuk menerima kekuatan dan kelemahan mereka, apa adanya dan melepaskan harapan untuk menjadi orang yang terkenal atau berkedudukan. Alangkah leganya merasakan sensasi ketika kita menyerah berjuang untuk tetap tampak muda. Tak usah mengecat rambut dan diet yang menyiksa. Menerima ketuaan adalah sumber kelegaan yang membahagiakan. Orang yang lega dan bahagia lebih cepat sembuh dari penyakit dibanding mereka yang cemas dan ambisius. Jadi meskipun orang tua cenderung kurang sehat daripada yang lebih muda, kebahagiaan mereka membantu melawan kerapuhan.

Ada bonus istimewa bagi kita di hari tua yaitu cucu. Cucu adalah sumber kebahagiaan, kemesraan dan kegembiraan. Megasuh dan mendidik adalah kewajiban orang tuanya. Cucu adalah sepenuhnya balas-jasa dari anak tanpa mengurangi hak mereka sebagai ayah-ibu. Berkah dari Sang Pengasih; sumber keceriaan yang instan, penenteram resah dan gelisah, obat rindu dan hiburan diusia senja. Cucu adalah kompensasi dari Tuhan untuk kita yang menua. Bagi sang cucu, kakek dan nenek itu orang tua ya, guru ya dan teman main juga ya. Kakek dan nenek yang berambut perak dan berhati emas; murah dengan pelukan dan ciuman, dongeng dan oleh-oleh. Tempat terbaik bagi cucu yang bersedih adalah dipangkuan kakek. Menjadi kakek cukup membebaskan seseorang dari dari tanggung jawab sehingga ia boleh berteman saja dengan cucunya. Jangan sedih jangan berduka. Pada usia 80 tahun nanti semoga kita lebih bahagia daripada waktu kita berumur 20 tahun.


06/11/15

TUHAN SEMBILAN SENTI


TUHAN SEMBILAN SENTI
Oleh: Taufiq Ismail 



Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,

tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok,

tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya.

Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

22/10/15

MUSLIHAT AKHIR MASA JABATAN


MUSLIHAT AKHIR MASA JABATAN
Oleh: Jum’an

Perasaan senang selalu timbul ketika orang berhasil menyelesaikan tahap akhir dalam kegiatannya seperti menyelesaikan kuliah di Perguruan Tinggi atau membangun rumah. Kita serta merta menjadi baik budi dan murah hati. Mengunjungi teman lama, makan di luar bersama keluarga atau bersedekah. Disertai harapan agar kesalahan-kesalahan yang dilakukan waktu menyelesaikan kegiatan itu tertebus dan agar terhindar dari terpeleset pada momen momen terakhir. Tetapi segala sesuatu selalu ada sisi terang dan sisi gelapnya. Demikian pula dengan sensasi yang menyenangkan dari tahap akhir suatu kegiatan. Euforia karena keberhasilan sekaligus mengendorkan kewaspadaan. Perasaan tanpa beban menyebabkan  orang cenderung bertindak menggampangkan dan gegabah.  

Menurut hasil sebuah penelitian terbukti bahwa pada babak akhir suatu kegiatan, orang cenderung terangsang untuk menipu ketika mereka memiliki peluang. Motivasi dibalik perbuatan jahat tersebut adalah kekhawatiran mereka akan menyesali kehilangan kesempatan yang terakhir. Dalam penelitian itu ratusan peserta direkrut melalui internet untuk berpartisipasi dalam eksperimen melempar koin dan menebak sendiri apakah koin itu akan jatuh pada permukaan yang satu atau yang sebaliknya. Setiap eksperimen terdiri dari 20 kali lemparan. Sebagian diminta untuk mengulang eksperimen itu sebanyak 7 ronde, yang lain 10 ronde dan kelompok lain lagi 13 ronde. Tebakan yang benar akan diberi kompensasi sedikit uang tunai. Semua diminta untuk melaporkan hasil tebakannya dengan jujur agar penelitian itu bernilai. Tetapi karena mereka mengerjakannya secara pribadi, maka bila peserta berbohong pun tidak akan ketahuan. Tetapi menurut statistik, koin yang dilempar berkali-kali, kemungkinan jatuh pada satu sisi atau sisi yang lain rata-rata adalah sama yaitu sekitar 50%. Pada ronde-ronde awal laporan hasil tebakan yang benar memang menunjukkan angka disekitar 50. Tetapi pada ronde akhir angka itu berubah drastis. Mereka yang diminta mengikuti percobaan 7 ronde, menipu dan melaporkan tebakan benarnya sangat tinggi pada ronde ke tujuh. Demikian pula yang diminta mencoba 10 ronde, mereka masih jujur sampai ronde ke 9 dan menipu seenaknya pada ronde ke 10. Demikian pula kelompok 13 ronde. Ini membuktikan kecenderungan menipu pada tahap akhir memang benar terjadi. Dan bahwa apa yang membuat orang ingin menipu bukan berapa banyak kesempatan yang mereka miliki, tetapi berapa banyak peluang yang masih tersisa.

