27/01/13

GOD IS NOT A CHRISTIAN


TUHAN ITU BUKAN KRISTEN
Oleh: Jum'an

Dalam KTT Perdamaian Dunia 2009 di Vancouver Kanada, Dalai Lama (sekarang 78th) pemimpin spiritual Tibet dan Uskup Desmond Tutu (82th) dari Afrika Selatan berkesempatan beraudiensi dengan hadirin termasuk beberapa pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian. Catatan singkat dialog langka antara kedua lansia tokoh spiritual dibawah ini dikutip dari buku Dalali Lama “The wisdom of Compassion” yang dimuat dalam Huffington Post awal Januari ini. Ketika itu Dalai Lama berkata: "Saya ingin, bagaiman cara terbaik untuk berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan yang lebih mendalam seperti cinta, kasih sayang dan pengampunan, tanpa mengandalkan kepada Tuhan, tapi mengandalkan kepada diri kita sendiri. Saya sendiri sebagai seorang bikhsu yang percaya, mengikuti sebanyak mungkin ajaran Budha untuk meningkatkan diri. Tetapi saya tidak pernah menyentuh hal ini bila berbicara dengan orang lain. Ajaran Budha adalah kepentingan saya bukan kepentingan orang lain. Terus terang...., ketika anda (Tutu) dan orang-orang berbicara tentang Tuhan, Sang Pencipta, saya termasuk yang tidak percaya. Dalam agama Budha tidak ada Sang Pencipta. Memang kami mengakui Budha, para bodhisatwa yaitu manusia-manusia yang lebih tinggi, lebih cerah. Tetapi kalau kita hanya mengandalkan mereka, kita hanya bisa duduk bermalas-malas. Tidak membantu. Itulah pendapat saya."

Lalu Desmond Tutu menimpali: "Ketika anda mengatakan ada atau tidaknya Tuhan, saya berpikir siapa yag anda salahkan?” Sebelum Tutu melanjutkan, Dalai Lama menginterupsi: "Maaf... Boleh saya potong?... Sebentar?" "Silahkan!" kata Tutu. Dalai Lama meneruskan: "Masalahnya, jika kita melibatkan keyakinan agama, maka banyak variasi dan perbedaan pandangan yang mendasar. Jadi sangat rumit. Itulah mengapa India menggunakan pendekatan sekuler waktu membuat draft konstitusi. Terlalu banyak agama disana, Hindu, Islam, Budha, Yahudi, Sikh, Zoroaster, Jainisme. Agama yang bertuhan maupun yang tidak bertuhan. Lalu siapa yang memutuskan mana yang benar?"

Desmond Tutu menjawab: "Izinkan saya mengatakan bahwa satu diantara hal yg perlu kita tetapkan; yaitu (Tutu terdiam sejenak) Tuhan itu bukanlah (penganut) Kristen." Ia diam lagi, melihat Dalai Lama tertawa. "Anda lebih lega sekarang?" "Kita bisa lanjutkan tapi...." Kemudian Tutu berbicara tentang kebesaran Tuhan yang sangat mempesona hadirin terutama karena spontanitasnya dalam mengemukakan isi hatinya. Diantaranya, pernyataanya mengapa Tuhan membiarkan saja orang mengambil jalan yang salah; seperti mengapa dibiarkannya institusi Gereja membenarkan politik Aprtheid di Afrika Selatan selama hampir 50 tahun. Kalau saya yang menjadi Tuhan, katanya, pasti sudah saya tumpas mereka. Tuhan memang Maha Kuasa tetapi juga (sambil berbisik) tak berdaya.....”

Pada kesempatan lain Dalai Lama berkata: "Menurut saya semua agama mempunyai potensi yang baik untuk meningkatkan kondisi manusia. Tetapi sejumlah penganut agama, mereka tidak benar-benar serius tentang ajaran agamanya sendiri. Mereka karena egoisme, uang atau kekuasaan, menggunakan agama untuk keuntungan pribadi. Tetapi kalau ditimbang-timbang secara keseluruhan jauh lebih banyak segi positif dari negatifnya. Jauh, jauh lebih banyak." "Benar" kata Tutu. Menurutnya agama sendiri secara moral adalah netral, bukan baik bukan buruk. Kristen telah melahirkan Ku Kux Klan, pembunuh dan dokter-dokter pelaku aborsi. Apa yang anda lakukan dengan agama, itulah yang penting. Ibarat pisau anda bisa menggunakannya untuk memotong roti atau…. membunuh. Agama adalah baik bila ia menghasilkan seorang Dalai Lama, mother Theresa dan Martin Luther King. Tetapi kita harus sangat hati-hati jangan sampai mengatakan bahwa kerena ada orang Islam yang jahat berarti Islam adalah agama yang tidak baik. Karena ada penganut Budha yang jahat, agama Budha adalah buruk. Lihat saja diktator-diktator Budha Di Burma."
Kedua lansia itu berbicara seperti tanpa beban, seperti menjadi kanak-kanak lagi. Tertawa riang, saling menyindir, berbisik, mengakui kelemahan masing-masing. Persahabatan mereka tampak begitu tulus. Tutu pernah mengatakan kepada Dalai Lama di Oslo: “Ingat kamera sedang menyorot anda. Jangan bertingkah seperti anak sekolah yang nakal. Tampillah sebagaimana orang suci….” Tetapi pada saatnya mereka kentara sebagai tokoh spiritual yang matang. Agar anda tidak salah faham dengan tulisan ini, ikutilah link-link diatas. Lebih lengkap, lebih jelas.

