Oleh: Jum'an
Setiap hari
Jum’at pagi dirumah Haji Ali di Tanah Abang berlangsung pembagian sedekah untuk
rombongan ibu-ibu miskin yang datang bergantian sepanjang pagi. Mereka berkelompok
10-15 orang setiap rombongan. Semua berjalan tertib karena sudah biasa dan nampak
sudah terjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara kedua
pihak. Haji Ali merelakan sebagian rizki yang diperolehnya dan ibu-ibu miskin
itu terpenuhi kebutuhan dapurnya untuk hari itu. Haji Ali memperoleh pahala,
ibu-ibu itu mendapatkan rizkinya melalui tangan Haji Ali. Kebiasaan itu sudah
menjadi tradisi sejak belasan tahun saya tinggal disitu. Dari satu sisi fenomena
diatas merupakan gambaran sejuk mayarakat yang islami dimana orang-orang kaya saling
berbagi dengan kaum fakir-miskin. Dinamika yang menurut saya sesuai dengan
kehendak Tuhan. Sampai kapan kiranya tradisi demikian akan berlangsung? Bukankah
mereka yang miskin tidak seharusnya tetap miskin? Sementara Haji Ali jangan-jangan
lebih senang dengan keadaan tetap seperti sekarang. Ia mungkin cenderung
menikmati keadaan status-quo. Ia merasa bahwa tugas ubudiahnya sudah ia
tunaikan dengan memberi mereka sedekah setiap Jum’at. Percayakah anda bahwa ada
orang-orang yang sadar maupun tak sadar senang memelihara dan menikmati keadaan
status quo seperti itu? Lebih senang bila yang kaya tetap kaya dan yang miskin
tetap miskin?
Tahun-tahun
belakangan ini banyak anak-anak perempuan miskin dari kampung saya yang
berhasil bekerja sebagi pembantu rumah tangga di luar negri dengan gaji yang relatif
besar. Orang tua mereka dapat membeli sawah dan membangun rumah dan tampil
setaraf dengan warga desa yang lain. Sahabat-sahabat saya sekampung umumnya
enggan menceritakan kisah sukses itu. Seperti kurang rela melihat perubahan
nasib itu. Mereka lebih bangga menceritakan anaknya yang berhasil menjadi pegawai
negri sebagai guru SD atau kaeraywan dikantor kecamatan. Mereka lebih suka
kalau gadis-gadis miskin itu tetap miskin dan sabar menerima takdir mereka.
Sikap seperti itu nampaknya memang jamak.
Leila
de Bruyne, pendiri yayasan “Flying Kite” yang bertujuan membantu
meningkatkan taraf hidup anak-anak yatim di Kenya Afrika, mengamati hal yang
sama. Ia merasa kecewa ketika sebuah
proyek listrik tenaga matahari disana ingin meng-gratiskan sebagian listriknya
untuk penerangan panti asuhannya, karena banyak pihak yang tidak setuju. Para
donatur, relawan dan pendukung yayasannya, berpendapat bahwa membesarkan
anak-anak di rumah yatim dengan fasilitas modern akan membuat mereka kehilangan
hubungan dengan masyarakat sekitarnya yang kebanyakan kaum miskin. Kebanyakan
mereka, seperti juga para turis, ingin mengagumi Kenya dari sambutan rakyatnya
yang ramah-tamah, miskin tetapi bahagia ditengah pemandangan alam Afrika yang
eksotis. Padahal Leila lebih memahami betapa sakit rasanya menjadi orang
miskin; tetapi kolega-koleganya memilih keramah-tamahan dan keindahan alam.
Mereka lebih suka keadaan status-quo yaitu agar Kenya dan anak-anak yatimnya
tetap miskin.
Sebuah
laporang hasil penelitian
2012 sangat mengejutkan pemerintah Inggris karena terungkap bahwa jurang
antara orang kaya dan orang miskin disana begitu dalam, jauh diluar dugaan.
Penelitian yang diungkapkan oleh Nick Clegg wakil Perdana Menteri Inggris itu
menunjukkkan bukti kesesenjangan yang mencolok antara peluang hidup orang
miskin dan orang kaya di Inggris. Diakuinya pendapatan dan latar belakang
tingkat sosial orang tua sangat mempengaruhi nasib masa depan hidup anak-anak,
dan hampir tidak berubah selama puluhan tahun. Ia bertekad untuk mempersempit
kesenjangan itu dan membantah mitos bahwa perataan pendapatan akan menurunknan
standar nasional. Mitos itu, katanya, sering ditonjolkan oleh mereka yang
mendapatkan keuntungan dari keadaan status-quo. The Church of England mengakui
Inggris sebagai salah satu Negara Barat yang paling tidak merata kesejahteraannya,
perbedaan antara lingkungan terkaya dan termiskin sangat mengkhawatirkan.
Jadi bukan
hanya dugaan kita bahwa ada orang-orang yang menghendaki kita tetap miskin;
Leila de Bruyne merasakannya dan Wakil Perdana Mentri Inggris Nick Clegg juga
mengakui dan mengutuknya. Disamping itu naluri jahat kita sering mengatakan
bahwa kebanyakan orang miskin itu disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri;
mereka malas dan pantas kalau miskin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar