LHO! ANDA KAN PAUS
Oleh: Jum’an
Siapalah saya ini mau mepersunting puteri juragan! Bagai
pungguk merindukan bulan. Saya sadar dan
tahu diri, saya hanya satpam kantor koperasi, miskin dan kurang gizi. Mengenaskan
betul nada ungkapan ini. Sebuah pengakuan yang rendah hati, pasrah, bersahaja, terus terang, dan mengundang simpati.
Siapalah saya ini juga memberi jalan untuk mengelak dari beban atau tuntutan yang
terlalu berat. Kalau anda diminta untuk memprediksi bagaimana ekonomi Indonesia
10 tahun yang akan datang, jangan lama-lama berpikir ucapkan saja mantera ini:
Siapalah saya ini diminta meramal ekonomi bangsa satu dekade kedepan! Lebih-lebih
bila anda diminta menilai pribadi seseorang. Jangan suka menghakimi jangan
mudah menilai katakan saja siapalah saya ini untuk menilai pribadi orang. Ingat ketika Paus Francis ditanya oleh
wartawan tentang sikapnya terhadap pendeta gay. Beliau menjawab: “Jika
seseorang gay dan ia mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapalah saya ini
untuk menghakimi?" Paus bukan orang awam yang dapat menggunakan ungkapan
sekehendak hatinya seperti kita. Ucapannya ternyata telah menghebohkan dan
mengundang kontroversi. Banyak orang yang mendengarnya kaget dan bingung: Lho
anda kan Paus! yang tugasnya justru untuk menghakimi mana yang salah dan mana
yang benar? Mengapa tiba-tiba mengatakan siapalah saya ini untuk menghakimi?
Bukankah penghakiman - terutama dalam hal seksualitas - sudah berabad-abad
menjadi bagian dari job description kepausan?. Seperti orang tahu, agama
Katholik, sebagaimana Islam juga, mengaharamkan homoseks sebagai salah satu
dosa besar.
Ungkapan Paus siapalah saya ini untuk menilai, menurut NewYork
Times tentulah tidak bermaksud menafikan kewenangan gereja dalam hal
iman dan moral. Ia hanya mengadopsi nada rendah hati. Perbuatan homoseks jelas
dosa tetapi kecenderungan gay menurut Paus bukan masalah. Tetapi pemilihan nada
rendah hati dan penggunaan kata gay oleh Paus menjadi penting dan mempunyai dampak.
Ini memberi sinyal bahwa Vatican akan berhenti meng-kambinghitam-kan kaum gay
dalam masalah personalia dan kedinasan. Dan juga berdampak besar yang melegakan
kaum gay, lesbian, biseksual dan transgender muda terutama yang dibesarkan dalam
keluarga Katolik, yang selama ini berpikir bahwa aspirasi mereka hanyalah dosa
dan keji, noda moral urutan tertinggi.
Bagaimanapun nada, kesan dan dampak ucapan Paus tentang
siapalah dia untuk menilai, banyak juga orang yang lebih suka mengartikan apa
adanya, secara harfiah. Ronald Mann, professor Fisika Univ. Louisville menulisnya
dalam Crisis Magazine.
Ia merasa gerah dan bosan dengan kekonyolan ucapan Paus “siapalah saya ini”.
Hanya Tuhan yang bisa menilai jiwa manusia. Tetapi omong kosong untuk
mengatakan bahwa kita tidak bisa dan tidak boleh menghakimi perilaku manusia.
Keengganan untuk menilai perilaku moral adalah konsekuensi tak terelakkan dari
subjektivisme yang telah mengikis kepercayaan pada kemampuan untuk menentukan
kebenaran moral obyektif yang mendasari penilaian yang baik. Penghakiman adalah
bagian penting dari pelaksanaan kewenangan. Jika Anda tidak memiliki keberanian
untuk menilai, maka Anda harus menghindari posisi otoritas. Tidak mau
menghakimi adalah kutukan zaman kita. Tidak mau menghakimi adalah melalaikan
tugas yang menimpa begitu banyak hirarki Gereja. Mengaburkan pesan Tuhan,
menabur kebingungan di kalangan umat beriman, dan melemahkan usaha awam untuk
melawan kepalsuan.
Tidak adanya penilaian dan penghakiman yg kompeten
sehubungan dengan skandal sodomi meningkatkan perilaku menyimpang dari sedikit
pendeta yg bobrok menjadi skandal internasional yang menjadikan kepausan
dicemooh dan melumpuhkan Gereja selama beberapa dekade. Kebanyakan pendeta,
uskup, kardinal, dan paus adalah orang-orang baik yang berdedikasi. Tapi mereka
memiliki kesalahan, bias, dan kesombongan seperti orang lain juga. Menjilat
merupakan bahaya yang selalu ada. Semua orang selalu ingin dipromosikan
ketingkat yang sebenarnya ia belum mampu mengerjakannya. Dan ini jelas berlaku bagi
anggota hirarki Gereja. Sehingga mereka sering menyerah pada semangat sesaat
yang menyamar sebagai kepedulian gereja. Sikap transparan, terbuka dan rendah
hati memang terpuji tapi mengendalikan narasi ketika seorang pejabat otoritas berbicara
didepan umum adalah penting. Media masa kini sangat siap mengolah dan menafsirkan
serta menyiarkannya.
Yang menarik bukan hanya siapalah saya ini, tetapi juga
siapalah dia itu: Siapalah dia itu! Mencaci maki pemerintah seenak perutnya.
Kasih dia jabatan ….paling juga tidak becus! Memang siapalah saya ini tetapi
siapalah dia itu.