Untuk memperjelas apakah fenomena penipuan pada tahap akhir ini juga berlaku dalam kehidupan yang nyata, diadakan eksperimen sejenis. Para peserta penelitian diminta untuk membaca 7 atau 10 buah artikel dan akan dibayar sesuai dengan lamanya waktu yang mereka laporkan untuk menyelesaikan setiap artikel. Tanpa sepengetahuan mereka, waktu mereka juga dicatat dengan timer rahasia. Hasilnya tidak berbeda dengan eksperimen melempar koin, ketika mereka membaca artikel terakhir mereka melaporkan menghabiskan waktu setidaknya 25% lebih dari yang sebenarnya mereka lakukan, demi bayaran lebih tentunya. Kecurangan kebanyakan terjadi ketika orang berfikir mereka mendekati garis finish.

Menggunakan analogi akhir masa jabatan dengan ronde terakhir atau garis finish, sangat pantas diduga bahwa seseorang pada akhir masa jabatannya cenderung berkeinginan menipu untuk kepentingan pribadi setiap ada kesempatan. Sebab kalau tidak, ia akan kehilangan kesempatan terakhir yang ada. Apalagi menurut penelitian itu, kemampuan untuk mengantisipasi masa depan meningkat ketika seseorang berada pada tahap akhir kegiatannya. Kemampuan antisipasi dapat membantu orang memeras tenaga untuk memeperoleh tambahan hasil hingga maksimal pada saat-saat terakhir seperti petinju yang hampir kalah, tetapi berhasil menghajar lawannya hingga K.O. pada ronde terakhir.


Ketika masa jabatan menjelang berakhir maka situasi menjadi rawan terhadap penyelewengan. Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, mereka merekayasa kegiatan-kegiatan yang dapat mengalirkan uang untuk mereka secara tidak halal. Membangun fasilitas-fasilitas yang tidak urgen misalnya gedung pertemuan, komputerisasi administrasi, atau bila perlu memindahkan lokasi pasar. Saya menduga bahwa banyak proyek rekayasa yang diputuskan disaat menjelang akhir jabatan yang telah mengakibatkan banyak kebocoran dalam pembiayaannya. Oleh karena itu kewaspadaan yang lebih, perlu ditegakkan terhadap keputusan-keputusan yang diambil pada akhir masa jabatan untuk mencegah adanya kesengajaan memanfaatkan peluang terakhir untuk korupsi. Percayalah!

16/10/15

BERKERUMUN DAN BERDESAKAN


BAHAYA BERKERUMUN DAN BERDESAKAN
Oleh: Jum’an

Tragedi Mina 2015 yang menewaskan lebih dari 1000 jamaah haji mengingatkan bahwa potensi bahaya kerumunan massa adalah nyata dan menakutkan sehingga orang harus waspada  setiap saat. Kesalahan manusia berulang dari waktu kewaktu seiring dengan dinamika kehidupan yang tidak pernah berhenti. Penyelenggara acara-acara perhimpunan besar yang rutin harus selalu berusaha menjaga, mengatisipasi dan mengevaluasi keamanan dan keselamatan hadirin yang terlibat dalam acara itu. Lebih-lebih peyelenggaraan ibadah haji yang berskala internasiaonal. Pemerintah Arab Saudi telah melibatkan ahli-ahli dari seluruh dunia termasuk dari perusahaan desain tingkat Dunia terkenal  Arthur Gensler Associates  dari San Francisco AS dalam Mega Project “Redesigning Mecca” untuk meningkatkan aliran dan keselamatan di semua situs utama haji, dari masjidil-haram sampai ke Mina. Seperti kita ketahui tragedi kematian massal karena berdesakan tidak hanya terjadi pada jamaah haji dan acara ziarah keagamaan lainnya tetapi juga dalam banyak acara–acara sosial budaya seperti prosesi pemakaman, acara hiburan, pembagian bahan makanan, bencana alam, insiden kebakaran, kerusuhan dan acara olahraga. Salah satu insiden desak-desakan massa yang fatal yang mungkin pertama kali didokumentasikan terjadi pada tahun 1896 ketika penobatan Tsar Nicholas II di Rusia. Sebanyak 1.000 orang tewas setelah rumor menyebar dikalangan pengunjung bahwa stan pembagian hadiah kehabisan souvenir. Pada tahun 1941, selama pemboman kota Chongqing di Cina oleh Jepang 1.000 orang tewas ketika berdesak-desakan di terowongan Jiaochangkou yang merupakan jalur menuju ke tempat perlindungan dari serangan udara. Suatu studi epidemiologi mencatat sebanyak 215 peristiwa fatal berdesakan antara tahun 1980 dan 2007.

Berdesak-desakan adalah gerakan akibat rangsangan massal diantara kerumunan ternak atau manusia dimana mereka secara kolektif mulai bergerak tanpa arah atau tujuan yang jelas. Rangsangan ini merupakan respons biologis di dalam otak dan kelenjar endokrin, yang bagi hewan ternak berguna untuk membantu menghindarkan diri dari sergapan predator. Anehnya manusia begitu rentan terhadap bahaya ketika berada dalam kerumunan massa. Padahal ikan teri (bilis) sampai jenis burung jalak sangat kompak dalam berkoordinasi ketika mereka sedang ramai berkelompok. Mereka tidak pernah saling bertabrakan. Ribuan burung yang terbang dengan kecepatan tinggi sanggup melakukan manuver secara tiba-tiba dengan koordinasi yang tepat; sungguh mengagumkan. Ternyata hewan memiliki sistem sosial dan membuat keputusan bersama yang sangat teratur. Menurut pakar ekologi Dr. Iain Couzin kawanan burung atau kelompok ikan yang sangat sigap berkordinasi menandakan bahwa mereka telah ber-evolusi  untuk melakukannya.  Sayangnya, manusia tidak demikian. Kita telah berkembang menjadi kelompok keluarga kecil. Pada manusia biasanya insiden berdesakan terjadi karena rasa panik yang menyebar, bukan karena lingkungan yg benar-benar berbahaya. Respons mereka lah yang menciptakan bahaya. Respons kolektif yang kuat adalah hal yang sangat berbahaya dalam situasi tertentu.

Ada empat unsur utama yang perlu diingat untuk dapat memahami penyebab, upaya pencegahan dan kemungkinan meringankan bahaya kerumunan yang sedang berlangsung. Juga untuk mengingatkan bahwa situasi kerumunan dapat dengan cepat menjadi ancaman dan berpotensi mematikan. Pertama, kekuatan desakan dari kerumunan massa. Kekuatan desakan beberapa orang saja sudah cukup mematikan. Dalam kerumunan yang padat seseorang tidak dapat menahan kaki di tanah dan tidak bisa mengontrol kemana akan bergerak. Ia hanya bisa mencoba untuk menjaga keseimbangan saja. Desakan massa dapat meningkat sampai tidak mungkin untuk ditahan.  Sebagian besar kematian dalam tragedi berdesakan adalah karena sesak nafas, bukan karena terinjak-injak. Besarnya kekuatan desakan massa terlihat dari pagar baja yang sampai bengkok setelah beberapa insiden yang fatal. Kekuatan itu berasal dari dorongan dan efek domino dari orang yang bersandar satu sama lain. Sesak nafas terjadi pada orang-orang yang tertumpuk secara vertikal, atau dorongan  dan himpitan horizontal. Unsur yang ke dua adalah informasi, yang menyebabkan massa bertindak atau bereaksi. Termasuk semua sarana komunikasi, pemandangan dan suara yang mempengaruhi persepsi massa, pengumuman kepada publik, tindakan personil, tanda-tanda, dan bahkan loket karcis, yang dapat memicu gerakan kelompok yang cepat. Yang ketiga, ruang atau tempat dimana insiden kerumunan terjadi. Konfigurasi, daya tampung dan kemampuan mengatur lalu lintas hadirin menentukan kepadatan kerumunan. Ruang tempat berdiri dan duduk, perkiraan jumlah hadirin, kapasitas koridor,  tangga, pintu, eskalator, dan lift. Yang terakhir adalah unsur waktu: lamanya acara, penjadwalan serta kecepatan untuk mengatur kelancaran. Perlu diingat bahwa pada proses kedatangan kepadatan lebih bertahap dan renggang sebelum acara, dibandingkan saat keluar dimana kerumunan bergerak lebih capat dan lebih padat.

Strategi sederhana untuk mencegah bencana kerumunan massa adalah dengan mengorganisir dan mengontrol lalu lintas dengan sarana pembatas. Tetapi pagar pembatas dalam beberapa kasus dapat menggiring kerumunan menuju daerah yang justru sudah padat. Oleh karena itu pagar pembatas dapat menjadi solusi maupun penyebab berdesakan. Yang menjadi masalah adalah kurangnya umpan balik dari orang-orang yang terhimpit dibagian depan kepada orang banyak yang mendesak dari belakang - umpan balik sebenarnya dapat diberikan oleh pengawas dari tempat yang lebih tinggi, seperti panggung atau diatas kuda, yang dapat mengamati kerumunan dan menggunakan pengeras suara untuk berkomunikasi dan mengarahkan orang banyak.

Kerumunan yang besar bisa sangat aman, dan kerumunan kecil dapat mematikan. Secara umum kerapatan empat orang per meter persegi adalah rasio yang aman. Jika lebih dari itu-terutama dalam kerumunan yang bergerak- sebaiknya anda mencari jalan untuk keluar. Jika tidak, jika seseorang mendorong anda, anda tidak akan memiliki ruang untuk menapakkan kaki untuk menstabilkan diri. Jika anda jatuh, orang lain mungkin tersandung anda, membuat tabrakan beruntun. Sementara itu kerumunan yang selebihnya akan terus merangsek maju, tidak menyadari situasi anda, dan tekanan akan menumpuk. Tanda bahaya lain yang lebih jelas adalah bila anda merasa tersentuh dari keempat sisi; kiri kanan depan belakang. Itulah saat untuk anda berusaha menghindar dari krumunan. Kesempatan terakhir adalah ketika anda merasakan gelombang kejut merambat melalui kerumunan. Yaitu ketika orang-orang di belakang mendorong maju, tetapi orang-orang di depan tidak dapat bergerak. Jika anda merasakan goyangan penonton seperti ini, Anda berada dalam bahaya serius. Tunggu sampai kerumunan berhenti bergerak dan kemudian lambat-lambat cari jalan ke samping dan ke belakang, zig-zag untuk menyelamatkan diri.


09/09/15

LHO! ANDA KAN PAUS



LHO! ANDA KAN PAUS
Oleh: Jum’an

Siapalah saya ini mau mepersunting puteri juragan! Bagai pungguk merindukan bulan.  Saya sadar dan tahu diri, saya hanya satpam kantor koperasi, miskin dan kurang gizi. Mengenaskan betul nada ungkapan ini. Sebuah pengakuan yang rendah hati, pasrah,  bersahaja, terus terang, dan mengundang simpati. Siapalah saya ini juga memberi jalan  untuk mengelak dari beban atau tuntutan yang terlalu berat. Kalau anda diminta untuk memprediksi bagaimana ekonomi Indonesia 10 tahun yang akan datang, jangan lama-lama berpikir ucapkan saja mantera ini: Siapalah saya ini diminta meramal ekonomi bangsa satu dekade kedepan! Lebih-lebih bila anda diminta menilai pribadi seseorang. Jangan suka menghakimi jangan mudah menilai katakan saja siapalah saya ini untuk menilai pribadi orang.  Ingat ketika Paus Francis ditanya oleh wartawan tentang sikapnya terhadap pendeta gay. Beliau menjawab:Jika seseorang gay dan ia mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapalah saya ini untuk menghakimi?" Paus bukan orang awam yang dapat menggunakan ungkapan sekehendak hatinya seperti kita. Ucapannya ternyata telah menghebohkan dan mengundang kontroversi. Banyak orang yang mendengarnya kaget dan bingung: Lho anda kan Paus! yang tugasnya justru untuk menghakimi mana yang salah dan mana yang benar? Mengapa tiba-tiba mengatakan siapalah saya ini untuk menghakimi? Bukankah penghakiman - terutama dalam hal seksualitas - sudah berabad-abad menjadi bagian dari job description kepausan?. Seperti orang tahu, agama Katholik, sebagaimana Islam juga, mengaharamkan homoseks sebagai salah satu dosa besar. 

