28/08/15

SAYA TIDAK SUKA MALALA TETAPI...


SAYA TIDAK SUKA MALALA TETAPI…
Oleh: Jum’an

Saya memang kurang mampu mengontrol tindakan dan perilaku saya sesuai dengan yang saya inginkan. Tidak bisa berdisiplin dalam mengatur waktu sehingga banyak peluang yang terlewat hilang sia-sia. Begitu banyak pekerjaan yang saya rencanakan, sasaran yang ingin saya capai tetapi begitu sedikit yang kesampaian. Satu jam lebih menguap dengan cepat hanya untuk membaca dan membalas e-mail, menengok facebook, menonton video You Tube yang dikirim teman atau membaca berita. Selalu terdengar bisikan yang siap memaafkan menunda pekerjaan yang utama: “Yang itu kan bisa nanti. Kalau bisa besok kenapa harus sekarang. Apa salahnya ditunda sehari”. Kebiasaan tarsok-tarsok ini terasa sebagai beban yang makin berat sehingga menimbulkan rasa dongkol dan membenci diri sendiri karena memang saya sendirilah biang penyebabnya.

Sudah lama saya mempunyai angan-angan untuk menulis tentang Malala Yousafzai. Saya merasa tidak senang karena sebagai seorang muslimah yang belum begitu matang ia disanjung dan diidolakan oleh Media Barat, sampai-sampai dinominasikan untuk memperoleh hadiah Nobel. Risi rasanya mendengar ia mengucapkan kata-kata yang sepantasnya diucapkan orang yang lebih dewasa dengan jari menunjuk-nunjuk seperti menggurui. Saya duga banyak orang juga kurang senang meskipun misi mereka bermaksud meningkatkan pendidikan anak-anak perempuan di lingkungannya. Mulailah saya mengumpulkan dan membaca segala ihwal tentang Malala dan komentar orang-orang mengenai dia. Tetapi karena kebiasaan menunda-nunda, saya lama-lama menjadi kesal karena terlalu asik mengunduh berita dari segala penjuru dan enggan untuk mulai menulis.

Perasaan kesal itu membuat saya kurang bergairah untuk meneruskan rencana menulis tentang Malala. Seperti ada yang memaksa-maksa padahal rencana itu adalah cita-cita saya sendiri. Sampai akhirnya saya tidak tertarik lagi terus menerus melihat potret Malala dan mulai mencari-cari topik lain. Saya memilih membiarkan Malala bertingkah semaunya diusung kesana kemari dan diliput oleh wartawan barat. Biar orang lain saja yang menilai. Saya tidak peduli. Lagipula ia bukan anak Indonesia!

Tidak jarang saya terbelah menjadi dua: saya yang sadar dan berfikir rasional mempunyai rencana dan cita-cita dan saya yang senang menunda, mengelak dan enggan bertindak untuk mencapai cita-cita itu. Sayangnya pergulatan antara keduanya sering dimenangkan oleh bawah sadar saya yang membangkang terhadap kehendak akal sehat.


Memang bawah sadar kita lain kelakuannya. Ia bukan berpedoman kepada rasio. Ia konon bekerja dengan menggunakan prinsip keakraban. Penelitian oleh Robert Zajonc ahli psikologi sosial terkenal telah membuktikan bahwa keakraban sederhana cukup membuat seseorang menyenangi sesuatu. Lebih akrab lebih suka. Dan keakraban semata dapat menyalip pemikiran sadar dan mempengaruhi pengambilan keputusan. Orang cenderung mengembangkan pemilihan berdasarkan keakraban. Kita umumnya lebih akrab yang aman, yang nyaman dan menyenangkan dan tidak dari yang sebaliknya. Begitulah saya selalu memutuskan memilih  mengerjakan yang lebih menyenangkan meskipun niat semula ingin berkarya. Bila tidak ada teguran atau akibat buruk yang terasa saya terus menggunakan autopilot keakraban untuk mengendalikan aktivitas sehari-hari. Kalau hanya kadang-kadang, menunda tidak apa-apa. Setiap orang juga sekali-sekali menunda pekerjaan mereka. Tetapi bila menjadi kecanduan, beginilah akibatnya hanya ingin menulis dua halaman saja tidak tuntas. Akibatnya urunglah niat saya mengumpat Malala…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar