SAYA PILIH SITI MUNAROH
Oleh: Jum’an
Dulu, ketika teman saya sarjana akunting yang
berpendirian keras menikah dengan seorang sarjana psikologi, naluri saya
mengatakan ada sesuatu yang tidak kena pada pernikahan mereka. Pasangan itu
sebenarnya ideal dilihat dari berbagai sudut. Hanya saja keduanya begitu pede
dengan kepribadiannya masing-masing, begitu kristal mirip dua kelereng yang
sama-sama keras dan bulat sempurna sehingga tidak ada lekuk-lekuk yang bisa
berpasangan, tak ada ruang untuk memberi dan menerima.
Padahal seorang pria, seorang pendukung asas persamaan
gender sekalipun, sebenarnya merindukan seorang gadis manis yang jujur dan lugu
yang ingin dimanjakannya sebagai seorang ratu. Seorang gadis yang menaruh
hormat kepadanya, berlindung kepadanya bila ada kesulitan atau bahaya. Seorang pria ingin berperan sebagai guru dan ada murid
yang mengagumi bakat-bakatnya. Dengan kata lain ia mendambakan seorang yang
dapat membuatnya merasa sebagai gentle-man yang disukai kerena cerdas,
berwibawa dan dicintai karena kepribadiannya yang ramah dan simpatik.
Dibalik sana pasti ada seorang gadis yang merindukan
pria idaman yang akan mengentaskannya dari gubuk derita dan memboyongnya
kesebuah istana emas. Seorang pria yang bisa membuat semua yang kelam berubah
menjadi cerah. Wanita mana yang sanggup menolak cinta seorang pria yang
menumpahkan segenap perhatian dan memanjakannya seperti seorang dewi. Alangkah
mulia seorang pria yang bekerja keras dan tekun yang mempersembahkan hasilnya
demi kebahagiaan bersama.
Alkisah pasangan
sarjana kristal teman saya bercerai pada tahun kedelapan pasca pernikahan
mereka. Tak ada kecocokan dalam
banyak hal dan masing-masing kukuh dengan pendiriannya. Setahun kemudian teman
saya menikah dengan Siti Munaroh gadis berwajah bulat dari pinggir kota,
tamatan madrasah ’aliyah. Berkerudung dan berkebaya. Manis dan ceria. Lugu dan
apa adanya.
Siti Munaroh diboyong
dari rumah kampung kerumah gedung, sebuah istana emas dimatanya. Ia sangat
bahagia, tidak rewel, tidak
neko-neko. Anak-anaknya diasuh dan dididik menghormat orang tua, terutama bapak
mereka yang telah mengentaskannya dari kesengsaraan kedunia terang benderang.
Kebahagiaan sebuah keluarga tradisional. Suami dengan tugas laki-lakinya, istri
mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Siti Munaroh mengantar dan menyambut
suamiya dengan senyum setiap hari, makan bersama dan solat berjamaah. Bila
mereka berada berdua saja, Munaroh dengan tekun mendengarkan semua keluhan
suamiya, memberinya dukungan agar tabah dan ia selalu menyertainya dengan doa.
Tahun 2008 Yorkshire
Building Society dari Inggris mengadakan sebuah
penelitian tentang pandangan pria dan wanita masakini mengenai pasangan yang
ideal dalam berkeluarga. Hasilnya sungguh menyimpang dari impian kaum feminis
yang mereka kobarkan sejak 1960 an yaitu sebuah dunia dengan persamaan hak
antara pria dan wanita. Hasil penelitian itu tidak berbeda jauh dengan isi buku
petunjuk tentang keluarga bahagia yang terbit tahun 50 an. Yaitu bahwa para
pria lebih menyukai wanita tradisional dan bahwa para wanita merasa bahagia
sebagai ibu rumah tangga.
Seandainya diizinkan kembali keumur dua puluh lima, saya
akan melamar Siti Munaroh gadis berwajah bulat, ceria, berkerudung dan
berkebaya. Tamatan sanawiyah sekalipun….