Ungkapan Paus siapalah saya ini untuk menilai, menurut NewYork Times tentulah tidak bermaksud menafikan kewenangan gereja dalam hal iman dan moral. Ia hanya mengadopsi nada rendah hati. Perbuatan homoseks jelas dosa tetapi kecenderungan gay menurut Paus bukan masalah. Tetapi pemilihan nada rendah hati dan penggunaan kata gay oleh Paus menjadi penting dan mempunyai dampak. Ini memberi sinyal bahwa Vatican akan berhenti meng-kambinghitam-kan kaum gay dalam masalah personalia dan kedinasan. Dan juga berdampak besar yang melegakan kaum gay, lesbian, biseksual dan transgender muda terutama yang dibesarkan dalam keluarga Katolik, yang selama ini berpikir bahwa aspirasi mereka hanyalah dosa dan keji, noda moral urutan tertinggi.

Bagaimanapun nada, kesan dan dampak ucapan Paus tentang siapalah dia untuk menilai, banyak juga orang yang lebih suka mengartikan apa adanya, secara harfiah. Ronald Mann, professor Fisika Univ. Louisville menulisnya dalam Crisis Magazine. Ia merasa gerah dan bosan dengan kekonyolan ucapan Paus “siapalah saya ini”. Hanya Tuhan yang bisa menilai jiwa manusia. Tetapi omong kosong untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa dan tidak boleh menghakimi perilaku manusia. Keengganan untuk menilai perilaku moral adalah konsekuensi tak terelakkan dari subjektivisme yang telah mengikis kepercayaan pada kemampuan untuk menentukan kebenaran moral obyektif yang mendasari penilaian yang baik. Penghakiman adalah bagian penting dari pelaksanaan kewenangan. Jika Anda tidak memiliki keberanian untuk menilai, maka Anda harus menghindari posisi otoritas. Tidak mau menghakimi adalah kutukan zaman kita. Tidak mau menghakimi adalah melalaikan tugas yang menimpa begitu banyak hirarki Gereja. Mengaburkan pesan Tuhan, menabur kebingungan di kalangan umat beriman, dan melemahkan usaha awam untuk melawan kepalsuan.

Tidak adanya penilaian dan penghakiman yg kompeten sehubungan dengan skandal sodomi meningkatkan perilaku menyimpang dari sedikit pendeta yg bobrok menjadi skandal internasional yang menjadikan kepausan dicemooh dan melumpuhkan Gereja selama beberapa dekade. Kebanyakan pendeta, uskup, kardinal, dan paus adalah orang-orang baik yang berdedikasi. Tapi mereka memiliki kesalahan, bias, dan kesombongan seperti orang lain juga. Menjilat merupakan bahaya yang selalu ada. Semua orang selalu ingin dipromosikan ketingkat yang sebenarnya ia belum mampu mengerjakannya. Dan ini jelas berlaku bagi anggota hirarki Gereja. Sehingga mereka sering menyerah pada semangat sesaat yang menyamar sebagai kepedulian gereja. Sikap transparan, terbuka dan rendah hati memang terpuji tapi mengendalikan narasi ketika seorang pejabat otoritas berbicara didepan umum adalah penting. Media masa kini sangat siap mengolah dan menafsirkan serta menyiarkannya. 

Yang menarik bukan hanya siapalah saya ini, tetapi juga siapalah dia itu: Siapalah dia itu! Mencaci maki pemerintah seenak perutnya. Kasih dia jabatan ….paling juga tidak becus! Memang siapalah saya ini tetapi siapalah dia itu.


28/08/15

SAYA TIDAK SUKA MALALA TETAPI...


