28/11/15

SAYA PILIH SITI MUNAROH


SAYA PILIH SITI MUNAROH
Oleh: Jum’an

Dulu, ketika teman saya sarjana akunting yang berpendirian keras menikah dengan seorang sarjana psikologi, naluri saya mengatakan ada sesuatu yang tidak kena pada pernikahan mereka. Pasangan itu sebenarnya ideal dilihat dari berbagai sudut. Hanya saja keduanya begitu pede dengan kepribadiannya masing-masing, begitu kristal mirip dua kelereng yang sama-sama keras dan bulat sempurna sehingga tidak ada lekuk-lekuk yang bisa berpasangan, tak ada ruang untuk memberi dan menerima.
Padahal seorang pria, seorang pendukung asas persamaan gender sekalipun, sebenarnya merindukan seorang gadis manis yang jujur dan lugu yang ingin dimanjakannya sebagai seorang ratu. Seorang gadis yang menaruh hormat kepadanya, berlindung kepadanya bila ada kesulitan atau bahaya. Seorang pria ingin berperan sebagai guru dan ada murid yang mengagumi bakat-bakatnya. Dengan kata lain ia mendambakan seorang yang dapat membuatnya merasa sebagai gentle-man yang disukai kerena cerdas, berwibawa dan dicintai karena kepribadiannya yang ramah dan simpatik.

Dibalik sana pasti ada seorang gadis yang merindukan pria idaman yang akan mengentaskannya dari gubuk derita dan memboyongnya kesebuah istana emas. Seorang pria yang bisa membuat semua yang kelam berubah menjadi cerah. Wanita mana yang sanggup menolak cinta seorang pria yang menumpahkan segenap perhatian dan memanjakannya seperti seorang dewi. Alangkah mulia seorang pria yang bekerja keras dan tekun yang mempersembahkan hasilnya demi kebahagiaan bersama.
Alkisah pasangan sarjana kristal teman saya bercerai pada tahun kedelapan pasca pernikahan mereka. Tak ada kecocokan dalam banyak hal dan masing-masing kukuh dengan pendiriannya. Setahun kemudian teman saya menikah dengan Siti Munaroh gadis berwajah bulat dari pinggir kota, tamatan madrasah ’aliyah. Berkerudung dan berkebaya. Manis dan ceria. Lugu dan apa adanya.

Siti Munaroh diboyong dari rumah kampung kerumah gedung, sebuah istana emas dimatanya. Ia sangat bahagia, tidak rewel, tidak neko-neko. Anak-anaknya diasuh dan dididik menghormat orang tua, terutama bapak mereka yang telah mengentaskannya dari kesengsaraan kedunia terang benderang. Kebahagiaan sebuah keluarga tradisional. Suami dengan tugas laki-lakinya, istri mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Siti Munaroh mengantar dan menyambut suamiya dengan senyum setiap hari, makan bersama dan solat berjamaah. Bila mereka berada berdua saja, Munaroh dengan tekun mendengarkan semua keluhan suamiya, memberinya dukungan agar tabah dan ia selalu menyertainya dengan doa.

Tahun 2008 Yorkshire Building Society dari Inggris mengadakan sebuah penelitian tentang pandangan pria dan wanita masakini mengenai pasangan yang ideal dalam berkeluarga. Hasilnya sungguh menyimpang dari impian kaum feminis yang mereka kobarkan sejak 1960 an yaitu sebuah dunia dengan persamaan hak antara pria dan wanita. Hasil penelitian itu tidak berbeda jauh dengan isi buku petunjuk tentang keluarga bahagia yang terbit tahun 50 an. Yaitu bahwa para pria lebih menyukai wanita tradisional dan bahwa para wanita merasa bahagia sebagai ibu rumah tangga.
Seandainya diizinkan kembali keumur dua puluh lima, saya akan melamar Siti Munaroh gadis berwajah bulat, ceria, berkerudung dan berkebaya. Tamatan sanawiyah sekalipun….



1 komentar: