Oleh:
Jum'an
Inilah
kebodohan sebagian orang termasuk saya: berulang-kali terperosok pada lubang
yang sama. Sudah berhati-hati supaya terhindar tetapi tetap saja terjadi.
Rusdi, sohib saya yang telah lama menjalani cangkok ginjal mengaku bahwa pada
tahun-tahun pertama, setiap bulan ia selalu dihantui rasa takut yang mencekam
setiap kali harus membaca hasil test darah bulanannya. Angka yang paling
menentukan didalamnya adalah kadar ureum dan kreatinin yang katanya merupakan
indikator keselamatan ginjal cangkoknya. Bila kedua angka itu terus naik dari
bulan-bulan sebelumnya, itu pertanda bahwa keselamatan ginjal, tubuh dan bahkan
nyawanya terancam. Pertanda kemungkinan kiyamatnya sudah dekat. Wajarlah kalau
dia ketakutan. Maka amplop itu tidak segera ia buka. Digenggamnya berlama-lama,
duduk menyendiri sambil merenung, bagaimana kalau kedua angka itu ternyata
melonjak tinggi. Ginjal tidak lagi berfungsi, badan membengkak, nafas sesak dan
selanjutnya dan selanjutnya. Padahal banyak kesenangan yang sedang ia nikmati,
banyak dosa yang belum ditebus katanya. "Allah pasti menolong
saya .....tetapi Dia juga maha penentu ajal setiap saat!" Harapan dan
ketakutan muncul silih berganti; melelahkan menguras fikiran dan semangat
hingga badan terasa lunglai seperti benang basah. Tetapi kalau sudah takdir mau
apa? Toh hasil test itu harus ia baca dan diserahkan kepada dokter. Begitu
terus menerus ia tersiksa oleh ketakutan kiyamat dari bulan ke bulan. Apa yang
ia khawatirkan belum terjadi dan baru berupa bayangan tetapi semangat dan tenaganya
serasa habis terkuras. Dan kenyataannya tak pernah terbukti.
Ketakutan
itu muncul karena dia membayangkan hasil test yang memburuk, bayangan yang ia
buat sendiri artinya dia sendirilah yang menciptakan ketakutan (yang mungkin
tidak perlu) itu. Katanya ia tidak mungkin membayangkan hasil yang memuaskan
karena kimia darah maupun pengujiannya semua diluar jangkauannya. Seperti rasa
tersiksa sorang ibu ketika anaknya berada diruang ICU, tak ada yang bisa ia
perbuat sedikitpun untuk menolong karena semua diluar wewenangnya. Sebenarnya
Apabila Rusdi membayangkan hasil test darahnya akan baik, maka semua siksaan
itu tidak pernah akan ada. Barangkali manusia memang makhluk aneh yang lebih
banyak tersiksa oleh ketakutan yang mereka bayangkan daripada penderitaan yang
riil? Ataukah Rusdi dan sebagian orang termasuk saya adalah pencemas yang
kronis?
Itu
salah satu contoh dari banyak penderitaan Rusdi yang katanya tidak pernah
berhenti sepanjang waktu. Berikut contoh khas dari saya yang senasib. Belum
lama ini, rekan saya pamit mau “periksa” ke rumah sakit. Tetapi ia tidak pulang
dan tidak bisa dihubungi sampai malam. Mobilnya ada ditempat parkir RS tetapi
resepsionis mengatakan dia sudah lama keluar dari kamar dokter. Imajinasi saya,
begitu mau masuk mobil ia diculik dan mungkin dianiaya. Bayangan saya sangat
beralasan mengingat jabatan vitalnya diperusahaan. Rasa cemas dan ketakutan
saya juga beralasan. Kalau dia tewas dianiaya penculik, perusahaan akan segera
lumpuh dan pintu rejeki saya tertutup dalam waktu tidak lama. Syukurlah hal itu
tidak benar-benar terjadi. Singkat cerita rekan saya aman sehat wal-afiat, dan
gaji bulanan saya juga aman sampai saat ini.
Semua
salah sendiri! Begitu mungkin kata anda. Bodoh dan sia-sia. Tetapi bagi saya,
bagi Rusdi dan pencemas kronis yang lain, semua proses berjalan wajar,
beralasan dan merupakan pilihan. Bukan bodoh dan tidak sia-sia. Rasa tersiksa,
cemas, takut dan lemas terkuras itu justru merupakan moment untuk berdekatan
dengan yang Maha Kuasa. Saatnya kita bersedu-sedan, terisak-isak menangis,
memohon dan menyerahkan nasib sepenuhnya. Bukankah itu sesuatu yang berarti?
Dan ketika esok hari siksaan tidak datang, rasa syukur kita akan berlipat.
Lebih baik tersiksa oleh ketakutan yang mencekam tetapi lepas dari penderitaan
yang nyata. Dengan bonus beberapa saat berdekatan denganNya.