18/08/13

KAKEK DAN CUCU SALING MENYEHATKAN


KAKEK DAN CUCU SALING MENYEHATKAN
Oleh: Jum’an

Cucu adalah sumber kebahagiaan, kemesraan dan kegembiraan: boleh ditimang-timang tidak usah harus memandikan, boleh disayang-sayang tanpa harus menyekolahkan. Megasuh dan mendidik adalah kewajiban orang tuanya. Cucu adalah sepenuhnya balas-jasa dari anak kita tanpa mengurangi haknya sebagai ayah-ibu. Berkah dari Sang Pengasih untuk disayang dan ditimang. Cucu adalah  sumber keceriaan yang instan, penenteram resah dan gelisah, obat rindu dan hiburan diusia senja. Anak dan menantu mungkin lusuh dan kumuh tetapi cucu selalu baru dan segar. Perjalanan jauh dan melelahkan tidak mengapa demi bertemu cucu. Cucu adalah kompensasi dari Tuhan untuk kita yang menua. Kakek yang baik baik selalu punya tinggalan untuk cucunya. Demikian pula sebaliknya. Bagi cucu, keluarga tanpa nenek tidaklah aci. Kakek dan nenek itu orang tua ya, guru ya dan teman main juga ya. Kakek dan nenek yang berambut seputih perak dan berhati emas; murah dengan pelukan dan ciuman, nasehat dan juga kue dan oleh-oleh. Nenek pasti sudah menunggu saya dari tadi, tak sabar saya untuk memeluknya. Tempat terbaik bagi cucu yang bersedih adalah dipangkuan kakek. Yang kita butuhkan semua ada di persediaan kakek dan berlimpah: cinta tanpa syarat, kebaikan, kesabaran, dongeng yang mempesona, perlindungan, kenyamanan dan pelajaran dalam hidup. Dan yang paling penting oleh-oleh dan hadiahnya. Menjadi kakek cukup membebaskan seseorang dari dari tanggung jawab sehingga ia boleh berteman saja dengan cucunya. Kata orang Amerika, tidak pernan ada koboi yang dapat mencabut pistol secepat kakek mengeluarkan potret cucunya dari dompet untuk dipamerkan. Anda akan merasakan sendiri betapa eratnya tangan mungil mereka menggenggam jari kakeknya.

Itu mungkin nostalgia yang dilebih-lebihkan. Tetapi penelitian ilmiah membuktikan bahwa kakek-nenek dan cucu-cucu, mereka benar-benar memainkan peranan penting dalam saling menjaga kesehatan mental masing-masing. Penelitian oleh Boston College selama 20 tahun menemukan bahwa kwalitas hubungan antara kedua generasi itu memiliki dampak yang nyata dan terukur terhadap kesehatan mental mereka. Hasil penelusuran kesehatan mental dari 376 kakek-nenek dan 340 cucu antara 1985-2004 menunjukkan bahwa  kakek-nenek dan cucu-cucu mereka yang sudah dewasa yang tetap merasa saling dekat secara emosional, memiliki gejala depresi yang lebih sedikit. Sekarang ketika harapan hidup rata-rata telah banyak meningkat, hubungan kakek-nenek dengan cucunya bertambah penting karena mereka hidup berdampingan dalam waktu yang lebih lama sehingga dampak positip hubungan mereka dapat menjadi dukungan bagi seluruh kehidupan masyarakat. Sekarang anda mungkin berusia 30 atau bahkan 40 tahun tetapi masih mempunyai kakek atau nenek yang masih sehat. Ini merupakan fenomena baru dalam sejarah; zaman dulu jarang ada yang demikian.

