SAYA
JAMLIKUN – GURU MADRASAH
(JALAN
YANG URUNG KUTEMPUH)
Oleh
Jum’an
Almarhumah
ibu saya adalah seorang guru mangaji dari desa kecil di Jawa Tengah. Muridnya
anak-anak tetangga dekat saja. Saya kira dia pernah modok di salah satu
pesantren. Sedangkan almarhum bapak saya seorang duda yang telah menikah dua
kali dan kedua-duanya meninggal dunia. Ia pedagang kitab kuning dipasar-pasar
desa. Konon ia menikahi ibu saya karena profesinya itu. Ia sering menginap
dirumah paman ibu saya, lalu melamarnya dan diterima baik oleh ibu saya. Pernikahan itu juga tidak lama karena
sebelum saya masuk SD ibu dipanggil
pulang ke rahmatullah. Lama sesudah itu, kalau ditanya oleh teman-temannya
apakah mau menikah lagi ia sambil bergurau menjawab: “Tidak! Saya sudah bosan
membeli kain kafan….” Sekarang di hari tua saya berkhayal: Seandainya saja dulu
ibu saya menolak lamaran duda itu, saya sekarang bukanlah saya yang ini. Saya
yang sekarang terdampar di Tenabang dan berkantor tepi danau Sunter telah
menempuh lorong kehidupan yang panjang dan berliku-liku. Banyak lorong yang
urung saya tempuh; sebagian karena pilihan saya, sebagian karena terpaksa dan
sisanya karena karena ajakan atau paksaan orang lain.
Kalau
saja ibu memutuskan untuk menolak lamaran duda pedagang kitab kuning itu dan
memilih menikah dengan pemuda lain, jelas saya tidak akan diberi nama Jum’an.
Jamlikun mungkin; nama itu serasi dengan nama anak-anak sedesa saya. Ada
kemungkinan saya ikut dengan sepupu saya nyantri dipondok Lirboyo atau Tambak
Beras di Jawa Timur dan sepulangnya saya menjadi guru ngaji seperti ibu
saya atau jadi guru madrasah. Sepantasnya juga kalau saya
lalu menikahi Siti Komsiah yang manis anak Dul Kohar tetangga belakang
rumah. Tapi lorong itu tidak saya tempuh. Kalau
saja saya ikuti keinginan nenek saya untuk menjaga sepetak sawah dan pekarangan
sepeninggal dia, saya pasti berakhir sebagai seorang petani di grumbul Gebang
pelosok Cilacap sana. Itupun tidak saya tempuh. Nasib menyeret saya masuk SD,
SMP dan SMA membaurkan saya dengan anak-anak kota.
Kalau
saja saya memilih masuk fakultas kedokteran bukan fakultas teknik seperti yang
saya lakukan, barangkali sekarang saya tidak terkena dampak anjloknya harga
crude oil yang menyakitkan seperti sekarang. Saya mungkin tinggal di Pondok
Indah menjadi dokter spesialis yang berpenghasilan jutaan rupiah sehari. Tanpa
paceklik tanpa krisis. Tapi itu pun tidak saya tempuh meskipun saya diterima di
fakultas kedokteran waktu itu. Begitu banyak lorong yang saya tinggalkan yang
kalau saya tempuh, saya sekarang bukan saya yang ini. Saya sungguh tidak tahu
besok mau ada apa dan dimana saya akan berakhir seperti kata surat Luqman ayat
terakhir. Bagaimanapun untu kedua ibu dan bapak sayasaya doakan; Allohummarham huma
kama robbayani shoghiro………………Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar