09/09/15

LHO! ANDA KAN PAUS



LHO! ANDA KAN PAUS
Oleh: Jum’an

Siapalah saya ini mau mepersunting puteri juragan! Bagai pungguk merindukan bulan.  Saya sadar dan tahu diri, saya hanya satpam kantor koperasi, miskin dan kurang gizi. Mengenaskan betul nada ungkapan ini. Sebuah pengakuan yang rendah hati, pasrah,  bersahaja, terus terang, dan mengundang simpati. Siapalah saya ini juga memberi jalan  untuk mengelak dari beban atau tuntutan yang terlalu berat. Kalau anda diminta untuk memprediksi bagaimana ekonomi Indonesia 10 tahun yang akan datang, jangan lama-lama berpikir ucapkan saja mantera ini: Siapalah saya ini diminta meramal ekonomi bangsa satu dekade kedepan! Lebih-lebih bila anda diminta menilai pribadi seseorang. Jangan suka menghakimi jangan mudah menilai katakan saja siapalah saya ini untuk menilai pribadi orang.  Ingat ketika Paus Francis ditanya oleh wartawan tentang sikapnya terhadap pendeta gay. Beliau menjawab:Jika seseorang gay dan ia mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapalah saya ini untuk menghakimi?" Paus bukan orang awam yang dapat menggunakan ungkapan sekehendak hatinya seperti kita. Ucapannya ternyata telah menghebohkan dan mengundang kontroversi. Banyak orang yang mendengarnya kaget dan bingung: Lho anda kan Paus! yang tugasnya justru untuk menghakimi mana yang salah dan mana yang benar? Mengapa tiba-tiba mengatakan siapalah saya ini untuk menghakimi? Bukankah penghakiman - terutama dalam hal seksualitas - sudah berabad-abad menjadi bagian dari job description kepausan?. Seperti orang tahu, agama Katholik, sebagaimana Islam juga, mengaharamkan homoseks sebagai salah satu dosa besar. 

Ungkapan Paus siapalah saya ini untuk menilai, menurut NewYork Times tentulah tidak bermaksud menafikan kewenangan gereja dalam hal iman dan moral. Ia hanya mengadopsi nada rendah hati. Perbuatan homoseks jelas dosa tetapi kecenderungan gay menurut Paus bukan masalah. Tetapi pemilihan nada rendah hati dan penggunaan kata gay oleh Paus menjadi penting dan mempunyai dampak. Ini memberi sinyal bahwa Vatican akan berhenti meng-kambinghitam-kan kaum gay dalam masalah personalia dan kedinasan. Dan juga berdampak besar yang melegakan kaum gay, lesbian, biseksual dan transgender muda terutama yang dibesarkan dalam keluarga Katolik, yang selama ini berpikir bahwa aspirasi mereka hanyalah dosa dan keji, noda moral urutan tertinggi.

Bagaimanapun nada, kesan dan dampak ucapan Paus tentang siapalah dia untuk menilai, banyak juga orang yang lebih suka mengartikan apa adanya, secara harfiah. Ronald Mann, professor Fisika Univ. Louisville menulisnya dalam Crisis Magazine. Ia merasa gerah dan bosan dengan kekonyolan ucapan Paus “siapalah saya ini”. Hanya Tuhan yang bisa menilai jiwa manusia. Tetapi omong kosong untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa dan tidak boleh menghakimi perilaku manusia. Keengganan untuk menilai perilaku moral adalah konsekuensi tak terelakkan dari subjektivisme yang telah mengikis kepercayaan pada kemampuan untuk menentukan kebenaran moral obyektif yang mendasari penilaian yang baik. Penghakiman adalah bagian penting dari pelaksanaan kewenangan. Jika Anda tidak memiliki keberanian untuk menilai, maka Anda harus menghindari posisi otoritas. Tidak mau menghakimi adalah kutukan zaman kita. Tidak mau menghakimi adalah melalaikan tugas yang menimpa begitu banyak hirarki Gereja. Mengaburkan pesan Tuhan, menabur kebingungan di kalangan umat beriman, dan melemahkan usaha awam untuk melawan kepalsuan.

Tidak adanya penilaian dan penghakiman yg kompeten sehubungan dengan skandal sodomi meningkatkan perilaku menyimpang dari sedikit pendeta yg bobrok menjadi skandal internasional yang menjadikan kepausan dicemooh dan melumpuhkan Gereja selama beberapa dekade. Kebanyakan pendeta, uskup, kardinal, dan paus adalah orang-orang baik yang berdedikasi. Tapi mereka memiliki kesalahan, bias, dan kesombongan seperti orang lain juga. Menjilat merupakan bahaya yang selalu ada. Semua orang selalu ingin dipromosikan ketingkat yang sebenarnya ia belum mampu mengerjakannya. Dan ini jelas berlaku bagi anggota hirarki Gereja. Sehingga mereka sering menyerah pada semangat sesaat yang menyamar sebagai kepedulian gereja. Sikap transparan, terbuka dan rendah hati memang terpuji tapi mengendalikan narasi ketika seorang pejabat otoritas berbicara didepan umum adalah penting. Media masa kini sangat siap mengolah dan menafsirkan serta menyiarkannya. 

Yang menarik bukan hanya siapalah saya ini, tetapi juga siapalah dia itu: Siapalah dia itu! Mencaci maki pemerintah seenak perutnya. Kasih dia jabatan ….paling juga tidak becus! Memang siapalah saya ini tetapi siapalah dia itu.