"Para anggota keluarga, seperti kakek, nenek  dan cucu memberikan manfaat penting dalam kehidupan sehari-hari satu sama lain sepanjang masa dewasa," kata peneliti Sara Moorman, profesor sosiologi di Boston College. Selain pengaruh positip kesehatan mental bagi kakek-cucu yang mempunyai hubungan emosional yang dekat, penting bagi kakek-nenek untuk membalas nikmat yang mereka terima dari cucu mereka. Kebanyakan kakek-nenek dalam penelitian itu berharap untuk dapat membantu cucunya bahkan ketika sang cucu tumbuh dewasa, kata Moorman. Di antara kakek-nenek yang merasa mandiri, memberikan nasihat untuk cucu mereka dan sesekali membeli hadiah untuk mereka atau mengajak makan di restoran; dan mereka memiliki gejala depresi lebih sedikit, dibanding mereka yang tak pernah membalas kebaikan cucunya. Penelitian ini juga menemukan bahwa penting bagi cucu untuk menjaga agar kakek mereka tetap merasa mandiri, mengadakan hubungan timbal balik yang sportif untuk menghindari efek negatif dari penuaan terhadap kesehatan mental dan emosional orang tua. Perasaan mandiri, perasaan berharga dan perasaan dibutuhkan adalah bermanfaat bagi semua orang. Jadi biarkan kakek membelikan baju baru untuk anda meskipun dari mengumpulkan sisa uang pensiunnya yang pas-pasan dan tahu gaji anda belasan juta..
Menurut sebuah studi ekstensif di Inggris, keeratan hubungan antar anggota keluarga memang terbukti meningkatkan kesehatan mental terutama bagi kaum pria. Penelitian itu merupakan bagian dari Studi Pembangunan Anak Nasional di Inggris dan dimuat dalam Journal Epidemiology and Community Health 22 Agustus 2013.

06/08/13

MENYINGKAP KERUDUNG MENGUNDANG GEMPA


MENYINGKAP KERUDUNG – MENGUNDANG GEMPA
Oleh: Jum’an
Dr. Ir. Munasri dan Dr. Eko Yulianto adalah peneliti geologi dari Puslit Geoteknologi LIPI, lulusan Universitas Tsukuba Jepang dan Universitas Hokkaido. Mereka berdua telah menulis sebuah buku setebal 36 halaman yang berjudul “Bumiku Seperti Kerupuk di atas Bubur”. Buku terbitan LIPI itu dimaksudkan untuk menyebarluaskan pengetahuan dan kesiap-siagaan menghadapi gempa bumi dan tsunami kepada masyarakat. Kita dapat membacanya langsung dengan meng-click judul diatas atau memperolehnya gratis dengan menghubungi penulisnya. Kita dapat memahami mekanisme dan mengapa gempa bumi terjadi dari buku yang dibuat sesederhana mungkin, dengan ilustrasi, foto, dan warna-warna yang menarik, untuk konsumsi pelajar, guru maupun pembaca umum. Salut bagi kedua putera bangsa itu. Atau anda dapat memahami banyak hal tentang gempa bumi melalui situs Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Tetapi meskipun kita sudah tahu bahwa kulit bumi itu ibarat kerupuk diatas bubur yang labil, dan sebagian orang tinggal di daerah rawan gempa, kita selalu bertanya-tanya: “Apakah gempa, tsunami dan bencana lainnya merupakan hukuman Tuhan bagi manusia karena banyak melanggar kehendakNya?”
Pada 16 April 2013 gempa 7,8 Skala Richter mengguncang  Iran, menewaskan 34 orang, jutaan dolar kerusakan dan banyak korban luka dan cedera. Iran adalah satu diantara Negara rawan gempa dan gempa kali ini terjadi akibat pergeseran lempeng Arab dibawah lempeng Eurasia. Pernyataan yang tidak diduga-duga diucapkan oleh Hojatoleslam Kazem Sedighi seorang ulama senior Iran. Ia menyatakan dalam khotbah Jum’atnya di Tehran bahwa wanita yang berpakaian tidak sopan dan berperilaku sembarangan yang harus dipersalahkan atas terjadinya gempa tersebut. Ia berkata: "Banyak wanita yang tidak berpakaian dengan sopan ... menyebabkan pemuda sesat, merusak kesucian mereka dan menyebarkan perzinahan didalam masyarakat, yang meningkatkan terjadinya gempa bumi". Wanita Iran memang diwajibkan untuk berpakaian tertutup dari kepala sampai kaki, tetapi banyak dari mereka terutama kaum mudanya, mengabaikan peraturan itu dengan mengenakan pakaian yang ketat dan kerudung ditarik kebelakang untuk menunjukkan bentuk tubuh dan keindahan rambut mereka. "Apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terkubur di bawah reruntuhan gempa?" tanya Sedighi dalam khotbahnya. "Tidak ada solusi lain kecuali berlindung dan menyesuaikan hidup kita dengan moral Islam". Kalau wanita harus bertanggung-jawab atas gempa, bagaimana dengan letusan gunung, banjir dan global warming? Mudah diduga bahwa pernyataan seperti itu menyakitkan hati banyak kaum hawa disana.
Jadi apakah gempa merupakan hukuman Tuhan karena manusia banyak melanggar kehendakNya? Entah hanya kadang-kadang demikian, atau sekedar contoh dalam sejarah sebagai peringatan atau setiap gempa adalah hukuman terhadap  dosa-dosa manusia, tetapi dalam Al-Qur’an (dan kitab-kitab suci agama samawi yang lain) memang disebutkan demikian seperti kaum Nabi Luth yang mengalami gempa besar karena perilaku homosex mereka yang merajalela. Kaum Nabi Nuh yang mengalami banjir besar karena mengingkari dan mempermainkan utusan Allah. Disamping gempa dan banjir, disebutkan juga tentang angin yang dahsyat, udara yang sangat panas, karena manusia menolak untuk beriman, menyembah berhala, menipu, hubungan sesama jenis dll.
Sebagian kaum Yahudi percaya bahwa segala sesuatu merupakan ungkapan dari kehendak Tuhan. Bumi dan semua isinya adalah suatu kesatuan organik; setiap perbuatan, baik ataupun buruk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh Tuhan. Jadi jika kita berdosa, Tuhan bereaksi dan itu mungkin berarti gempa bumi atau kelaparan atau tentara yang menyerang. Apapun yang terjadi mencerminkan perilaku kita dan kehendak Tuhan. Ini sejalan dengan pemikiran sebagian kaum Nasrani yang berpendapat bahwa serangan terhadap gedung WTC 11 September 2001 di New York adalah akibat toleransi Amerika terhadap perkawinan sejenis, aborsi, feminis dan lesbian dan pendapat sebagian kita bahwa bencana tsunami Aceh 2004 disebabkan kebejatan moral rakyat Indonesia. Bahkan ada orang-orang Yahudi sendiri yang percaya bahwa “Holocaust adalah hukuman bagi bangsa Yahudi yang mencoba-coba  reformasi Yudaisme di Jerman”. Rabbi Yehuda Levin (60 th) seorang pendeta Yahudi yang terkenal anti homoseks dari Brookliyn New York mengatakan bahwa gempa besar di Pantai Timur AS 2011 disebabkan Tuhan marah atas merebaknya homoseksualitas di Amerika. Kitab Talmud Yerusalem telah menyatakan: “You have shaken your male member in a place where it doesn’t belong. I too will shake the earth”. Ia yakin bahwa perilaku homosex adalah penyebab spiritual dari gempa bumi.
Tetapi sebagian lain kaum Yahudi lebih mempercayai Musa ibn Maimun (Maimonides) seorang pendeta Yahudi dan filosof jaman pertengahan. Ia berpendapat bahwa gempa bumi dan bencana alam lainnya adalah manifestasi dari sifat sementara dari dunia materi. Kita tidak dan tidak dapat mengendalikannya, menghentikannya, atau mengubah peristiwa yang terjadi secara alamiah tersebut. Apa yang dapat kita lakukan adalah menggunakan "kearifan" untuk mengurangi kerusakan yang akan disebabkan.

Mengapa ada rasa enggan di hati saya untuk meyakini bahwa gempa bumi dizaman sekarang dimaksudkan Allah untuk menghukum kita, dan lebih sulit lagi untuk mempercayai bahwa menyingkap kerudung mengundang gempa? Mengapa saya lebih suka dengan Pak Munasri dan Pak Eko dengan kerupuk diatas buburnya? Dan bahkan membenarkan  Musa ibn Maimun? Tetapi saya yakin bahwa Al-Qur’an adalah sabda Allah SWT dan benar,  meskipun pemahaman saya terlalu dangkal.