23/12/15

MARIA ZAITUN PELACUR TUA


MARIA ZAITUN PELACUR TUA
Disajikan kembali oleh: Jum’an

Sajak Nyanyian Angsa ditulis di Amerika tahun 1965 oleh sastrawan Willibordus Surendra Broto Rendra atau WS Rendra. Lahir di Solo 1935 (meninggal 2009) dari bapak Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo seorang guru Sekolah Katolik dan ibu Raden Ayu Catharina Ismadillah seorang penari Keraton. Nyanyan Angsa ditulis ketika ia masih beragama Katolik. Setelah memeluk Islam pada tahun 1970 nama almarhum berganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Inilah kisah Maria Zaitun pelacur tua  yang akhirnya menemukan kebahagiaan.  

NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.

Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. 
Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)



14/12/15

SAYA JAMLIKUN - GURU MADRASAH


SAYA JAMLIKUN – GURU MADRASAH
(JALAN YANG URUNG KUTEMPUH)
Oleh Jum’an

Almarhumah ibu saya adalah seorang guru mangaji dari desa kecil di Jawa Tengah. Muridnya anak-anak tetangga dekat saja. Saya kira dia pernah modok di salah satu pesantren. Sedangkan almarhum bapak saya seorang duda yang telah menikah dua kali dan kedua-duanya meninggal dunia. Ia pedagang kitab kuning dipasar-pasar desa. Konon ia menikahi ibu saya karena profesinya itu. Ia sering menginap dirumah paman ibu saya, lalu melamarnya dan diterima baik oleh ibu saya.  Pernikahan itu juga tidak lama karena sebelum saya masuk SD ibu dipanggil pulang ke rahmatullah. Lama sesudah itu, kalau ditanya oleh teman-temannya apakah mau menikah lagi ia sambil bergurau menjawab: “Tidak! Saya sudah bosan membeli kain kafan….” Sekarang di hari tua saya berkhayal: Seandainya saja dulu ibu saya menolak lamaran duda itu, saya sekarang bukanlah saya yang ini. Saya yang sekarang terdampar di Tenabang dan berkantor tepi danau Sunter telah menempuh lorong kehidupan yang panjang dan berliku-liku. Banyak lorong yang urung saya tempuh; sebagian karena pilihan saya, sebagian karena terpaksa dan sisanya karena karena ajakan atau paksaan orang lain.
Kalau saja ibu memutuskan untuk menolak lamaran duda pedagang kitab kuning itu dan memilih menikah dengan pemuda lain, jelas saya tidak akan diberi nama Jum’an. Jamlikun mungkin; nama itu serasi dengan nama anak-anak sedesa saya. Ada kemungkinan saya ikut dengan sepupu saya nyantri dipondok Lirboyo atau Tambak Beras di Jawa Timur dan sepulangnya saya menjadi guru ngaji seperti ibu saya atau jadi guru madrasah. Sepantasnya juga kalau saya lalu menikahi Siti Komsiah yang manis anak Dul Kohar tetangga belakang rumah. Tapi lorong itu tidak saya tempuh. Kalau saja saya ikuti keinginan nenek saya untuk menjaga sepetak sawah dan pekarangan sepeninggal dia, saya pasti berakhir sebagai seorang petani di grumbul Gebang pelosok Cilacap sana. Itupun tidak saya tempuh. Nasib menyeret saya masuk SD, SMP dan SMA membaurkan saya dengan anak-anak kota.
Kalau saja saya memilih masuk fakultas kedokteran bukan fakultas teknik seperti yang saya lakukan, barangkali sekarang saya tidak terkena dampak anjloknya harga crude oil yang menyakitkan seperti sekarang. Saya mungkin tinggal di Pondok Indah menjadi dokter spesialis yang berpenghasilan jutaan rupiah sehari. Tanpa paceklik tanpa krisis. Tapi itu pun tidak saya tempuh meskipun saya diterima di fakultas kedokteran waktu itu. Begitu banyak lorong yang saya tinggalkan yang kalau saya tempuh, saya sekarang bukan saya yang ini. Saya sungguh tidak tahu besok mau ada apa dan dimana saya akan berakhir seperti kata surat Luqman ayat terakhir. Bagaimanapun untu kedua ibu dan bapak sayasaya doakan; Allohummarham huma kama robbayani shoghiro………………Amin.


05/12/15

NOSTALGIA NIKMATNYA DOSA


NOSTALGIA NIKMATNYA DOSA
Oleh: Jum’an

Pada 19 April 1945 ketika Perang Dunia II masih berlangsung, Frank Dickinson seorang pelaut Inggris berada diatas kapal perang HMS Glenearn dilautan Pacific. Ia naik keatas deck sebentar untuk merokok, ketika tiba-tiba diruang bawah terjadi ledakan dahsyat yang menenewaskan 20 opsir dan melukai parah 70 lainnya. Seandainya waktu itu dia tidak naik keatas deck untuk merokok, dia tentu tidak berada dalam rombongan veteran PD II yang berkunjung ke Papua New Guinea sepuluh tahun yang lalu, untuk menziarahi teman-teman mereka yang dimakamkan disana.
Pada tahun 1965 Sir Winston Churchill, perdana menteri Ingris pemenang Perang Dunia II, meninggal pada umur 90 tahun setelah selama 70 tahun praktis menikah dengan cerutu dari tembakau Cuba dan hidup bahagia. Sir Winston dikabarkan meneyimpan antara tiga sampai empat ribu batang cerutu diruangan disebelah kamar kerjanya.

Pada suatu malam ditahun 1968 sejumlah mahasiswa termasuk saya waktu itu, duduk berpencar menyimak catatan kuliah masing-masing, belajar di Aula Pagelaran Sitihinggil Yogya. Aula Pagelaran adalah bagian dari kraton Yogyakarta yang diizinkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk fasilitas perkuliahan Universitas Gajah Mada. Di malam hari lampu-lampu tetap dinyalakan untuk memberi kemudahan dan tempat belajar bagi para mahasiswa yang tinggal disekitar kraton dan daerah kauman. Mereka duduk berpencar agar tidak terlalu dekat satu sama lain. Tidak jarang terjadi salah seorang diantara mereka naik ke mimbar layaknya seorang dosen yang akan memberi kuliah. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit sebatang rokok didepan mulut, sementara jempol kanannya digerak-gerakkan seperti sedang menyalakan korek api. Selalu ada seorang diantara audience yang menyambut dengan mengeluarkan korek dari saku dan mengacungkannya keatas. Turunlah dia dari podium mendekat untuk menyulut rokoknya, tanpa berkata apa-apa dan berterima kasih dengan gerakan tangan saja. Ritual seperti itu biasa diberi nama ”Cigarettes for Peace and Education”

Tahun1998 saya bertobat dan mengundurkan diri dari perasapan tembakau itu. Pokoknya saya tidak ikut-ikutan lagi merokok dan insyaalloh tidak akan mengisapnya lagi untuk selamanya. Tetapi sebagai mantan perokok berat, saya memilih untuk tidak ikut dalam jihad memberantas rokok. Saya tetap suka mencium-cium bungkusnya, dan tidak keberatan kalau sekali-sekali ada segumpal asap Gudang Garam yang wangi lewat didepan hidung. Sebagai bukti sikap non-smoking, saya selalu menyimpan puisi Taufiq Ismail yang berjudul ”Tuhan Sembilan Senti”, dalam bentuk file maupun hard copy, kalau-kalau ada teman yang tertarik untuk membacanya. Inilah bait yang paling saya sukai:

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Dan yang ini:
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Kalau saya ingat-ingat, merokok memang nikmat!