Oleh:
Jum’an
Saya jarang sekali berhasil membujuk teman
untuk membaca sebuah buku yang menurut saya sangat menarik, meskipun sudah saya
ceritakan isinya, saya pinjami bahkan saya berikan buku itu kepadanya. Entah mengapa
tetapi kata-kata saya tidak mampu untuk meyakinkan pikiran mereka. Keterangan
saya kurang jelas, kurang menarik atau kurang dramatis mungkin. Kecuali,
mungkin, anjuran agar saudara kita berhenti merokok yang kita sampaikan dalam
suasana nafas kita kembang kempis diruang gawat darurat, sambil menunjukkan potret
paru-paru kita yang penuh bercak-bercak noda. Mungkin mereka akan tergerak untuk
mentaati. Anda juga tidak akan menghentikan kebiasaan membentak-bentak pelayan
anda, kalau hanya saya yang mengatakan bahwa kata-kata kasar dapat memicu orang
untuk bunuh diri atau bahkan membunuh anda. Bahwa pelecehan verbal merupakan
benih kekerasan fisik dan ancaman penyakit. Dan bahwa kejahatan mulut itu
merupakan wabah tersembunyi dalam masyarakat. Anda mungkin menganggapnya sekedar
nasehat normatif belaka. Perlu dukungan bukti dan keterlibatan pribadi agar
nasehat kita berbobot dan berkesan, seperti uang kertas yang hanya bernilai
bila ada cadangan emas yang mendukungnya.
Bahaya
pelecehan verbal diatas berasal dari desertasi
Alice Carleton yang berjudul: Society’s
Hidden Pandemic: Verbal Abuse, Precursor to Physical Violence and a Form of Biochemical Assault . Alice yang
lahir dalam lingkungan keluarga miskin sejak kanak-kanak hingga dewasa tidak
pernah bebas dari caci-maki ibunya yang kasar dan judes. Dilanjutkan dengan 31
tahun sumpah-serapah dari suami yang ringan tangan dan bermulut kotor. Ia
merasa tergugah ketika membaca buku Patricia Evans tentang bahaya pelecehan
verbal. Menurut Alice buku itu telah menyelamatkan jiwa dan hidupnya. Caci-maki
dan sumpah-serapah seperti yang dirasakannya selama puluhan tahun itu ternyata mempunyai
dampak destruktif yang sangat berbahaya yang dikatagorikan sebagai pembunuhan
jiwa. Selama 15 tahun sejak itu, ia memfokuskan diri untuk menemukan jawaban
tentang penderitaannya dan giat mengadakan penelitian dengan masukan dari para
ahli dibidangnya, menulis serta berbicara untuk menyadarkan orang lain tentang
pembunuhan yang menghancurkan jiwa itu. Ia mendapatkan gelar Master dengan
judul desertasi diatas. Ia sekarang berumur 66 tahun dan menjadi ahli kesehatan
mayarakat yang terkenal dengan pengalaman lebih dari 30 tahun. Desertasinya
dianggap istimewa bukan hanya karena penelitian akademisnya tetapi pengalaman
pribadinya yang menjadi inspirasi untuk mendalami dan menulis tentang pelecehan
verbal- karena ia mengalaminya sendiri baik sebagai anak-anak maupun sebagai
orang dewasa.
Kalimat
yang melecehkan adalah ucapan yang berusaha melemahkan seseorang, kata-kata
yang tidak benar tentang kita seperti “kamu
bodoh, kamu gila, kamu salah dll.” Ucapan
yang mencoba memberi definisi lain tentang seseorang – suatu
yang menurut Alice melanggar hak asasi manusia. Kata-kata seperti itu sudah
banyak kita kenal tetapi pelecehan bisa begitu tersamar, tak sadar waktu kita
mendengarnya. Teknik yang digunakan dalam kamp-kamp tahanan tidak berbeda
dengan cara seorang ibu rumah tangga membodoh-bodohkan pembantunya, atau bahkan
anaknya. Meremehkan, mengabaikan, menuduh, menyembunyikan, menolak,
mengalihkan, melupakan, memerintah, merintagi. Semua kita pernah merasakan
suatu waktu. Tetapi caci maki yang berkelajutan dalam hubungan perorangan
tertutama terhadap seorang anak, sangat merusak yang mungkin perlu waktu hampir
seumur hidup untuk dapat pulih kembali. Pelecehan verbal sering dirasakan lebih
melukai dari kekerasan fisik karena menyentuh bagian terdalam seseorang.
Banyak
dampak buruk dari pelecehan lisan baik psikologis maupun fisik. Meningkatnya
kadar kolesterol dalam darah, kerusakan sistim imunitas tubuh, gangguan
penyakit kulit dan pencernaan, mati-rasa, frustrasi, mengucilkan diri sampai keinginan
untuk bunuh diri. Anda mungkin pernah membaca tentang kuli bangunan yang mencincang
mandor atau majikannya sampai mati karena terus menerus dilecehkan. Itulah
contoh riil dari kekerasan fisik bila orang tidak bisa menjaga mulut. Pada
tingkat ekstrim kejahatan lisan dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan seperti
yang diderita oleh wanita korban pemerkosaan atau korban bencana alam yang menelan
harta dan anggota keluarga. Bukti penelitan Alice Carleton menunjukkan bahwa sumpah
serapah dan caci maki yang terus menerus merusak fikiran, jiwa dan tubuh
seseorang, lebih-lebih pada anak-anak. Ucapan “Menyesal
saya melahirkan kamu!” dari seorang ibu sangatlah destruktif
karena secara psikologis meniadakan keberadaan sang anak dan dirasakan sebagai
serangan yang fatal.
Ucapan
yang baik dan pememberian maaf lebih baik dari pemberian yang diikuti dengan
perkataan yang melukai perasaan. Yang ini ayat Qur’an (S2:263).
Mari kita jaga mulut, hindari pelecehan verbal!