MBAKYU
SAYA BERBEDA PARTAI
Oleh: Jum’an
Dua mbakyu saya yang oleh teman-teman saya dipanggil
dengan Yupatmah dan Yunur, sebagaimana wanita baik-baik dikeluarga kita,
mempunyai pernik-pernik mutiara yang pantas dicatat dalam hidupnya. Bukan saya
menyanjung kedua almarhumah kakak perempuan saya itu, karena kita sama-sama
tahu, dalam kehidupan yang serba kekurangan banyak niat baik tak terlaksana dan
silang sengketa mudah terjadi.
Penderitaan masa kanak-kanak dizaman revolusi, wabah
penyakit, musim paceklik dan tekanan kehidupan lainnya telah menempa mereka
tahan penderitaan dan kuat menjalani hidup. Keduanya hanya bersekolah sampai
Sekolah Rakyat kelas tiga ditambah khatam Qur’an. Meskipun masa kanak-kanak dan
remajanya dijalani bersama, keduanya tumbuh menjadi dua pribadi yang khas dan
berbeda dimasa tua mereka.
Yupatmah, yang langsing dimasa
mudanya menjadi wanita kurus beranak enam memilih tinggal di Banyumas,
membuka warung kecil didepan pasar. Ia pengikut Muhammadiyah yang taat, serius
dan sangat anti bid’ah. Ia mendirikan mushola (satu-satunya dilingkungan yang
kebanyakan abangan) yang sampai sekarang menjadi ampiran pedagang pasar
Banyumas untuk solat lohor dan untuk anak-anak mengaji sehabis maghrib.
Yupatmah pekerja yang ulet, hemat dan melindungi anak-anaknya lebih dari
apapun. Ia sinis terhadap kebanyakan pengemis yang berbadan sehat, yang
dianggapnya mengemis hanya karena malas.
Ketika gigi atas tengahnya lepas, saya usulkan supaya
pasang gigi palsu biar nampak “cantik”. Dia jawab: Nggak. Takut sulit matinya –
lagipula ompongnya tidak mengurangi kefasihan melafalkan ayat qur’an kalau
mengajar ngaji. Diakhir hayatnya ia berpesan supaya tidak ada bunga-bunga,
tidak boleh ada masak-masak dirumah. Ketika anak-anak menangisinya dirumah
sakit, ia mengatakan: tidak usah menangis. Semua sudah ada aturannya , semua
sudah ada ketentuannya.
Sementara itu Yunur yang tinggal di Jakarta,
beranak dua orang dan tetap berbadan gemuk seperti waktu anak-anak dulu. Setiap
Jum’at pagi ia suka duduk didepan pintu dengan segepok uang receh, menjemput
puluhan perempuan pengemis yang selalu lewat beberapa rombongan. Ia membiayai
Yupatmah naik haji dan mengirimkan uang bulanan untuk pengurus musholanya di
Banyumas. Usholli dan bacaan solatnya tetap yang berasal dari guru ngajinya
didesa dulu. Dia selalu datang kalau diundang yasinan atau tahlil tetangga.
Pokoknya dia tidak main prinsip. Sangat suka membaca koran, nonton TV, bahkan
tahu banyak tentang lakon-lakon pewayangan. Teman-teman saya dan juga
teman-teman anaknya kebanyakan akrab dengan dia. Ia juga mengikuti
berita-berita politik, bahkan pernah mempertanyakan kenapa saya seperti kurang
senang waktu Presiden Suharto jatuh.
Suatu kali, pagi-pagi buta ada
perempuan kurus minta dibukakan pintu dan karena disangka pengemis, Yunur tidak
mau membukakan. Dengan bahasa Banyumas yang medok perempuan itu membentak ”
He..ini Patmah mbakyumu, bukan pengemis..” Peristiwa itu dikenang seluruh
keluarga sampai sekarang.
Kalau sedang bete Yupatmah suka ke Jakarta tinggal
beberapa minggu. Kalau dilihatnya Yunur membagi-bagi uang receh untuk pengemis,
dia mencolek saya: Lihat itu mbakyumu.. sama sekali tidak mendidik.. memberi
kok pengemis malas”
“Siapa yang mau menerima mereka kerja.. kalau bisa kerja
tentu mereka tidak mengemis” jawab Yunur.
Ah memang kedua mbakyu saya beda partai. Tapi tidak apa.
Yang sering, mereka justru saling mengagumi dan sayang satu sama lain, yang
satu dengan pengetahuan populernya, yang satu dengan fanatik Muhammadiahnya.
(Ini adalah tulisan ulangan th 2009)
(Ini adalah tulisan ulangan th 2009)