24/08/14

JANGAN SEKARANG - BESOK SAJA


JANGAN SEKARANG – BESOK SAJA!
Oleh: Jum’an

Saya mau mulai menulis e-mail permintaan sample dari sebuah produsen bahan kimia. Baru saja mulai dengan Dear Sir, tangan kanan saya lepas dari keyboard, menuju ke cangkir kopi dan mengantar ke bibir saya untuk menyeruputnya. Karena nikmatnya, syaraf saya terbuka dan pikiran saya berubah untuk membaca berita dulu sebelum menyelesaikan e-mail. Ada link dalam berita yang saya baca dan ketika saya klik ternyata berisi artikel panjang yang informatif dan menarik. Saya membacanya sampai selesai dan menyarankan rekan disebelah ikut membaca. Lalu kami saling memberi komentar. Walhasil setelah lebih dari dua jam, barulah email selesai saya tulis. Anda mungkin pernah membaca tentang sseorang yang mau menulis novel atau menyusun makalah yang tidak pernah kunjung selesai karena setiap kali ia memulai, ada saja pekerjaan sederhana dan remeh yang menginterupsi. Memotong kuku, membeli rokok, memberi makan burung, membaca koran, diajak teman keluar sebentar minum kopi. Katanya ia tidak punya waktu untuk bekerja serius. Tentu saja kalau begitu caranya. Bila tugas pekerjaan sampai terhenti ditengah akan sulit untuk meneruskannya lagi. Umumnya kita sendiri yang menundanya bukan karena perintah atau permintaan orang lain.

Menurut penelitian psikolog Dr. Ferrari hampir seperempat penduduk dewasa sedunia adalah penunda yang kronis. Bagi para penunda kronis, ini bukan soal manajemen waktu. Kita tidak bisa mengatur waktu. Kita harus mengatur diri kita sendiri, kata Ferrari. Untuk itu kita harus tahu mengapa kita sampai menunda-nunda. Ada tiga hal yang mungkin menjadi penyebab. Salah satu sebab mengapa kita enggan untuk menyelesaikan tugas adalah ketakutan kita untuk dievaluasi. Kita tidak ingin orang menilai kemampuan kita, kita lebih suka usaha kita yang mereka nilai. Mengulur penyelesaian pekerjaan bisa menjadi salah satu cara untuk menghindari ketakutan dievaluasi dengan tajam. Yang kedua mungkin sebaliknya: kita bukan takut gagal dievaluasi tetapi justru takut sukses karena bila hasil kerja kita saat ini terlalu sempurna, mungkin kita memempatkan diri terlalu tinggi yang menyulitkan diri-sendiri diwaktu yang akan datang. Ini kembali ke soal tanggung jawab. Bagaimana jika kita tidak se-sempurna itu untuk tugas berikutnya? Dan yang ketiga, kita enggan untuk mengakhiri kenikmatan terlalu dini. Jika kita merasakan waktu yang menyenangkan ketika mengerjakan suatu, akan terasa kecewa untuk mengakhirinya. Ini dapat menyebabkan kita untuk hanya megulang-ulang apa yang kita kerjakan, sekedar untuk menghindari selesai.

Kebanyakan penunda yang parah, adalah juga orang baik-baik. Artinya menunda-nunda bukanlah sesuatu yang seburuk menipu atau mencuri. Lagi pula sebenarnya jumlah pekerjaan yang dapat kita lakukan tidak terbatas. Tetapi dalam sepotong waktu hanya satu pekerjaan yang dapat kita lakukan, tidak lebih. Jadi masalahnya bukanlah bagaimana untuk menghindari penundaan, tapi bagaimana untuk menunda dengan baik. Menunda itu bisa dengan menghentikan kerja lalu tidak berbuat apa-apa, atau beralih mengerjakan sesuatu yang kurang penting, atau mengerjakan sesuatu yang lebih penting. Penundaan yg baik adalah menyingkirkan tugas kecil untuk melakukan sesuatu yang lebih penting dan nyata. Profesor botak yang lupa makan, mandi dan bercukur, atau seniman yang berkutat menekuni lukisan di sanggarnya adalah contoh penunda yang baik; mereka menunda hal-hal kecil untuk mengerjakan hal-hal besar.

Menunda adalah praktek melaksanakan tugas-tugas yang kurang penting sebagai ganti tugas-tugas yang lebih mendesak, atau yang lebih menyenangkan menggantikan yang kurang menyenangkan, dan dengan demikian menunda tugas mendatang ke lain waktu, kadang-kadang sampai "menit terakhir" sebelum batas waktu (wikipedia). Kebiasaan menunda nampaknya erat hubungannya dengan kecenderungan manusia mencari kesenangan untuk menghindari perasaan tidak enak dan menunda tugas yg penuh tekanan. Banyak pula yang memandang penundaan sebagai cara yang berguna untuk menandai apa yang penting bagi kita secara pribadi karena jarang menunda-nunda bila seseorang benar-benar menghargai pekerjaannya.

Penundaan dengan menghentikan kerja yang penting dan menggantinya dengan sesuatu yang kurang penting seperti contoh penulis novel diatas, adalah berbahaya karena tidak terasa menunda. Mereka memang menyelesaikan sesuatu, tetapi bukan pekerjaan yang merupakan tujuan utama. Mengapa kita enggan menekuni pekerjaan penting yang makan waktu? Salah satu alasannya adalah bahwa imbalannya masih terlalu lama dan kurang nyata. Jika kita mengerjakan sesuatu yang selesai dalam waktu singkat, kita dapat mengharapkan kepuasan dengan prestasi yang cukup singkat. Tapi yag lebih menakutkan, menghadapi tugas pekerjaan besar memang terasa menyakitkan seperti ada vacuum cleaner yang siap menyedot imajinasi kita. Semua ide awal yang kita miliki disedotnya habis dengan cepat, dan meskipun sudah habis bersih, vacuum cleaner itu masih terus menghisap.


