14/12/15

SAYA JAMLIKUN - GURU MADRASAH


SAYA JAMLIKUN – GURU MADRASAH
(JALAN YANG URUNG KUTEMPUH)
Oleh Jum’an

Almarhumah ibu saya adalah seorang guru mangaji dari desa kecil di Jawa Tengah. Muridnya anak-anak tetangga dekat saja. Saya kira dia pernah modok di salah satu pesantren. Sedangkan almarhum bapak saya seorang duda yang telah menikah dua kali dan kedua-duanya meninggal dunia. Ia pedagang kitab kuning dipasar-pasar desa. Konon ia menikahi ibu saya karena profesinya itu. Ia sering menginap dirumah paman ibu saya, lalu melamarnya dan diterima baik oleh ibu saya.  Pernikahan itu juga tidak lama karena sebelum saya masuk SD ibu dipanggil pulang ke rahmatullah. Lama sesudah itu, kalau ditanya oleh teman-temannya apakah mau menikah lagi ia sambil bergurau menjawab: “Tidak! Saya sudah bosan membeli kain kafan….” Sekarang di hari tua saya berkhayal: Seandainya saja dulu ibu saya menolak lamaran duda itu, saya sekarang bukanlah saya yang ini. Saya yang sekarang terdampar di Tenabang dan berkantor tepi danau Sunter telah menempuh lorong kehidupan yang panjang dan berliku-liku. Banyak lorong yang urung saya tempuh; sebagian karena pilihan saya, sebagian karena terpaksa dan sisanya karena karena ajakan atau paksaan orang lain.
Kalau saja ibu memutuskan untuk menolak lamaran duda pedagang kitab kuning itu dan memilih menikah dengan pemuda lain, jelas saya tidak akan diberi nama Jum’an. Jamlikun mungkin; nama itu serasi dengan nama anak-anak sedesa saya. Ada kemungkinan saya ikut dengan sepupu saya nyantri dipondok Lirboyo atau Tambak Beras di Jawa Timur dan sepulangnya saya menjadi guru ngaji seperti ibu saya atau jadi guru madrasah. Sepantasnya juga kalau saya lalu menikahi Siti Komsiah yang manis anak Dul Kohar tetangga belakang rumah. Tapi lorong itu tidak saya tempuh. Kalau saja saya ikuti keinginan nenek saya untuk menjaga sepetak sawah dan pekarangan sepeninggal dia, saya pasti berakhir sebagai seorang petani di grumbul Gebang pelosok Cilacap sana. Itupun tidak saya tempuh. Nasib menyeret saya masuk SD, SMP dan SMA membaurkan saya dengan anak-anak kota.
Kalau saja saya memilih masuk fakultas kedokteran bukan fakultas teknik seperti yang saya lakukan, barangkali sekarang saya tidak terkena dampak anjloknya harga crude oil yang menyakitkan seperti sekarang. Saya mungkin tinggal di Pondok Indah menjadi dokter spesialis yang berpenghasilan jutaan rupiah sehari. Tanpa paceklik tanpa krisis. Tapi itu pun tidak saya tempuh meskipun saya diterima di fakultas kedokteran waktu itu. Begitu banyak lorong yang saya tinggalkan yang kalau saya tempuh, saya sekarang bukan saya yang ini. Saya sungguh tidak tahu besok mau ada apa dan dimana saya akan berakhir seperti kata surat Luqman ayat terakhir. Bagaimanapun untu kedua ibu dan bapak sayasaya doakan; Allohummarham huma kama robbayani shoghiro………………Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar