28/03/13

SUKU SAYA LEBIH BERBUDAYA


Oleh: Jum'an

Konon pada bulan Agustus 1563 raja Charles IX dari Perancis medatangkan tiga orang suku kanibal dari negri jajahannya Brazil untuk menyaksikan kehidupan “beradab” di istana Reims dan kemegahan kota Rouen di Perancis utara. King Charles saat itu bersusia 13 tahun, sedangkan ketiga orang kanibal yang sangat udik itu, belum pernah bepergian keluar dari Brazil sebelumnya. Raja sempat mengintrogasi mereka cukup lama. Pertemuan antara dua budaya yang kontras dan langka itu ditulis oleh eseis terkenal abad 16 Michel de Montaigne yang juga diperkenalkan dengan ketiga orang itu. Ketika ditanya pendapat mereka tentang lingkungan yang baru dilihatnya, mereka menyampaikan tiga hal yang menarik perhatian mereka tetapi Montaigne hanya ingat dua diantaranya, karena ia menulisnya 16 tahun sesudah peristiwa itu, lagipula ada kesulitan bahasa antara dia, si penterjemah dan para kanibal itu. Karena mereka melihat masyarakat Perancis dengan pandangan yang baru dan lugu, apa yang mereka anggap akrab dan jujur menjadi terasa absurd. Meskipun demikian pandangan mereka sungguh mengungkap moral.

Pertama mereka sangat heran melihat pria-pria bertubuh tegap, tinggi dan gagah, berjenggot dan bersenjata lengkap (yang mereka maksud para pengawal raja) bersedia tunduk pada perintah seorang anak kecil; sesuatu yang tak terpikirkan dalam masyarakat mereka. Mengapa mereka tidak memilih seorang diantara mereka sendiri untuk menjadi pimpinannya. Kedua mereka merasa terkejut melihat ketimpagan bangsa Perancis yang mencolok; ada orang-orang yang serba ada, memiliki segala sesuatu sementara sebagian lain mengemis didepan rumah mereka: kurus, lapar karena kemiskinan. Dalam pandangan mereka manusia merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Aneh bahwa sebagaian harus menderita ketidak adilan seperti itu; kenapa tidak mereka cekek saja orang-orang kaya itu atau bakar rumah mereka. Montaigne menunulis Des Cannibals dengan gaya provokatif; bukan dengan membenarkan praktek kanibalisme, tetapi membandingkannya dengan budaya Eropah abad 16 yang menurutnya tidak kalah mengerikan dari pada tindakan para kanibal yang memakan daging musuhnya.

Menurutnya suku pribumi Brazil mempunyai kesederhanaan berfikir yang sehat dan kemuliaan dasar, mereka tidak mengenal kata pelayan, kaya, miskin tidak ada istilah bohong, khianat, pura-pura atau tamak. Atribut yang paling penting bagi mereka adalah keberanian berperang dan bahwa peperangan itu semata­mata untuk membuktikan kedewasaan para pejuang, karena lahan dan makanan tersedia cukup untuk semua orang. Mereka yang paling berani boleh memiliki istri paling banyak sedangkan kekayaan dimiliki bersama. Musuh yang tertangkap dipaksa meminta ampun. Tetapi yang paling mereka banggakan adalah untuk mempersilahkan sipenangkap musuh tadi untuk memakan dagingnya, karena mereka juga memakan daging anggota keluarga serta leluhur mereka. Sementara bangsa Eropah abad itu mempunyai kebiasaan menghukum orang diantaranya dengan mengumpankannya hidup-hidup kepada anjing dan babi, yang jelas lebih mengerikan daripada praktek kanibal. Namun demikian bangsa Eropah Barat abad 16 sangat yakin akan keunggulan moral mereka, bahwa semua non-Eropa adalah liar, kanibal, manusia rendahan, menakutkan, tidak terhormat, dan jangan dipercaya. Kenyataan ini oleh Montaigne disebut sebagai fenomena etnosentrisme suatu kecenderungan budaya untuk menilai budaya asing menggunakan tolok ukur budaya sendiri, sesuai dengan keyakinan dan praktek etnis sendiri tanpa memperhatikan keyakinan etnis lain. Inilah biang rasialisme dan kesukuan. Menurut Montaigne fenomena etnosentrisme sangat jelas dan tidak memerlukan konfirmasi empiris lebih lanjut. Bahwa semua kita sedikit banyak etnosentris sampai batas-batas tertentu. Apapun yang bertentangan dengan kebiasaan kita, semua kita sebut bar-bar. Kita melihat kebudayaan kita yang paling yang sempurna, sistim politik kita yang sempurna, cara melakukan segala sesuatu yang paling sempurna dan paling ulung.

