PROVOKASI SALAH-SALAH BISA MATI
Oleh: Jum’an
Untuk mengimbangi pekerjaan kantor yang membosankan
karyawan selalu punya cara. Bercanda untuk membangkitkan suasana ceria. Tentang
apa saja dan siapa saja seperti sindiran
untuk karyawati gemuk, bos yang botak, lemburan fiktif, tentang mertua,
perselingkuhan dan apa saja. Ditelinga saya yang lebih tua tidak selalu
terdengar menyenangkan, kadang-kadang risi dan menyakitkan hati. Contohnya bila
sasarannya respsionis kami yang sedikit
oversize, berwajah bulat dan kebetulan berhidung pesek. Selalu ada yang kreatif
dan cekatan menemukan julukan yang mengena dan provokatif. Saya rasa ia pasti merasa
tersinggung dan marah. Sementara ia telah gagal berjuang untuk melangsingkan badan
justru diejek dengan julukan truk tronton dan hidungnya dibilang mancung
kedalam. Tetapi karena hati lebih arif dari mata dan telinga, selama tidak
terasa ada nada kebencian, resepsionis kita tetap tersenyum-senyum saja.
Nampaknya ia justru ikut bergembira karena tanpa upaya apapun telah berhasil ikut
menghidupkan suasana. Juga karena kami karyawan yang hanya belasan orang,
merupakan komunitas kecil yang senasib, lingkungan terbatas dan materi
gurauannya ringan-ringan saja. Ada benang merah antara sindiran halus (satir) dan
kebencian. Bagi yang seumur saya, mungkin masih ingat peristiwa ini. Kebanyakan
umat Islam di desa-desa yang mengenakan kain sarung ketika pergi ke masjid;
tetapi ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1960-an menjuluki kita
sebagai “kaum sarungan”, kita segera tahu itu bukan sekedar sindiran tapi provokasi
yang mengundang permusuhan. Antara
sesama kita, sebutan kaum sarungan atau pecian terdengar damai-damai saja.
Kebebasan berekspresi bukan berarti siapa saja berhak
untuk didengar kapan saja, dimana saja tentang apa saja dan siapa saja. Ada
saat-saat ketika dapat atau harus dirtarik garis batas demi alasan moral atau hukum,
ada saat-saat lain dimana tidak pantas dan salah untuk membuat garis tersebut. Paus Franciscus mengatakan
kebebasan berekspresi ada batasnya terutama ketika menghina atau
mengejek iman seseorang. Kebebasan berbicara memang bukan saja merupakan hak
asasi, tetapi adalah kewajiban setiap manusia untuk menyampaikan pikirannya,
demi kebaikan bersama. Bagaimanapun tetap ada batas-batasnya. "Jika teman
baik saya Dr. Gasparri ini mengucapkan kutukan terhadap ibu saya, dia akan saya
pukul.” Dr. Gasparri adalah pejabat
Vatikan yang memimpin rombongan perjalanan Paus ke Philipina. "Ini normal.
Anda tidak boleh memprovokasi. Anda tidak bisa menghina iman orang lain. Anda
tidak bisa mengolok-olok iman orang lain. Banyak orang yang berbicara buruk
tentang agamanya atau agama lain, yang mengolok-olok mereka, yang mempermainkan
agama-agama lain," katanya. "Mereka adalah provokator. Dan apa yang terjadi
pada mereka adalah apa yang akan terjadi pada Dr. Gasparri jika ia mengucapkan
kutukan terhadap ibu saya. Ada batas."
Sementara itu Roskomnadzor, badan pengawas
media dan komunikasi Rusia memperingatkan bahwa publikasi karikatur
yang menggambarkan peribadatan umat beragama yang menyinggung perasaan adalah
melawan norma-norma etika dan moral yg sudah berlaku selama berabad-abad. Di
bawah hukum Rusia disejajarkan dengan menghasut kebencian etnis dan agama. Publikasi
ini juga melanggar undang-undang media dan anti-ekstremisme Rusia. Meskipun
Pemerintah Rusia membela Perancis dan Menteri LN Sergei Lavrov ikut berpawai di
Paris, para komentator pro-Kremlin menuduh kartunis Charlie Hebdo yang
memprovokasi serangan. Dewan Mufti Rusia, otoritas Muslim tertinggi disana
mengutuk serangan itu tetapi mengatakan bahwa "dosa provokasi tidak kalah
berbahaya bagi perdamaian dibanding dosa orang-orang yang terpancing oleh
provokasi itu." Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov juga mengatakan bahwa
para pelukis karikatur Nabi Muhammad saw itu "orang tanpa nilai-nilai
spiritual dan moral."
David Brooks pengamat politik dan budaya Amerika dalam
tulisannya ”I
am not Charlie Hebdo” menjelaskan kemunafikan banyak orang Amerika yang
menyanjung keberanian Charlie Hebdo untuk menyebarkan hal-hal yang ofensif,
pada kenyataannya tidak toleran terhadap siapapun yang menyinggung pandangan
mereka sendiri. Para penggambar karikatur Nabi Muhammad saw adalah generasi hipokrit
yang paling merasa yakin alias fundamentalis
dalam kebebasan berbicara tanpa batas untuk mengatakan tentang apa saja,
kapan saja dan siapa saja. Mereka bangga dan terlatih membuat sindiran yang menusuk
hati dan membakar telinga dengan dalih kebebasan ber ekspresi dan semangat provokasi.
Baik Paus Franciscus dari Vatican, Roskomnadzor Pengawas Media Rusia, apalagi kita
yang merasa Junjungan kita dijadikan olok-olok, sepakat bahwa para kartunis itu
adalah jelas provokator. Saya hanya ingin menambahkan, jangan suka memprovikasi
salah-salah bisa mati!