09/04/16

SARJANA TEKNIK RAWAN MENJADI EKSTREMIS?


SARJANA TEKNIK RAWAN MENJADI EKSTREMIS?
Oleh: Jum’an

Seperti kita keatahui, Azahari Husin (asal Malaysia), Umar Farouk Abdulmutallab (Nigeria), Khalid Shaikh Mohammed (Kuwait) Mohamed Atta (Mesir),  Mohammad Youssef Abdulazeez  (Kuwait)  serta Faisal Shahzad (Pakistan) adalah  nama-nama ektremis yang terkait dengan tindakan kekerasan yang membahayakan orang banyak. Keenamnya juga mempunyai kesamaan lain yaitu kesemuanya mempunyai latar belakang pendidikan teknik (engineering). Sarjana teknik adalah manusia biasa, bagian terbesar mereka pastilah bukan ekstremis. Tetapi ternyata bahwa di antara para ektremis jumlah yang sangat menonjol adalah sarjana teknik. Benarkah bahwa pendidikan teknik menghasilkan teroris-teroris seperti dimuat The Chronicle of Higher Educatuon? Banyak kalangan yang telah menengarai kenyataan ini bahkan ekstremis kanan diluar gerakan Islam, seperti gerakan neo-Nazi dan neo-Stalinis yang keras serta kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat juga sangat didominasi oleh orang-orang-orang berlatar belakang engineering. Menurut Washington Post, para sarjana teknik sangat rentan terhadap ekstremisme kekerasan. Mereka sembilan kali lebih mungkin menjadi ekstremis dari yang anda kira sekedar kebetulan.
Dua ilmuwan sosial, Prof. Diego Gambetta dan Dr. Steffen Hertog, yang telah meneleliti lebih dalam menyimpulkan bahwa memang proporsi ekstremis yang berlatar teknik jauh melampaui perkiraan dan hal itu bukan sekedar kebetulan. Penelitian selama beberapa tahun oleh kedua ilmuwan itu dituangkan dalam buku mereka: Engineers of Jihad: The Curious Connection Between Violent Extremism and Education (Princeton University Press). Diego Gambetta dan Steffen Hertog memberikan teori baru yang menjelaskan mengapa sarjana teknik tampak sangat rentan untuk terlibat dalam organisasi ekstremis. Mereka mengungkap dua fakta yang tak terduga tentang ekstremisme: mereka menemukan bahwa bagian yang menonjol dari gerakan radikal Islam berasal dari latar belakang teknik, dan bahwa ekstremisme Islam dan ekstremisme sayap kanan memiliki lebih banyak kesamaan dibanding dengan ekstremisme sayap kiri, di mana tidak banyak sarjana teknik yang terlibat sementara para sarjana sosial dan mahasiswa humaniora yang menonjol.
Menurut kedua penulis, hal itu disebabkan oleh cara sarjana teknik itu berpikir tentang dunia. Data survei menunjukkan bahwa para lulusan fakultas teknik cenderung jauh lebih konservatif daripada sarjana fakultas lain, dan jauh lebih mungkin untuk menjadi religius. Mereka tujuh kali lebih mungkin untuk menjadi religius dan konservatif dibanding sarjana sosial. Gambetta dan Hertog memperkirakan bahwa para sarjana teknik memiliki pola pikir yang merupakan gabungan dari kedua kecenderungan mereka itu dengan hasrat dasar manusia untuk memperoleh jawaban yang pasti dan tidak menyukai ambiguitas. Pola pikir ini, ditambah dengan kekecewaan mereka terutama di negara-negara Muslim di mana mereka mengalami kesulitan memperoleh pekerjaan yang berharga, merupakan alasan mengapa mengapa begitu banyak sarjana teknik dalam organisasi ekstremis. Berbeda halnya dengan di Saudi Arabia dimana jarang ada sarjana teknik yang terlibat gerakan radikal, karena mereka dapat dengan mudah menemukan pekerjaan yang baik. Yang menarik, Gambetta dan Hertog juga menunjukkan bahwa pola pikir yang sama yang mendorong sarjana teknik di dunia Islam untuk menjadi ektremis, juga menyebabkan kecenderungan yang nyata terlihat, dimana para sarjana teknik di Amerika banyak yang menganut pandangan politik yang sangat konservatif.
Ada yang berpendapat bahwa kelompok teroris merekrut sarjana teknik karena keterampilan teknis mereka yang berharga seperti dalam membuat bom. Tetapi organisasi teroris tidak merekrut orang karena keterampilan teknis mereka, tetapi karena dapat dipercaya dan mereka tidak banyak memerlukan orang dengan keterampilan teknik. Para sarjana teknik lebih mungkin untuk menjadi ektremis karena pola pikir dan kurang adanya keberuntungan. Ideology fundamentalis tertentu memberikan filosofi yang selaras dengan pola pikir sarjana teknik dan pemahaman tentang mengapa mereka miskin.
Profesor Jessica Stern ahli terorisme dari Univ. Boston memuji Gambetta dan Hertog atas kejelian mereka dalam mengungkap sebab-sebab terorisme. Beberapa tahun yang lalu, terorisme selalu dikaitkan dengan  kemiskinan dan kebodohan, tetapi sedikit bukti yang mendukung gagasan itu. Penelitian ini benar-benar meningkatkan pemahaman kita tentang faktor-faktor risiko yang ada. Jacob N. Shapiro, pakar terorisme dan profesor politik dan hubungan internasional di Univ. Princeton mengatakan sulit untuk mengabaikan begitu banyak bukti yang telah dikumpulkan dengan cermat oleh penulis untuk mencapai kesimpulan mereka. Tidak ada fenomena penting lain yang menunjukkan perilaku seperti masalah pendidikan teknik ini. “Kekayaan data statistik dalam penelitian ini telah memberikan landasan empiris yang kuat pada apa yang tadinya hanya merupakan perkiraan saja.” Demikian komentar the Financial Times.