Oleh: Jum’an
(Saya
senang tulisan th 2009 ini masih sering dibaca orang. Di Wordpress saja, th 2014 masih ada 1,200 pembaca. Smp April, th. ini ada 580 orang. Untuk orang spt saya
alhamdulillah sekali, ini saya muat lagi. Mba Atun meninggal 2 bulan yang lalu.)
Sejak kecil memang
saya sudah mulai dibentuk. Karena sampai tamat SMP tidak pernah berpindah
tempat tinggal, maka tulang-tulang dan gigi saya hanya terbuat dari bahan-bahan
yang berasal dari hasil bumi desa kelahiran saya. Demikian pula sebagian
ciri-ciri hidup saya sudah mulai terbentuk didesa itu.
Suatu pagi hari dimasa
kanak-kanak, karena sakit yang tak kunjung sembuh saya disuruh berjongkok dekat
padasan – tempat mengambil air wudu. Dibawah kain ibu, saya dimandikan dengan
urine hangat langsung dari pancurannya. Itulah terapi pamungkas setelah semua
cara gagal dicoba. Tentu saja sesudah itu saya dicuci bersih karena ibu saya
yang guru ngaji, tahu hukum najis mutawasitoh itu. Pada kesempatan lain, nama
saya diganti karena badan saya ceking dan sakit-sakitan, mungkin panggilan baru
akan lebih merangsang pertumbuhan. Itulah bagian dari awal terbentuknya pola
hidup saya.
Setelah dewasa dan
terpelajar saya berkiblat kepada pengobatan medis untuk memelihara kesehatan.
Tetapi pengobatan medis yang terlalu mahal itu menakutkan: pisau bedah, jarum
suntik, bius total, cuci darah, amputasi.....
Sementara pengobatan nonmedis meyajikan jamu-jamu godok
yang serba herbal, wirid, tenaga dalam dan air doa. Kalau memang sama-sama
dapat menyembuhkan, tentu yang kedua inilah pilihan utama saya.
Kecuali mengandalkan terapi gelombang kejut -ESWL- yang tidak juga sekali
tuntas dan obat-obatan untuk menghilangkan batu ginjal, saya menjalankan upaya
non-medis juga. Gagal dengan operasi goresan kuku Haji Fauzi antara Puncak
dan Cipanas yang katanya ampuh, saya tetap tidak putus asa.
Waktu itu sedang ramai
tersiar nama Ibu Atun dari Pemalang ahli pengobatan alternatif yang dapat
mengobati macam-macam jenis penyakit. Pasiennya terdiri dari rakyat jelata,
pejabat tinggi dan selebritis, bukan saja dari Nusantara tetapi juga Malaysia,
Singapura dan Hongkong. (Sebagian
testimoni ada disini).
Besan saya yang kebetulan orang sana, menceritakan bahwa tetangganya yang
terkena penyakit kaki gajah (filariasis) sembuh ditangan ibu Atun –sebenarnya
lebih tepat dipanggil mba Atun karena ia masih lajang waktu itu-. Katanya darah
hitam bercampur lemak dikeluarkan dari kedua kaki dan dibersihkannya
menggunakan kapas.
Sesudah satu setengah
bulan mendaftar dan mendapat nomor urut tujuhpuluh sekian untuk hari itu, batu
ginjal sayapun dikeluarkan oleh ibu Atun.
“Boleh saya bawa pulang untuk kenang-kenangan Bu?” kata
saya sambil meminta kapas ditangannya yang masih basah oleh darah. Silahkan,
katanya.
Dalam perjalanan
pulang saya cium-cium kapas dan saya raba-raba batu sebesar butir beras itu.
Rasanya bau darah saya tidak amis begini dan batu ginjal saya mirip kristal
garam tidak seperti serpihan tulang. Foto rontgen yang saya lakukan dua minggu
kemudian membuktikan bahwa batu ginjal saya masih utuh. Maaf mba Atun, kita
mungkin belum jodoh.
Bahkan waktu ginjal saya
makin tidak berfungsi dan harus menjalani cuci darah saya tetap meminum air
doa, pijat refleksi, serta rajin berobat kepad Ir. KRM. H. Gembong Danudiningrat yang
berwibawa itu.
Lama sesudah semua usai dengan izin Alloh, saya baru
menyadari apa yang saya peroleh dari Haji Fauzi, Bu Atun dan terutama Romo
Gembong dari Kraton Yogya itu. Yaitu harapan. Harapanlah yang telah ikut
menopang pertahanan saya melawan penderitaan dan cobaan selama itu.