19/01/13

MAUNYA MEREKA KITA TETAP MISKIN


Oleh: Jum'an

Setiap hari Jum’at pagi dirumah Haji Ali di Tanah Abang berlangsung pembagian sedekah untuk rombongan ibu-ibu miskin yang datang bergantian sepanjang pagi. Mereka berkelompok 10-15 orang setiap rombongan. Semua berjalan tertib karena sudah biasa dan nampak sudah terjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara kedua pihak. Haji Ali merelakan sebagian rizki yang diperolehnya dan ibu-ibu miskin itu terpenuhi kebutuhan dapurnya untuk hari itu. Haji Ali memperoleh pahala, ibu-ibu itu mendapatkan rizkinya melalui tangan Haji Ali. Kebiasaan itu sudah menjadi tradisi sejak belasan tahun saya tinggal disitu. Dari satu sisi fenomena diatas merupakan gambaran sejuk mayarakat yang islami dimana orang-orang kaya saling berbagi dengan kaum fakir-miskin. Dinamika yang menurut saya sesuai dengan kehendak Tuhan. Sampai kapan kiranya tradisi demikian akan berlangsung? Bukankah mereka yang miskin tidak seharusnya tetap miskin? Sementara Haji Ali jangan-jangan lebih senang dengan keadaan tetap seperti sekarang. Ia mungkin cenderung menikmati keadaan status-quo. Ia merasa bahwa tugas ubudiahnya sudah ia tunaikan dengan memberi mereka sedekah setiap Jum’at. Percayakah anda bahwa ada orang-orang yang sadar maupun tak sadar senang memelihara dan menikmati keadaan status quo seperti itu? Lebih senang bila yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin?

Tahun-tahun belakangan ini banyak anak-anak perempuan miskin dari kampung saya yang berhasil bekerja sebagi pembantu rumah tangga di luar negri dengan gaji yang relatif besar. Orang tua mereka dapat membeli sawah dan membangun rumah dan tampil setaraf dengan warga desa yang lain. Sahabat-sahabat saya sekampung umumnya enggan menceritakan kisah sukses itu. Seperti kurang rela melihat perubahan nasib itu. Mereka lebih bangga menceritakan anaknya yang berhasil menjadi pegawai negri sebagai guru SD atau kaeraywan dikantor kecamatan. Mereka lebih suka kalau gadis-gadis miskin itu tetap miskin dan sabar menerima takdir mereka. Sikap seperti itu nampaknya memang jamak.

Leila de Bruyne, pendiri yayasan “Flying Kite” yang bertujuan membantu meningkatkan taraf hidup anak-anak yatim di Kenya Afrika, mengamati hal yang sama.  Ia merasa kecewa ketika sebuah proyek listrik tenaga matahari disana ingin meng-gratiskan sebagian listriknya untuk penerangan panti asuhannya, karena banyak pihak yang tidak setuju. Para donatur, relawan dan pendukung yayasannya, berpendapat bahwa membesarkan anak-anak di rumah yatim dengan fasilitas modern akan membuat mereka kehilangan hubungan dengan masyarakat sekitarnya yang kebanyakan kaum miskin. Kebanyakan mereka, seperti juga para turis, ingin mengagumi Kenya dari sambutan rakyatnya yang ramah-tamah, miskin tetapi bahagia ditengah pemandangan alam Afrika yang eksotis. Padahal Leila lebih memahami betapa sakit rasanya menjadi orang miskin; tetapi kolega-koleganya memilih keramah-tamahan dan keindahan alam. Mereka lebih suka keadaan status-quo yaitu agar Kenya dan anak-anak yatimnya tetap miskin.

Sebuah laporang hasil penelitian 2012 sangat mengejutkan pemerintah Inggris karena terungkap bahwa jurang antara orang kaya dan orang miskin disana begitu dalam, jauh diluar dugaan. Penelitian yang diungkapkan oleh Nick Clegg wakil Perdana Menteri Inggris itu menunjukkkan bukti kesesenjangan yang mencolok antara peluang hidup orang miskin dan orang kaya di Inggris. Diakuinya pendapatan dan latar belakang tingkat sosial orang tua sangat mempengaruhi nasib masa depan hidup anak-anak, dan hampir tidak berubah selama puluhan tahun. Ia bertekad untuk mempersempit kesenjangan itu dan membantah mitos bahwa perataan pendapatan akan menurunknan standar nasional. Mitos itu, katanya, sering ditonjolkan oleh mereka yang mendapatkan keuntungan dari keadaan status-quo. The Church of England mengakui Inggris sebagai salah satu Negara Barat yang paling tidak merata kesejahteraannya, perbedaan antara lingkungan terkaya dan termiskin sangat mengkhawatirkan.