Begitu esei Montaigne lima abad yang lalu. Ia sendiri berpendapat bahwa semua manusia terpapar pada kelemahan, kebiadaban dan salah perhitungan yang sama. Memakan daging sesama manusia atau mengumpankan orang kepada anjing memang tidak; esensinya tetap saja etnosentris. Apakah manusia abad 21 masih bersikap demikian? Anda bisa menilainya sendiri. Entah serendah apa Amerika menilai bangsa kita, tetapi menurut kita sepak-terjang mereka cukup bar-bar. Kalau kita bisa mencuri-dengar bisik-bisik orang Papua tentang suku kita dan bagaimana kita (yang merasa paling berbudaya) selama ini menilai mereka, mungkin kita bisa merasakan betapa etnosentrisnya kita ini.

10/03/13

GADING RETAK - SANTA BERNODA

GADING YANG RETAK - SANTA YANG BERNODA
Oleh: Jum’an

Dalam majalah Time Agustus 2007 terdapat tulisan berjudul “ Krisis Iman Bunda Teresa” yang menceritakan pengakuan terus terang dari Mother Teresa kepada pendeta tempat dia mengaku dosa tentang kesia-siaannya dalam mencari Tuhan. Ia mengungkapkan bahwa dalam setengah abad terakhir ia tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Kepada pendeta Van Der Peet ia berkata: “Yesus sangat mencintaimu; tetapi bagiku terasa begitu sepi dan hampa, saya terawang tak terlihat, saya simak tak terdengar – lidah bergerak tapi tak terucap…. Tolong doakan saya agar saya dapat menjangkauNya.”  Biarawati keturunan Albania yang nama aslinya Agnes Gonxha itu, lahir tahun 1910 di Skopje Macedonia. Semasa hdupnya ia dikenal sebagai Santa dari Kalkuta, penolong orang-orang termiskin dari yang miskin di sejumlah Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin dan giat membantu korban bencana banjir, epidemi, kelaparan dan pengungsi. Untuk semua iti ia telah memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian, Hadiah Perdamaian dari Paus Yohanes XXIII, Hadiah Perdamaian Internasional Nehru, Hadiah Balzan, Templeton Dan Magsaysay. Demikian sehingga hampir diseluruh dunia orang tanpa keberatan memanggilnya Bunda.

Tetapi sebagaimana kata peribahasa: tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Citranya yang keramat bila diteliti dan dicermati nampaklah noda-nodanya kontras dengan faktanya; antara yang dibayangkan orang dan kenyatannya. Penelitian yang dilakukan oleh Serge Laviree dan Genevieve Chenard dari Universitas Montreal serta Carole Senechal dari Universitas Ottawa Kanada menyimpulkan bahwa citra humanis, suci dan penolong yang luar biasa dari Mother Teresa hanyalah mitos belaka, hasil promosi dan publikasi media yang berlebihan. Dalam kenyataannya ia menghimpun orang-orang sakit dan orang-orang miskin dalam rumah kematian dan jauh lebih senang mendoakan mereka daripada memberi pertolongan medis praktis meskipun yayasannya memiliki dana jutaan dolar. Baginya bukan masalah uang, tetapi menyangkut pandangan Mother Teresa (MT) sendiri tentang penderitaan dan kematian. ”Ada keindahan dalam melihat orang miskin menerima takdir mereka, menderita seperti Kristus yang disalib. Dunia banyak memperoleh keuntungan dari penderitaan mereka” begitu ia menjawab kritik-kritik yang diterimanya. Sebuah konsepsi yang rasanya tidak manusiawi! MT memang sangat pemurah dengan doa-doanya tetapi kikir dengan uangnya. Ketika banyak terjadi banjir di India serta tragedi Bhopal (ledakan pabrik pestisida 1984 dengan 2000 korban lebih), dia memberikan berbagai doa dan medali Perawan Maria tetapi tidak ada bantuan langsung atau keuangan. Disisi lain, ia tanpa ragu-ragu menerima gelar kehormatan serta hibah uang dari Diktator Haiti, Duvalier.

