SARJANA TEKNIK RAWAN MENJADI EKSTREMIS?
Oleh: Jum’an
Seperti kita keatahui, Azahari Husin (asal
Malaysia), Umar
Farouk Abdulmutallab (Nigeria), Khalid Shaikh
Mohammed (Kuwait) Mohamed
Atta (Mesir), Mohammad Youssef
Abdulazeez (Kuwait) serta Faisal Shahzad
(Pakistan) adalah nama-nama ektremis yang terkait dengan
tindakan kekerasan yang membahayakan orang banyak. Keenamnya juga mempunyai
kesamaan lain yaitu kesemuanya mempunyai latar belakang pendidikan teknik
(engineering). Sarjana teknik adalah manusia biasa, bagian terbesar mereka pastilah
bukan ekstremis. Tetapi ternyata bahwa di antara para ektremis jumlah yang sangat
menonjol adalah sarjana teknik. Benarkah bahwa pendidikan teknik menghasilkan
teroris-teroris seperti dimuat The
Chronicle of Higher Educatuon? Banyak kalangan yang telah menengarai
kenyataan ini bahkan ekstremis kanan diluar gerakan Islam, seperti gerakan
neo-Nazi dan neo-Stalinis yang keras serta kelompok supremasi kulit putih di
Amerika Serikat juga sangat didominasi oleh orang-orang-orang berlatar belakang
engineering. Menurut Washington
Post, para sarjana teknik sangat rentan terhadap ekstremisme kekerasan.
Mereka sembilan kali lebih mungkin menjadi ekstremis dari yang anda kira
sekedar kebetulan.
Dua
ilmuwan sosial, Prof. Diego Gambetta
dan Dr. Steffen
Hertog, yang telah meneleliti lebih dalam menyimpulkan bahwa memang
proporsi ekstremis yang berlatar teknik jauh melampaui perkiraan dan hal itu
bukan sekedar kebetulan. Penelitian selama beberapa tahun oleh kedua ilmuwan
itu dituangkan dalam buku mereka: Engineers of Jihad:
The Curious Connection Between Violent Extremism and Education (Princeton
University Press). Diego Gambetta dan Steffen Hertog memberikan teori baru yang
menjelaskan mengapa sarjana teknik tampak sangat rentan untuk terlibat dalam
organisasi ekstremis. Mereka mengungkap dua fakta yang tak terduga tentang
ekstremisme: mereka menemukan bahwa bagian yang menonjol dari gerakan radikal
Islam berasal dari latar belakang teknik, dan bahwa ekstremisme Islam dan
ekstremisme sayap kanan memiliki lebih banyak kesamaan dibanding dengan
ekstremisme sayap kiri, di mana tidak banyak sarjana teknik yang terlibat
sementara para sarjana sosial dan mahasiswa humaniora yang menonjol.
Menurut
kedua penulis, hal itu disebabkan oleh cara sarjana teknik itu berpikir tentang
dunia. Data survei menunjukkan bahwa para lulusan fakultas teknik cenderung
jauh lebih konservatif daripada sarjana fakultas lain, dan jauh lebih mungkin
untuk menjadi religius. Mereka tujuh kali lebih mungkin untuk menjadi religius
dan konservatif dibanding sarjana sosial. Gambetta dan Hertog memperkirakan
bahwa para sarjana teknik memiliki pola pikir yang merupakan gabungan dari
kedua kecenderungan mereka itu dengan hasrat dasar manusia untuk memperoleh jawaban
yang pasti dan tidak menyukai ambiguitas. Pola pikir ini, ditambah dengan
kekecewaan mereka terutama di negara-negara Muslim di mana mereka mengalami
kesulitan memperoleh pekerjaan yang berharga, merupakan alasan mengapa mengapa
begitu banyak sarjana teknik dalam organisasi ekstremis. Berbeda halnya dengan
di Saudi Arabia dimana jarang ada sarjana teknik yang terlibat gerakan radikal,
karena mereka dapat dengan mudah menemukan pekerjaan yang baik. Yang menarik,
Gambetta dan Hertog juga menunjukkan bahwa pola pikir yang sama yang mendorong
sarjana teknik di dunia Islam untuk menjadi ektremis, juga menyebabkan kecenderungan
yang nyata terlihat, dimana para sarjana teknik di Amerika banyak yang menganut
pandangan politik yang sangat konservatif.
Ada
yang berpendapat bahwa kelompok teroris merekrut sarjana teknik karena
keterampilan teknis mereka yang berharga seperti dalam membuat bom. Tetapi
organisasi teroris tidak merekrut orang karena keterampilan teknis mereka,
tetapi karena dapat dipercaya dan mereka tidak banyak memerlukan orang dengan
keterampilan teknik. Para sarjana teknik lebih mungkin untuk menjadi ektremis
karena pola pikir dan kurang adanya keberuntungan. Ideology fundamentalis
tertentu memberikan filosofi yang selaras dengan pola pikir sarjana teknik dan
pemahaman tentang mengapa mereka miskin.
Profesor
Jessica Stern ahli terorisme
dari Univ. Boston memuji Gambetta dan Hertog atas kejelian mereka dalam
mengungkap sebab-sebab terorisme. Beberapa tahun yang lalu, terorisme selalu
dikaitkan dengan kemiskinan dan
kebodohan, tetapi sedikit bukti yang mendukung gagasan itu. Penelitian ini
benar-benar meningkatkan pemahaman kita tentang faktor-faktor risiko yang ada. Jacob N. Shapiro,
pakar terorisme dan profesor politik dan hubungan internasional di Univ.
Princeton mengatakan sulit untuk mengabaikan begitu banyak bukti yang telah dikumpulkan
dengan cermat oleh penulis untuk mencapai kesimpulan mereka. Tidak ada fenomena
penting lain yang menunjukkan perilaku seperti masalah pendidikan teknik ini. “Kekayaan
data statistik dalam penelitian ini telah memberikan landasan empiris yang kuat
pada apa yang tadinya hanya merupakan perkiraan saja.” Demikian komentar the Financial
Times.