MASA IYA LELUHUR SAYA KERA
Oleh: Jum’an
Beginilah saya. Tanpa pernah membaca sendiri teori
Darwin, merasa begitu yakin bahwa isinya hanyalah tentang nenek moyang manusia
adalah kera yang berevolusi menjadi manusia modern seperti sekarang ini. Sangat
risih rasanya ketika harus mempercayai atau tidak mempercayai teori evolusi itu.
Bagaimana mungkin dengan pengetahuan yang hanya sekuku hitam harus memutuskan
sesuatu yang menyangkut keimanan. Dalam tulisan Jangan
Tidak Percaya Evolusi saya
mengutip beberapa kontroversi yang terjadi dikalangan umat Islam dan agama lain
dalam menyikapi teori evolusi Darwin itu. Dari satu sisi, sebagai penganut agama
yang sangat menganjurkan menggunakan akal dan menuntut ilmu saya percaya pada
kebenaran proses evolusi seperti yang dikatakan oleh Dr. Ehab Abouheif dalam tulisan
diatas: “Evolusi biologis adalah fakta. Buktinya sangat banyak dan tak
terbantahkan.” Akan tetapi ketika sebagai konsekwensinya harus juga percaya
bahwa manusia berasal dari kera saya sungguh-sungguh keberatan. Sepengetahuan
saya Al-Qur’an tidak menyiratkan sedikitpun tentang itu. Pilihan saya sampai
saat ini, leluhur manusia adalah Adam dan Hawa. Dengan demikian sikap saya terus
menerus mendua dan tidak utuh. Dan ternyata bukan hanya evolusi kera menjadi
manusia, bukan hanya saya dan umat Islam saja, tetapi semua umat beragama
mengalaminya ketika terjadi benturan antara iman dan ilmu pengetahuan. Teori
Big-Bang tentang terbentuknya alam raya tidak kalah rancunya untuk dipercayai atau
tidak dipercayai.
Dalam suatu Penelitian
Agama dan Sains yang baru, terungkap adanya kelompok orang-orang
Amerika yang mempunyai cara tersendiri dalam menyikapi pandangan agama dan ilmu
pengetahuan, yang sebelumnya luput dari perhatian. Mereka, yang merupakan 21%
dari orang Amerika, sangat mengerti tentang ilmu pengetahuan, menghargai sains
dan teknologi, tetapi juga sangat religius dan menolak teori-teori ilmiah
tertentu. Karena menurut teori yang populer saat ini Amerika sedang bergerak
menjauhi agama kearah yang lebih sekuler, para peneliti itu menjuluki kelompok
baru ini sebagai kaum pasca-sekuler. Dengan kata lain, mereka sekaligus ilmiah
dan juga religius tetapi ketika terjadi benturan antara iman dan ilmu, cara
mereka mengambil sikap berbeda dari kaum modern yang berdiri diatas landasan
akal dan kaum tradisional yang bersandar pada agama. Ketika terjadi benturan
antara ilmu dan agama seperti tentang evolusi manusia, teori terbentuknya alam
semesta, serta tentang umur bumi, mereka
memilih mengambil pandangan ilmu pengetahuan atau pandangan agama,
tergantung mana yang menarik menurut pribadi mereka dalam memahami dunia. Kaum
pasca-sekuler tahu pikiran para ilmuwan. Mereka hanya tidak setuju pada
beberapa isu utama dan yang berdampak pada pandangan politik mereka. Sebagai
contoh, kaum modern yang selalu berlandasan pada akal paling mendukung
penelitian kedokteran menggunakan stem sel dari janin manusia dan hak aborsi
bagi kaum wanita. Tetapi kaum pasca-sekuler yang juga pro dan sains minded,
justru memilih berpihak kepada pandangan agama yang cenderung menolak kedua hal
tersebut. Mereka juga menolak teori evolusi.
Saya percaya pada proses evolusi tapi tidak mau memihak
pada orang yang mengatakan nenek-moyang saya kera. Saya tidak mau masuk partai
mereka dan tidak rela menjadikan mereka sebagai pemimpin. Hati nurani saya melawan.
Dan dalam dunia yang hanya sementara dan
fana ini, saya bergantung pada keluarga, kerabat dan jamaah yang agamis,
meskipun mereka tidak percaya dengan teori evolusi. Apakah kepercayaan saya
terhadap evolusi parallel dengan kaum pasca-sekuler? Atau sikap saya plin-plan? Jangan-jangan anda begitu
juga. Bagaimanapun saya merasa perlu membela diri. Hati nurani dan akal pikiran
adalah perangkat hidup bawaan, asli minalloh. Menuruti kata hati dan
menggunakan akal pada gilirannya sama pentingnya. Jadi menolak percaya bahwa
leluhur kita kera karena mengikuti suara hati, adalah hak yang sah. Bukan
plin-plan dan bukan mendua.
Lagi pula teori ilmu pengetahuan bisa berubah dengan
ditemukannya fakta-fakta baru oleh para ilmuwan. Menurut ahli biologi abad ke-19 Louis Dollo,
evolusi hanya berjalan satu arah, tidak dapat melangkah balik; sekali sebuah
struktur hilang, jalur itu tertutup untuk selamanya. Tetapi sebuah
penelitian baru oleh Univ. Chile menunjukkan bahwa evolusi dapat berbalik arah
atau reversibel. Penelitian itu memukan bahwa bahwa ruas tulang yang telah hilang
dari dinosaurus selama puluhan juta tahun, muncul kembali ketika dinosaurus
berevolusi menjadi burung dan terbang. Pergelangan kaki depan dinosaurus
berkaki empat terdiri dari 11 ruas yang diperlukan untuk menahan berat badan. Ketika
berevolusi menjadi dinosaurus berkaki dua sekitar 230 juta tahun yang lalu, pergelangan
itu menyusut tinggal 3 ruas. Diantara yang hilang adalah ruas berbentuk biji kacang
yg disebut pisiform. Ketika dinosaurus berkaki dua berevolusi menjadi burung,
sendi pergelangan di sayap, antara segmen tengah dan akhir, muncul lagi –yg
meningkatkan fleksibilitas sehingga sayap bisa melipat kembali kearah tubuh.
Burung juga menumbuhkan sebuah tulang di tempat yang sama berbentuk seperti
kacang, untuk menyalurkan kekuatan bagi sayap. Konon sejenis katak pohon dari
Amerika Selatan kehilangan gigi bawahnya dan tumbuh kembali setelah 200 juta
tahun. Dalam embrio manusia, ada potensi yang sama. Mungkin tulang ekor kita, ruas
terbawah dari tulang belakang akan tumbuh menjadi ekor yang panjang dimasa
depan ketika manusia mungkin perlu bergelantungan lagi diatas pohon. Bagaimanapun……..
jangan percaya bahwa leluhur kita kera.