Penelitian itu menyebutkan MT memiliki 517 misi di 100 negara tetapi sebagian besar pasiennya tidak dirawat dengan baik dan banyak yang dibiarkan mati. Tetapi ketika MT sendiri membutuhkan perawatan akhir hayat, ia memperolehnya dari rumah sakit Amerika yang modern dan mewah. Mother Teresa dipercayai mempunyai mukjizat menyembuhkan penyakit. Monica Besra seorang wanita Benggali mengaku melihat cahaya memancar dari gambar MT yang kebetulan dimilikinya dan sesudah itu penyakit kankernya sembuh. Dr. Ranjan Mustafi yang nerawatnya menegaskan bahwa Monica tidak menderita kanker, sedangkan pasien TBC dan kista ovarium yang dikatakan sembuh oleh mukjizat MT, sebenarnya sembuh karena pengobatan yang sedang dijalani. Tetapi Vatikan tidak menghiraukannya dan tetap dengan rencana beatifikasi, yaitu menobatkannya sebagai santa (orang suci). Ketiga peneliti dari Kanada itu juga mengutip beberapa hal yang tidak diperhitungkan dalam proses beatifikasi oleh Vatican, seperti cara MT yang meragukan dalam merawat orang sakit, kontak-kontak politiknya yang pantas dipertanyakan, manajemen nya yang mencurigakan dalam mengelola uang sangat besar yang ia terima serta pandangannya yang terlalu dogmatis  tentang aborsi, kontrasepsi dan perceraian.

Citra humanis MT yang mendunia serta beatifikasi atau penobatannya sebagai orang suci oleh Paus tidak lepas dari peran media yang mendalanginya dengan efektif. Menurut ketiga peneliti diatas, dalam pertemuan MT dengan Malcolm Muggeridge dari BBC th. 1968 di London, Malcolm memutuskan untuk mempromosikan Mother Teresa dengan membuat film-film yang mendramatisir kegiatan-kegiatannya. Setelah itu MT melakukan perjalanan keliling dunia dan menerima berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Nobel untuk Perdamaian. Dalam Biografi MT oleh Meg Greene (2004) diceritakan bahwa yayasan yang didirikannya di Kalkuta dikritik oleh majalah kedokteran Inggris Lancet karena tidak profesional. Dalam SF Weekly  Jan. 2011 terdapat artikel  berjudul “Tainted Saint” (Santa yang bernoda) yang menceritakan MT ketika membela pendeta favoritnya Donald McGuire yang terlibat pelecehan seksual terhadap anak-anak pada th 1993. McGuire sudah diberhentikan dari jabatannya tetapi MT mendesak atasannya untuk mengangkatnya kembali dengan segera. McGuire pun bertugas kembali , kembali juga tabiat pedofilnya.

Meskipun cara MT merawat orang sakit meragukan, yaitu melihat penderitaan mereka sebagai keindahan bukan dengan menghilangkannya, ketiga peneliti menyebutkan efek positif dari mitos Bunda Teresa bahwa citra kasih sayang dan penolongnya telah menginspirasi banyak relawan kemanusiaan yang kerjanya memang benar-benar telah mengatasi penderitaan fakir miskin….  Mother Teresa meninggal tahun 1997 dalam usia 87 tahun.

03/03/13

ORANG ALIM HATINYA KURANG PEKA?