Jadi bukan hanya dugaan kita bahwa ada orang-orang yang menghendaki kita tetap miskin; Leila de Bruyne merasakannya dan Wakil Perdana Mentri Inggris Nick Clegg juga mengakui dan mengutuknya. Disamping itu naluri jahat kita sering mengatakan bahwa kebanyakan orang miskin itu disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri; mereka malas dan pantas kalau miskin…. 

05/01/13

MENYESALI KIAMAT YANG GAGAL


Oleh: Jum’an

Agama-agama samawi Islam, Nasrani dan Yahudi ketiganya mengakui bahwa hari kiamat akan terjadi. Dunia dan seisinya akan hancur, manusia akan diadili dan alam yang baru akan dimulai. Tetapi tidak disebutkan kapan akan terjadi, kecuali dalam bentuk lambang dan tamsil. Dalam Qur’an Surat al-A’raf dijelaskan bahwa pengetahuan tentang kiamat haya ada disisi Allah. Tak seorang pun yang tahu kapan akan datangnya kecuali Dia. Mungkin itulah sebabnya kita jarang mendengar ramalan hari kiamat dari alim-ulama Islam. Benjamin Radford, kolumnis Live Science mencatat 11 ramalan kiamat yang gagal dari 1806 –  1900 - 2011 yang kebanyakan berasal dari para pendeta, ahli astronomi dan peramal seperti Nostradamus. Ramalan kiamat 21 Desember 2012 yang juga gagal tidak berasal dari tokoh atau perspektif agama, tetapi dari salah penafsiran tentang berakhirnya kalender jangka panjang suku Maya oleh orang-orang masa kini. Prasasti suku Maya tidak menuliskan ramalan akan datangnya kiamat. Bermacam-macam sikap orang menanggapi ramalan kiamat dari yang ketakutan dan membuat bunker bawah tanah sampai yang tidak peduli, tergantung siapa dan seberapa kuat karisma sang peramal. Setelah ramalan tak terbukti, reaksi orangpun beragam; kebanyakan orang yang percaya merasa bergembira, sebagian lain tidak percaya lagi dengan segala jenis ramalan, dan ada pula yang (anehnya) makin percaya dan justru meyakini bahwa kiamat itu dibatalkan Tuhan karena doa mereka; seperti yang pernah saya kutip dalam tulisan saya “Kiamat Sudah Dekat”
Stephen Kent, soiolog dari Universitas Alberta mengatakan dampak kiamat yang gagal  21-12-12 lalu dapat menyebabkan penganut setia ramalan itu menderita trauma. Ini karena mereka menganggap hari itu akan menjadi arena pergulatan manusia melawan maut. Orang-orang yang percaya biasanya yakin pada akhirnya mereka akan menang, baik karena diselamatkan Tuhan atau karena berhasil mambuat perlindungan yang kuat. Mereka memprediksi bahwa pengetahuan khusus mereka akan memungkinkan mereka bertahan hidup, bahwa mereka akan lolos dari maut sementara orang lain belum tentu. Kemenangan yang mereka idam-idamkan terpaksa pupus karena pertandingan yang akan mereka menangkan ternyata batal. Pantas bila mereka merasa kecewa sampai menderita trauma.
Demikian pula perangkap yang dialami penganut aliran agama yang terlalu fanatik. Mereka merasa bangga karena yakin bahwa mereka lebih berhak memiliki Allah dan sorganya dari pada orang lain. Orang yang taat dan khusuk seharusnya bersikap lemah lembut karena sadar bahwa mereka adalah milik Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Memiliki adalah status yang lebih tinggi daripada dimiliki; dan secara tersirat kita tahu penganut aliran fanatik berkeyakinan bahwa Allah dapat mereka monopoli dan berpihak kepada mereka. Ini adalah kesempitan hati yang menyamar sebagai ketaatan beragama. Sikap memonopoli Allah, tanpa mereka sadari telah melambungkan ego mereka manjadi takabur dan sekaligus mengecilkan arti kebesaran Allah. Kita menengarai adanya orang-orang seperti itu. Seolah-olah merekalah pemilik sorga (nauzubillah). Mereka selalu manganggap bencana alam sebagai azab Allah bagi umat yang berdosa dan cenderung memandangnya sebagai sesuatu yang positip. Mereka meyakini bahwa Allah menghukum rakyat Aceh dengan tsunami karena telah mengotori serambi Mekah itu dengan kemusyrikan dan kemunafikan. Kalau ada ramalan bencana alam yang gagal, tidak mustahil mereka merasa menyesal karena kehilangan kesempatan menyaksikan Allah menyiksa para pendosa. Wallohu a’lam bissawaab.