AGAMAKU AGAMAMU – NEGERIKU NEGERIKU
Oleh: Jum’an
Abu Bakar, sahabat saya mempunyai cara berpikir yang kadang-kadang
mengejutkan. Suatu kali ia berkata bahwa bumi ini milik Allah sebagaimana
disebut dalam Qur’an. Mengapa sekarang dikapling-kapling menjadi negara-negara
yang saling melarang memasuki petak masing-masing? Ia yakin bahwa Allah tidak
menghendaki begitu. Bumi adalah milik Allah untuk kesejahteraan bersama semua
umat manusia. Daripada memberikan jawaban yang tidak jelas saya hanya menimpali
bahwa mungkin, bangsa China ingin bersatu lalu membentuk negara China begitu
juga bangsa Melayu, bangsa Arab dan yang lainnya lalu masing-masing membuat
aturan sendiri-sendiri. Abu hanya diam, wajahnya jelas meremehkan teori saya. Istilah
milik Allah seperti tertulis dalam Surat An-Najm ayat 31 (Dan milik Allah-lah
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi) dicerna secara berbeda-beda
diantaranya seperti cara Abu Bakar yang begitu harfiah tadi. Belum tentu salah
atau benar, tetapi dapat diperkirakan bahwa Abu akan memilih agamanya daripada
negerinya bila suatu saat terpaksa harus memilih.
Seperti kita saksikan sekarang ini, banyak umat Islam
dari berbagai bangsa dan negara pergi ke negara-negara Timur Tengah untuk
berjihad membela kelompok yang mereka sukai, yang berarti bahwa mereka lebih mengutamakan
agamanya daripada negerinya. Bila prosedur resmi memasuki negara-negara itu tidak
memungkinkan, mereka tidak segan-segan untuk menempuh jalan belakang. Mereka
juga tega untuk meninggalkan anak isteri demi berjihad dan mati syahid. Padahal
ada puluhan kelompok yang saling bermusuhan disana. Anda ingin menjadi relawan
berjihad membela Bashar Assad? Atau bergabung dengan pemberontak Houti di Yaman
atau bergabung dengan ISIS? Bagi yang pemahamannya tentang bumi Allah sama
dengan Abu, berangkat saja! Apa salahnya? Batas-batas negara adalah buatan
menusia sedangkan Indonesia, Siria, Irak dan Yaman sama-sama bumi Allah! Kita sepenuhnya
berhak untuk merambahnya. Apa sulitnya masuk kesana. Demi persatuan Islam, demi
kebenaran, demi…….. Bahkan tak ketinggalan sejumlah kaum wanita menyediakan
diri dinikahi para pejuang dan ikut di medan tempur disana. Seolah-olah keadaan
sudah demikian gentingnya sehingga masing-masing mengikuti apa yang ada dalam
pikirannya sendiri-sendiri. Benarkah begitu mendalam iman dan takwa mereka,
begitu kuat ukhuwah dan cintanya sesama umat Islam melebihi cinta kepada
keluarga dan negaranya sendiri? Wallohu a’lam.
Yang jelas pada saat yang sama ada bukti yang menunjukkan
keadaan sebaliknya dimana kita bersikap tidak peduli terhadap saudara-saudara
seiman yang sedang ditimpa kesengsaraan. Bukti bahwa negeriku lebih penting
daripada ukhuwah agamaku. Ribuan pengungsi Rohingya yang beragama Islam yang
terusir dari Myanmar telah ditolak mendarat di Serambi Mekah Aceh dan diusir pula
oleh pemerintah Malaysia yang menyatakan bahwa agama resminya Islam. Mereka
meminum air kencingnya sendiri
untuk bertahan hidup terapung-apung di laut karena sia-sia mengharapkan
bantuan sesama umat Islam Malaysia dan Indonesia.
Sementara pengungsi muslimin dari Libia
yang ingin masuk ke daratan Eropah, mendapat perlakuan yang lebih manusiawi dari
mereka. Nampak bahwa kemanusiaan mereka lebih dewasa ketimbang keislaman kita.
Membaca penderitaan kaum pengungsi Rohingya terbayang di
mata saya, mereka itu seperti saudara kita dari kampung yang terpaksa mengemis kekota
dan bertemu dengan kita. Ia ingin bernaung barang semalam di emperan rumah
kita, mengharap sesuap nasi dan seteguk air, karena dalam anggapannya kitalah
yang paling pantas menolongnya. Tetapi kita berkata kepadanya: Jangan mengemis
kesini. Kita memang bersaudara kita memang seagama, tapi minta saja kepada tetangga
sebelah sana! Jangan minta air dari saya apalagi menginap di emperan rumah
saya. Minum air kencingmu sendiri kalau perlu! Agamamu dan agamaku memang satu
tetapi negeriku adalah negeriku, bukan negerimu!