ORANG ALIM HATINYA KURANG PEKA?
Oleh: Jum’an
Sudah biasa bagi anak-anak desa generasi saya dulu mengenakan kain sarung yang sudah kumal karena malas mencucinya untuk solat sehari-hari karena kain sarung itu masih “suci” artinya tidak terkena najis. Istimewanya meskipun kain sarung kami baru dicuci bersih, kalau secara tidak sengaja terpercik air seni, kurang dari setetes sekalipun, kami pasti mencucinya kembali bersih-bersih, bukan bagian yang terkena najis etapi seluruhnya. Sampai sekarang umat Islam generasi saya umumnya tetap membedakan kata suci untuk pakaian yang boleh dipakai untuk solat dengan kata bersih untuk pakaian yang pantas dipakai kekantor misalnya. Suci berarti bersih menurut aturan agama, sedangkan pakaian bersih artinya tidak tampak kotor dan dekil dipandang mata. Bukan hanya itu. Kita juga membedakan pula orang baik menurut agama dan orang baik dalam pengertian umum. Wanita soleh berarti ia mengikuti perintah dan petunjuk Allah sedangkan wanita baik hati adalah baik berdasar penilaian masyarakat. Dalam kumpulan surat-suratnya Raden Ajeng Kartini pernah menulis: “Tidak jadi solehpun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati”  seperti pernah saya mengutipnya dulu. Bukan hanya tentang pakaian yang suci dan wanita soleh, Agama memang membawa ajaran moral tersendiri yang tidak selalu selaras dengan nurani manusia. Dan bukan umat Islam saja yang membedakan moralitas agama dengan etika sekuler.
Setiap kali mendirikan solat, kita selalu mengucapkan ikrar bahwa solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, hingga tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengikuti dengan pasrah kehendak Allah. Tetapi Allah juga bersabda dalam Qur’an bahwa semua manusia (yang kafir atau ateis sekalipun) telah diciptakanNya dalam struktur yang sebaik-baiknya, kemudian Dia sempurnakan lagi, lalu ditentukan kadarnya dan diberikannya petunjuk, sehingga tanpa bimbingan agamapun manusia sudah mempunyai bekal potensi dan kecenderungan untuk berbuati baik. Menurut penelitian Universitas Barkeley California orang atheis dan yang tak beragama lebih didorong oleh rasa kasih sayang mereka untuk membantu orang lain daripada orang-orang yang relijius. Bukan berarti bahwa orang yang relijius tidak bersedia menolong, tetapi nampaknya rasa kasih sayang kurang menarik orang relijius dibanding kelompok orang lain. Orang-orang yang kurang atau tidak religius, mengandalkan perasaan hati mereka apakah mau menolong orang lain atau tidak. Sementara orang yang lebih relijius mungkin mendasarkan pertolongan mereka tidak pada emosi tetapi lebih pada factor-afaktor lain seperti doktrin, identitas komunal, atau reputasi; demikian hasil studi itu.
Seperti banyak kita temui orang-orang yang tidak relijius tetapi suka menolong dan berderma. Mereka mengikuti perasaan hati mereka, yang adalah karunia Allah juga, dan tumbuh menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Menurut penelitian, orang yang berkepribadian rendah hati (humble, andap-asor dalam bhs Jawa) terbukti lebih bersedia untuk mengulurkan tangan untuk membantu dibanding mereka yang arogan. Mereka juga cenderung menjadi pemimpin yang efektif dan lebih disukai dari pada mereka yang memamerkan prestasi mereka.
Jika benar hasil penelitian Robb Willer dari Universitas Berkeley diatas bahwa orang relijius lebih mendasarkan kemurahan hatinya kepada doktrin daripada kepada perasaan, maka dapat difahami bahwa banyak orang yang begitu relijius, perasaan mereka tidak peka. Ibarat pisau yang tumpul karena jarang diasah. Mengapa banyak tokoh yang nampaknya alim menyelewengkan uang negara yang sebenarnya merupakan hak rakyat miskin. Meskipun saya bukan orang yang terlalu relijius, saya curiga mengapa hati saya kurang tergerak untuk mengeluarkan uang untuk korban musibah kebakaran, banjir dsb. Saya meneteskan air mata melihat laporan korban banjir di televisi, tetapi sesenpun tidak keluar dari dompet saya untuk menolong mereka. Kalau anda juga merasa demikian, artinya kita tidak menyadari bahwa hati-nurani kita sedikit banyak sudah membawa petunjuk dari Allah swt. Dalam hal tolong-menolong kita kurang menghargai rasa kasih sayang yang merupakan unsur ciptaanNya dalam diri kita.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam saya percaya bahwa sifat-sifat baik yang saya miliki tumbuh dari keimanan saya. Kalau saya mengakuinya dari diri sendiri, itupun saya percaya berasal dari potensi yang sudah ditanamkan Allah sejak awal. Bedanya dengan kebaikan mereka yang tak beragama, mereka tidak mungkin mengakui kebaikannnya berasal dari potensi pemberian Allah dan tidak pula mereka peruntukkan bagi Allah.