SAYA TIDAK SUKA MALALA TETAPI…
Oleh: Jum’an
Saya memang kurang mampu mengontrol tindakan dan
perilaku saya sesuai dengan yang saya inginkan. Tidak bisa berdisiplin dalam
mengatur waktu sehingga banyak peluang yang terlewat hilang sia-sia. Begitu
banyak pekerjaan yang saya rencanakan, sasaran yang ingin saya capai tetapi begitu
sedikit yang kesampaian. Satu jam lebih menguap dengan cepat hanya untuk
membaca dan membalas e-mail, menengok facebook, menonton video You Tube yang
dikirim teman atau membaca berita. Selalu terdengar bisikan yang siap memaafkan
menunda pekerjaan yang utama: “Yang itu kan bisa nanti. Kalau bisa besok kenapa
harus sekarang. Apa salahnya ditunda sehari”. Kebiasaan tarsok-tarsok ini
terasa sebagai beban yang makin berat sehingga menimbulkan rasa dongkol dan membenci
diri sendiri karena memang saya sendirilah biang penyebabnya.
Sudah lama saya mempunyai angan-angan untuk menulis
tentang Malala Yousafzai. Saya merasa tidak senang karena sebagai seorang
muslimah yang belum begitu matang ia disanjung dan diidolakan oleh Media Barat,
sampai-sampai dinominasikan untuk memperoleh hadiah Nobel. Risi rasanya mendengar
ia mengucapkan kata-kata yang sepantasnya diucapkan orang yang lebih dewasa
dengan jari menunjuk-nunjuk seperti menggurui. Saya duga banyak orang juga
kurang senang meskipun misi mereka bermaksud meningkatkan pendidikan anak-anak
perempuan di lingkungannya. Mulailah saya mengumpulkan dan membaca segala ihwal
tentang Malala dan komentar orang-orang mengenai dia. Tetapi karena kebiasaan
menunda-nunda, saya lama-lama menjadi kesal karena terlalu asik mengunduh
berita dari segala penjuru dan enggan untuk mulai menulis.
Perasaan kesal itu membuat saya kurang bergairah untuk
meneruskan rencana menulis tentang Malala. Seperti ada yang memaksa-maksa
padahal rencana itu adalah cita-cita saya sendiri. Sampai akhirnya saya tidak
tertarik lagi terus menerus melihat potret Malala dan mulai mencari-cari topik
lain. Saya memilih membiarkan Malala bertingkah semaunya diusung kesana kemari
dan diliput oleh wartawan barat. Biar orang lain saja yang menilai. Saya tidak
peduli. Lagipula ia bukan anak Indonesia!
Tidak jarang saya terbelah menjadi dua: saya yang sadar dan
berfikir rasional mempunyai rencana dan cita-cita dan saya yang senang menunda,
mengelak dan enggan bertindak untuk mencapai cita-cita itu. Sayangnya
pergulatan antara keduanya sering dimenangkan oleh bawah sadar saya yang
membangkang terhadap kehendak akal sehat.
Memang bawah sadar kita lain kelakuannya. Ia bukan berpedoman
kepada rasio. Ia konon bekerja dengan menggunakan prinsip keakraban. Penelitian
oleh Robert
Zajonc ahli psikologi sosial terkenal telah membuktikan bahwa keakraban
sederhana cukup membuat seseorang menyenangi sesuatu. Lebih akrab lebih suka.
Dan keakraban semata dapat menyalip pemikiran sadar dan mempengaruhi
pengambilan keputusan. Orang cenderung mengembangkan pemilihan berdasarkan
keakraban. Kita umumnya lebih akrab yang aman, yang nyaman dan menyenangkan dan
tidak dari yang sebaliknya. Begitulah saya selalu memutuskan memilih mengerjakan yang lebih menyenangkan meskipun
niat semula ingin berkarya. Bila tidak ada teguran atau akibat buruk yang
terasa saya terus menggunakan autopilot keakraban untuk mengendalikan aktivitas
sehari-hari. Kalau hanya kadang-kadang, menunda tidak apa-apa. Setiap orang
juga sekali-sekali menunda pekerjaan mereka. Tetapi bila menjadi kecanduan,
beginilah akibatnya hanya ingin menulis dua halaman saja tidak tuntas. Akibatnya
urunglah niat saya mengumpat Malala…