Oleh: Jum'an
Konon pada
bulan Agustus 1563 raja Charles IX dari Perancis medatangkan tiga orang suku
kanibal dari negri jajahannya Brazil untuk menyaksikan kehidupan “beradab” di
istana Reims dan kemegahan kota Rouen di Perancis utara. King Charles saat itu
bersusia 13 tahun, sedangkan ketiga orang kanibal yang sangat udik itu, belum
pernah bepergian keluar dari Brazil sebelumnya. Raja sempat mengintrogasi
mereka cukup lama. Pertemuan antara dua budaya yang kontras dan langka itu
ditulis oleh eseis terkenal abad 16 Michel de Montaigne
yang juga diperkenalkan dengan ketiga orang itu. Ketika ditanya pendapat mereka
tentang lingkungan yang baru dilihatnya, mereka menyampaikan tiga hal yang
menarik perhatian mereka tetapi Montaigne hanya ingat dua diantaranya, karena
ia menulisnya 16 tahun sesudah peristiwa itu, lagipula ada kesulitan bahasa
antara dia, si penterjemah dan para kanibal itu. Karena mereka melihat
masyarakat Perancis dengan pandangan yang baru dan lugu, apa yang mereka anggap
akrab dan jujur menjadi terasa absurd. Meskipun demikian pandangan mereka
sungguh mengungkap moral.
Pertama
mereka sangat heran melihat pria-pria bertubuh tegap, tinggi dan gagah, berjenggot
dan bersenjata lengkap (yang mereka maksud para pengawal raja) bersedia tunduk
pada perintah seorang anak kecil; sesuatu yang tak terpikirkan dalam masyarakat
mereka. Mengapa mereka tidak memilih seorang diantara mereka sendiri untuk
menjadi pimpinannya. Kedua mereka merasa terkejut melihat ketimpagan bangsa
Perancis yang mencolok; ada orang-orang yang serba ada, memiliki segala sesuatu
sementara sebagian lain mengemis didepan rumah mereka: kurus, lapar karena
kemiskinan. Dalam pandangan mereka manusia merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Aneh bahwa sebagaian harus menderita ketidak adilan seperti itu;
kenapa tidak mereka cekek saja orang-orang kaya itu atau bakar rumah mereka.
Montaigne menunulis Des Cannibals dengan gaya provokatif; bukan dengan membenarkan
praktek kanibalisme, tetapi membandingkannya dengan budaya Eropah abad 16 yang
menurutnya tidak kalah mengerikan dari pada tindakan para kanibal yang memakan
daging musuhnya.
Menurutnya
suku pribumi Brazil mempunyai kesederhanaan berfikir yang sehat dan kemuliaan
dasar, mereka tidak mengenal kata pelayan, kaya, miskin tidak ada istilah
bohong, khianat, pura-pura atau tamak. Atribut yang paling penting bagi mereka
adalah keberanian berperang dan bahwa peperangan itu sematamata untuk
membuktikan kedewasaan para pejuang, karena lahan dan makanan tersedia cukup
untuk semua orang. Mereka yang paling berani boleh memiliki istri paling banyak
sedangkan kekayaan dimiliki bersama. Musuh yang tertangkap dipaksa meminta
ampun. Tetapi yang paling mereka banggakan adalah untuk mempersilahkan
sipenangkap musuh tadi untuk memakan dagingnya, karena mereka juga memakan
daging anggota keluarga serta leluhur mereka. Sementara bangsa Eropah abad itu mempunyai
kebiasaan menghukum orang diantaranya dengan mengumpankannya hidup-hidup kepada
anjing dan babi, yang jelas lebih mengerikan daripada praktek kanibal. Namun
demikian bangsa Eropah Barat abad 16 sangat yakin akan keunggulan moral mereka,
bahwa semua non-Eropa adalah liar, kanibal, manusia rendahan, menakutkan, tidak
terhormat, dan jangan dipercaya. Kenyataan ini oleh Montaigne disebut sebagai fenomena etnosentrisme
suatu kecenderungan budaya untuk menilai budaya asing menggunakan tolok ukur budaya
sendiri, sesuai dengan keyakinan dan praktek etnis sendiri tanpa memperhatikan
keyakinan etnis lain. Inilah biang rasialisme dan kesukuan. Menurut Montaigne
fenomena etnosentrisme sangat jelas dan tidak memerlukan konfirmasi empiris
lebih lanjut. Bahwa semua kita sedikit banyak etnosentris sampai batas-batas
tertentu. Apapun yang bertentangan dengan kebiasaan kita, semua kita sebut bar-bar.
Kita melihat kebudayaan kita yang paling yang sempurna, sistim politik kita
yang sempurna, cara melakukan segala sesuatu yang paling sempurna dan paling
ulung.
Begitu esei
Montaigne lima abad yang lalu. Ia sendiri berpendapat bahwa semua manusia terpapar
pada kelemahan, kebiadaban dan salah perhitungan yang sama. Memakan daging
sesama manusia atau mengumpankan orang kepada anjing memang tidak; esensinya
tetap saja etnosentris. Apakah manusia abad 21 masih bersikap demikian? Anda bisa
menilainya sendiri. Entah serendah apa Amerika menilai bangsa kita, tetapi
menurut kita sepak-terjang mereka cukup bar-bar. Kalau kita bisa mencuri-dengar
bisik-bisik orang Papua tentang suku kita dan bagaimana kita (yang merasa
paling berbudaya) selama ini menilai mereka, mungkin kita bisa merasakan betapa
etnosentrisnya kita ini.