SAYA TIDAK SUKA MALALA TETAPI…
Oleh: Jum’an

Saya memang kurang mampu mengontrol tindakan dan perilaku saya sesuai dengan yang saya inginkan. Tidak bisa berdisiplin dalam mengatur waktu sehingga banyak peluang yang terlewat hilang sia-sia. Begitu banyak pekerjaan yang saya rencanakan, sasaran yang ingin saya capai tetapi begitu sedikit yang kesampaian. Satu jam lebih menguap dengan cepat hanya untuk membaca dan membalas e-mail, menengok facebook, menonton video You Tube yang dikirim teman atau membaca berita. Selalu terdengar bisikan yang siap memaafkan menunda pekerjaan yang utama: “Yang itu kan bisa nanti. Kalau bisa besok kenapa harus sekarang. Apa salahnya ditunda sehari”. Kebiasaan tarsok-tarsok ini terasa sebagai beban yang makin berat sehingga menimbulkan rasa dongkol dan membenci diri sendiri karena memang saya sendirilah biang penyebabnya.

Sudah lama saya mempunyai angan-angan untuk menulis tentang Malala Yousafzai. Saya merasa tidak senang karena sebagai seorang muslimah yang belum begitu matang ia disanjung dan diidolakan oleh Media Barat, sampai-sampai dinominasikan untuk memperoleh hadiah Nobel. Risi rasanya mendengar ia mengucapkan kata-kata yang sepantasnya diucapkan orang yang lebih dewasa dengan jari menunjuk-nunjuk seperti menggurui. Saya duga banyak orang juga kurang senang meskipun misi mereka bermaksud meningkatkan pendidikan anak-anak perempuan di lingkungannya. Mulailah saya mengumpulkan dan membaca segala ihwal tentang Malala dan komentar orang-orang mengenai dia. Tetapi karena kebiasaan menunda-nunda, saya lama-lama menjadi kesal karena terlalu asik mengunduh berita dari segala penjuru dan enggan untuk mulai menulis.

Perasaan kesal itu membuat saya kurang bergairah untuk meneruskan rencana menulis tentang Malala. Seperti ada yang memaksa-maksa padahal rencana itu adalah cita-cita saya sendiri. Sampai akhirnya saya tidak tertarik lagi terus menerus melihat potret Malala dan mulai mencari-cari topik lain. Saya memilih membiarkan Malala bertingkah semaunya diusung kesana kemari dan diliput oleh wartawan barat. Biar orang lain saja yang menilai. Saya tidak peduli. Lagipula ia bukan anak Indonesia!

Tidak jarang saya terbelah menjadi dua: saya yang sadar dan berfikir rasional mempunyai rencana dan cita-cita dan saya yang senang menunda, mengelak dan enggan bertindak untuk mencapai cita-cita itu. Sayangnya pergulatan antara keduanya sering dimenangkan oleh bawah sadar saya yang membangkang terhadap kehendak akal sehat.


Memang bawah sadar kita lain kelakuannya. Ia bukan berpedoman kepada rasio. Ia konon bekerja dengan menggunakan prinsip keakraban. Penelitian oleh Robert Zajonc ahli psikologi sosial terkenal telah membuktikan bahwa keakraban sederhana cukup membuat seseorang menyenangi sesuatu. Lebih akrab lebih suka. Dan keakraban semata dapat menyalip pemikiran sadar dan mempengaruhi pengambilan keputusan. Orang cenderung mengembangkan pemilihan berdasarkan keakraban. Kita umumnya lebih akrab yang aman, yang nyaman dan menyenangkan dan tidak dari yang sebaliknya. Begitulah saya selalu memutuskan memilih  mengerjakan yang lebih menyenangkan meskipun niat semula ingin berkarya. Bila tidak ada teguran atau akibat buruk yang terasa saya terus menggunakan autopilot keakraban untuk mengendalikan aktivitas sehari-hari. Kalau hanya kadang-kadang, menunda tidak apa-apa. Setiap orang juga sekali-sekali menunda pekerjaan mereka. Tetapi bila menjadi kecanduan, beginilah akibatnya hanya ingin menulis dua halaman saja tidak tuntas. Akibatnya urunglah niat saya mengumpat Malala…

