KETIKA NYAWA ORANG ADA DITANGAN ANDA
Oleh: Jum’an
Pada akhir 1998, Raja Hussein dari Jordania diterbangkan
dari Amerika ke Amman dalam keadaan koma setelah gagal menjalani pengobatan
kanker di Mayo Clinic Minnesota. Alat-alat bantu seperti infus, ventilator,
mesin cuci darah, tidak dicabut dari tubuhnya karena keluarga kerajaan sepakat
untuk membiarkan beliau meninggal secara alami yaitu ketika jantungnya berhenti
berdenyut dengan sendirinya. Akhirnya beliau meninggal pada jam 11.45, 7 Feb. 1999.
Perdana Menteri Israel Ariel Sharon pada 2006 mederita stroke karena pendarahan
di otak pada usia 78 tahun. Menurut hasil CT scan Sharon menderita kerusakan
otak yang tidak dapat disembuhkan. Sharon tak pernah terbangun lagi dari koma,
dan terus dalam keadaan vegetatif (hidup tetapi tidak sadar) dengan berbagai
alat bantu. Diantaranya sebuah ventilator untuk nafas buatan dan tabung khusus untuk
menyalurkan nutrisi langsung ke perutnya. Ia dapat dipertahankan hidup selama 8
tahun - setidaknya dalam arti fisik – sampai meninggal pada bulan Januari 20014.
Kedua puteranya Gilad dan Omri yang bertekad untuk tidak mencabut alat-alat
bantu itu.
Siapapun mempunyai kemungkinan mewakili orang dekatnya
yang tidak bisa lagi dapat memutuskan untuk dirinya karena menjelang ajal atau
sakit parah. Tugas itu termasuk untuk mencabut atau meneruskan alat bantu
kehidupan, memasang infus, mencoba nafas buatan (CPR), boleh atau tidak jenazahnya
di otopsi atau organ tubuhnya disumbangkan. Beberapa
contoh nyata dibawah ini memberi gambaran situasi yang dialami oleh
seseorang yang harus menjalankan tugas yang menentukan itu.
Darlene, penderita sakit paru-paru yg sudah parah, telah
menandatangani arahan yang menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak ingin
pertolongan CPR dilakukan atas dirinya jika jantungnya berhenti. Suatu saat ia mengalami
gagal pernapasan, hilang kesadaran dan sekarat. Suaminya, yang tidak bisa
membayangkan hidup tanpa Darlene, memutuskan untuk mengabaikan arahannya.
Darlene behasil disadarkan dan dipasang alat bantu dan akhirnya keluar dari
rumah sakit. Tetapi ia sangat marah pada suaminya yang telah mencegah dia dari
mati secara alami, yang akan terjadi bila ia tidak diberi nafas buatan. Ketika
sang suami membela diri bahwa Darlene telah tersealamatkan oleh tindakannya,
Darlene menjawab dengan nada marah: "Kau pikir saya senang hidup dengan
penyakit mengerikan ini. Bagaimana aku bisa percaya kamu lagi? " Sang
suami berbuat demikian karena terperangkap oleh panggilan cinta.
Jong, seorang pasien, sedang menjelang ajal karena
kanker. Proses kemoterapi telah menghilangkan kekebalan tubuhnya hingga ia
terserang virus ganas dan harus dirawat diruang ICU untuk perlidungan yang
maksimal. Jong tidak memberikan arahan sebelumnya dan istrinya, Soo-jin yang
mewakilinya untuk memutuskan. Kondisi Jong memburuk dan tim medis ingin
melepaskan alat-alat bantu dan memungkinkan dia untuk mati. Soo-jin adalah
seorang wanita lemah lembut yang sangat hormat kepada dokter. Tetapi ia dengan
tegas menolak diajak untuk berdiskusi tentang pencabutan alat bantu kehidupan
suaminya. Ketika ditanya apakah kalau Soo-jin dalam kedudukan suaminya ia akan
berbuat sama untuk dirinya, ia menjawab:”Tentu saja tidak!”, Dia lebih
suka alat-alat bantu itu dilepaskan agar
ia dapat mati dengan tenang. Jadi mengapa ia berbuat sebaliknya untuk suaminya?
"Tugas seorang istri yang baik adalah untuk menyelamatkan suaminya,"
katanya lembut dan dengan tekad baja. Panggilan tugas itu sangat kuat dan sulit
untuk diabaikan. Soo-jin mengambil keputusan yang tidak akan ia ambil untuk
dirinya karena panggilan tugas itu.
James yang sudah tua, mengalami sakit jantung yang
parah. Dia telah beberapa kali masuk rumah sakit. Suatu kali ia tidak sadar dan
harus dirawat diruang ICU dan dipasang peralatan bantu kehidupan. Meski dengan terapi maksimal, tekanan darahnya
terlalu rendah, ginjalnya tidak berfungsi dan ia tidak bisa dibangunkan.
Anaknya, John, yang tinggal di negara bagian lain, diminta datang. John sibuk
dengan hidupnya dan tidak mengunjungi ayahnya selama beberapa tahun. Ketika ia
tiba, tim medis minta izin kepadanya untuk mencabut alat-alat bantu dari tubuh
ayahnya untuk memungkinkan ayahnya mati. Sambil duduk di samping tempat tidur
ayahnya yang menjelang ajal, yang diingatnya hanyalah rasa menyesalnya bahwa ia
tidak pernah mengunjungi maupun menilpun ayahnya. Sekarang, ia datang melihat
ayahnya di ambang kematian, nalurinya yang kuat mengatakan bahwa ia wajib untuk
berperan sebagai pembela dan berjuang untuk melindungi ayahnya dari
dokter-dokter yang ingin mencabut alat-alat bantu hidupnya. Dalam situasi
seperti ini, sadar atau tidak sadar, ia terutama didorong oleh kepentingan
dirinya sendiri untuk menebus kesalahan, satu kesempatan terakhir untuk
memperbaiki hubungan dengan ayahnya.
Ketika nyawa seseorang ada ditangan kita (anda),
terutama ketika harus memilih untuk mencabut atau membiarkan alat penyambung
hidup seseorang, ada beberapa kesulitan tersembunyi dan karenanya kita harus
sangat berhati-hati. Disamping panggilan rasa cinta, tugas ataupun menebus
kesalahan, kita harus bertanya apakah tindakan kita didasari kepentingan
diri-sendiri atau kepentingan si sakit.