PERJUANGAN TANPA PERIKEMANUSIAAN
Oleh: Jum’an
Pada tahun 1568 diabad ke 16, Panglima Takeda berperang
melawan Panglima Imagawa, Shizuoka dan Uesugi di Matsumoto Jepang. Shizuoka,
yang wilayahnya berbatasan dengan laut sebagai sumber penghasil garam menghentikan pengiriman
garam kepada Takeda untuk memaksa rakyat kelaparan dan menyerah. Tetapi
Uesugi yang wilayahnya juga memiliki pantai laut tidak tega melihat orang
menderita karena kekurangan garam. Baginya tidak terhormat sebagai seorang prajurit
dan panglima perang. Dia tidak ingin menaklukkan musuh dengan cara membuat
orang awam menderita. Tanpa garam mereka tak dapat mengawetkan makanan yang
mudah rusak seperti ikan dan daging. Garam juga mempengaruhi kekuatan otot,
tekanan darah dan menahan cairan dalam tubuh manusia. Tanpa garam sama
sekali, orang bisa mati. Maka Uesugi mengirimkan garam untuk Takeda, diangkut
menggunakan sapi yang tiba di Matsumoto 10 Januari 1568 saat Takeda hampir
menyerah. Batu tempat mengikat sapi (Usitunagiishi) di jalan Honmachi di kota Matsumoto
itu diabadikan hingga kini. Festival merayakan kedatangan garam pun diadakan
setiap 10 Januari dari abad ke 16 sampai sekarang disana.
Ditengah berkecamuknya peperangan di Irak sekarang,
pihak-pihak yang bermusuhan yang semuanya adalah kaum muslimin, juga
menggunakan cara-cara yang tidak ber perikemanusiaan dan menyengsarakan rakyat.
Disaat damai kita semua sadar bahwa orang tua, wanita dan anak-anak, ternak dan
tanaman tidak boleh dijadikan sasaran perang baik menurut agama maupun
perikemanusiaan. Tetapi dalam masa peperangan semua orang tidak peduli: mereka
menghalalkan segala cara demi cita-cita perjuangan yang menurut anggapan mereka
paling benar.
Gerilyawan
Irak telah menggunaakan air sebagai senjata perang
setelah berhasil merebut suatu bendungan sungai Efrat di Nuaimiya, 5 km selatan
Falluja yang sejak tahun lalu dikepung oleh pasukan pemerintah untuk mengusir
mereka dari sana. Para pejuang ISIS
(ISIL) menutup semua pintu bendungan itu yang mengakibatkan banjir
didaerah hulu dan kekeringan diprovinsi selatan Irak yang dilalui aliran sungai
Efrat. Penutupan itu dimaksudkan untuk membanjiri daerah sekitar kota agar
pasukan pemerintah mundur dan menghentikan pengepungan di Falluja. Banjir itu
telah mengakibatkan sekitar 60.000 orang kehilangan rumah, panen, ternak dan
mata pencaharian mereka. Ratusan ribu orang mengungsi keluar provinsi Anbar
akibat banjir yang berminggu-minggu menenggelamkan wilayah di provinsi terbesar
Irak itu. Di Ramadi saja, 10.000 rumah hancur, 2000 hektar lahan pertanian tak
dapat ditanami, 49 sekolah ditutup dan ujian ditunda. Ini merupakan banjir terburuk sejak 1950, kata Azhar Ibrahim,seorang seorang
petani. Meskipun demikian, ia masih merasa beruntung karena sempat memanen
melon tepat sebelum banjir datang. Setelah itu ladangnya tergenang habis.
"Apa yang mereka lakukan terhadap kita adalah kejahatan," ia menangis
putus asa sambil menghitung uang recehan hasil menjual melonnya di pinggir
jalan kota Baghdad. "Menggunakan air sebagai senjata dalam perjuangan
untuk membuat orang kehausan adalah kejahatan keji," kata Oun Dhiyab,
pejabat Departemen Pengairan. "Menutup bendungan dan bermain-main dengan
air sungai Efrat akan menimbulkan akibat yang mengerikan." Selain itu banjir
buatan itu juga dimaksudkan untuk menjegal pemilihan parlemen pada 30 April.
Mereka berhasil; ternyata hanya sepertiga dari TPS di Provinsi Anbar yang dapat
dibuka akibat bencana banjir itu.
Penutupan bendungan Nuamiya sekaligus bertujuan untuk
membuat Karbala dan Najaf, tempat suci kaum Syiah kekeringan, sehingga
memperluas kegiatan mereka di wilayah selatan. Sepuluh juta penduduk mengalami
kekurangan air. Bila penutupan terus berlangsung tentu akan berdampak buruk bagi
daerah pertanian di banyak provinsi selatan yang bergantung pada sungai Efrat,
termasuk Hilla, Karbala, Najaf dan Diwaniya. Penurunan debit air juga
menyebabkan kekurangan tenaga listrik di kota-kota di selatan Baghdad, yang
mengandalkan generator bertenaga uap (PLTU) yang sepenuhnya bergantung air yang
cukup. Pemerintah
akhirnya mengunakan taktik yang sama. Mereka membuka semua pintu air di
bendungan dekat Haditha lebih ke utara (hulu) di sungai Efrat. Akibatnya,
permukaan air naik secara drastis dan meluap ketepi Efrat, masuk dan menjebol
tanggul saluran irigasi. Banjir diutara
Fallujah ini disengaja oleh pemerintah Irak untuk menghambat gerakan kelompok
ISIS dan untuk mencegah mereka agar
tidak sampai ke Baghdad. Diharapkan banjir di wilayah Suni itu akan mengurangi
dukungan pada ISIS sehingga mereka tak akan mampu mempertahankan basis
operasional mereka di Anbar. Nampaknya hal ini tidak terbukti.
Menurut berita, awal Juni lalu
bendungan
Haditha telah dikuasai pihak pemberontak ISIS . Mereka juga
menguasai salah satu bendungan besar 30 kilometer utara Mosul, yang dibangun
diatas pondasi yang rapuh dan memiliki resiko bobol. Bendungan ini menampung setidaknya
8 miliar meter-kubik air. Bila dam ini sampai jebol maka Mosul akan tenggelam
20 meter dan Baghdad 5 meter dibawah air dan kemungkinan korban tewas dapat mencapai 500,000 jiwa, kata manajer
bendungan Abdulkhalik Ayub. Nauzubillah bila sampai bendungan Mosul ini disabot
oleh salah satu pihak yang berperang………….