05/08/15

MEMAHAMI ORANG ALIM KORUPSI


MEMAHAMI ORANG ALIM KORUPSI
Oleh: Jum’an

Alim dalam bahasa Indonesia berarti banyak mempunyai ilmu terutama dalam hal agama Islam. Juga berarti saleh yaitu taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah atau suci dan beriman. Apakah saya termasuk orang alim? Pengetahuan agama Islam saya, syahadat serta rutinitas ibadah saya menunjukkan bahwa saya berada di atas jalur untuk menjadi orang alim. Karena pandangan tentang diri-sendiri adalah subjektif dan tingkat kealiman sebenarnya tidak dapat diukur, saya perkirakan bahwa tingkat kealiman saya mungkin rendah sekali. Tetapi karena kebaikan yang hanya yang sebesar zarahpun tetap berharga, saya berani mengaku mempunyai tingkat keimanan serta kealiman tertentu betapapun rendahnya dihadapan Allah dan dalam pandangan orang lain. Saya hanya ingin mengatakan bahwa sebagai orang yang beriman saya sering atau kadang-kadang merasa begitu dekat dengan Allah; perasaan yang pasti juga sering anda alami. Sedekat yang sering digambarkan orang sebagai “seolah-olah berdialog langsung” denganNya. Biasanya saya lalu meneteskan air mata atau tersedu-sedu atau hati menjadi lega atau bangkit bersemangat ataupun tidak risau lagi tentang kesulitan duniawi. Seperti yang dikatakan dalam Qur’an: Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram? Pengalaman dan perasaan seperti itu saya anggap mempunyai nilai spiritual yang dalam dan saya menikmatinya.

Setelah lama merenungkan kilas balik pengalaman batin itu saya menengarai adanya pengaruh yang menyimpang terhadap perilaku hidup saya. Kedekatan itu lama-lama menimbulkan keyakinan bahwa Allah memang memperhatikan saya secara pribadi, memahami semua kelemahan-kelemahan saya dan dengan sifatNya yang Maha Pemurah lalu mengasihani, memberikan maaf dan kelonggaran untuk saya. Saya merasa sebagai seorang hamba yang disayangiNya. Dan ini membuat saya tidak risi atau canggung mengendorkan disiplin beribadah. Saya sering terlambat salat tanpa perasaan menyesal karena yakin bahwa Dia mengerti saya: hambaKu yang lemah ini terlalu lelah mengais rejeki yang halal. Biarlah terlambat salat sedikit tak apa. Begitu bayangan sikap Allah dalam kepala saya.

Apakah ini sebuah anugerah atau perangkap? Kelemahan mental yang menyamar sebagai ketaatan beragama? Apakah perasaan akrab saya kepadaNya itu palsu? Sesuatu yang bukan saja subyektif tetapi justru merupakan godaan dan perangkap setan? Bagaimana pengalaman batin yang saya rasakan begitu meresap dalam hati yang saya anggap sebagai prestasi dalam menghayati nilai-nilai agama ternyata telah mengaburkan orientasi saya. Saya menjadi terlalu mudah memmaafkan diri sendiri dan menjadikan kata hati sebagai panutan. Yakin Allah berpihak kepada saya. Saya lalu menduga bahwa orang yang lebih dan benar-benar alim juga menghadapi perangkap seperti ini. Keyakinan memiliki hubungan khusus dengan Allah dan memperoleh  dispensasi dan kelonggaran untuk memotong kompas menempuh jalan samping sendiri.  Apa jadinya kalau ia memegang jabatan pemerintahan atau bendahara yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat. Dengan dalih demi kesejahteraan umat, menghimpun dana melalui jalan samping tentulah diperkenankan Tuhan. Ini merupakan konskwensi logis dari keyakinan seorang alim apabila dugaan saya diatas adalah benar.


Berbeda dengan orang alim, penganut aliran yang kelewat fanatik dapat terperangkap lebih dalam: bukan saja merasa mepunyai hubungan khusus dan memperoleh dispensasidari Allah swt. Mereka merasa bangga karena yakin bahwa mereka lebih berhak memiliki Allah dari pada orang lain. Bahwa Allah adalah monopoli mereka dan memihak kepada mereka. Sikap memonopoli Allah, tanpa mereka sadari dapat melambungkan ego manjadi takabur dan sekaligus mengecilkan arti kebesaran Allah. Orang alim seharusnya bersikap lemah lembut karena sadar bahwa mereka adalah milik Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tetapi kealiman (seperti juga semua sifat baik lainnya) juga membawa godaan yang dapat menjadikan orang terperangakap ke jalan yang sesat. Tetapi anda boleh juga memungkas pendapat saya dengan mengatakan: Kalau ada orang alim korupsi, artinya dia bukan orang alim. Titik