Kita tidak dapat menatap pekerjaan besar terlalu langsung didepan mata. Kita harus mendekatinya dari samping, mencari sudut yang pas sehingga dapat menangkap beberapa bagian yang menyenangkan yang memancar dari situ, tapi jangan terlalu  banyak sehingga dapat melumpuhkan kita. Kita dapat mempertajam sudutnya setelah berjalan, seperti perahu layar dapat berlayar dengan berpegangan pada angin setelah mulai berlayar. Menurut Paul Graham cara memecahkan masalah penundaan adalah dengan membiarkan kenikmatan menarik kita ketimbang memaksa diri dengan jadwal tugas-tugas. Kerjakan sebuah proyek ambisius yang benar-benar kita nikmati, dan berlayarlah sedekat mungkin dengan angin, dan relakan pekerjaan-pekerjaan kecil kita tinggalkan.

18/08/14

BENARKAH BERSATU KITA TEGUH?


BENARKAH BERSATU KITA TEGUH?
Oleh: Jum’an


Saya kira anda akan merasa familiar dengan pengalaman masa lampau saya ini. Sering terjadi di dalam kelas, saya merasa bingung ketika kesulitan memahami penjelasan dari Pak Guru. Untungnya meskipun murid bebas bertanya kapan saja, Pak Guru biasanya menanyakan: “Ada yang kurang jelas?” Tetapi saya hanya terdiam tidak mengangkat tangan, sambil menengok kanan-kiri sampai Pak Guru dengan lega berkata: ”Kalau begitu mari kita lanjutkan!” . Ia pasti berpikir murid-muridnya pintar-pintar dan sudah merasa jelas dan ia merasa bahwa cara dia memberi pelajaran mudah dimengerti. Padahal saya masih menunggu kalau-kalau ada murid lain yang mengangkat tangan, sebab kalau saya sendirian melakukan itu, alangkah malunya ditatap begitu banyak murid lain karena hanya saya yang tidak mengerti. Alangkah bodohnya saya. Padahal, terbukti belakangan, kebanyakan murid-murid yang lain juga sama tidak mengertinya. Mereka tidak berani mengangkat tangan karena menyangka semua murid-murid lain merasa sudah jelas. Mereka diam dengan alasan yang sama dengan alasan saya mengapa tidak berani mengangkat tangan untuk bertanya. Demikian pula pengalaman bersama mengikuti seminar, meskipun sang penceramah selalu mengawali acaranya dengan berkata: “Kalau ada keterangan saya yang kurang jelas nanti, segera hentikan saya dan tanyakan!” Kebiasaan buruk itu sudah berlaku sejak entah kapan dan akan berterusan entah sampai kapan, padahal masing-masing kita sudah tahu bahwa kebiasaan buruk itu sudah seharusnya berakhir.

Itulah fenomena yang terjadi bila kita berada dalam sebuah kelompok. Kita menjadi berpikir, merasa dan melakukan hal-hal yang kalau kita sendirian tidak mungkin terjadi. Identitas pribadi serasa hilang dan larut kedalam kehendak kelompok yang tidak benar-benar mewakili kehendak masing-masing anggota. Kepribadian normal kita menjadi berubah. Hal itu kita alami ketika kita ikut terlibat dalam suatu demonstrasi, protes maupun menonton sepak-bola. Anda yang sehari-hari santun berubah brutal membakar toko, merusak pagar stadion, bahkan melempari penumpang kereta api yag tidak tahu menahu. Tentu ada gurunya, yaitu sejenis yang dalam kelas berkata: kalau begitu mari kita lanjutkan, sementara mayoritas muridnya tidak ada yang memahami penjelasan sang guru. Demikian pula dalam menanggapi opini publik seperti isu-isu tentang perbedaan suku dan agama. Meskipun semua orang menyadari sudah bukan zamannya lagi, tetapi sebagaimana yang terjadi didalam kelas,  isu-isu itu tetap tetap muncul terus menerus. Penyebab asalnya adalah karena kita semua adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki karakter kelompok seperti juga murid-murid dalam kelas.

Karakter kelompok yang bersifat negatif ini sudah lebih dari satu abad ditengarai orang, bahkan dijadikan dasar bertindak oleh hampir semua pemerintahan didunia dalam menyikapi gerakan massa. Gustave Le Bon, psikolog sosial, sosiolog dan antropolog dari Perancis menulisnya dalam buku The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895).  Ia menjelaskan bahwa manusia dalam kelompok besar adalah berbahaya, bahwa mereka secara spontan berubah menjadi manusia hewani yang mudah terombang -ambing dan rentan terhadap kekerasan. Meski fenomena ini dengan jelas dapat kita saksikan, penelitian-penelitian membuktikan bahwa padangan tentang sikap hewani itu tidak sepenuhnya benar. Para psikolog terus mencoba untuk menelusuri apa pengaruh orang banyak terhadap pikiran pribadi kita dan mengapa demikian. Michael Bond, penulis ilmiah dari Inggris yang menulis tentang bagaimana orang di sekitar kita mempengaruhi segala sesuatu yg kita lakukan (The Power of Others: Peer Pressure, Groupthink, and How the People Around Us Shape Everything We Do) menjelaskan bahwa makin banyak penelitian ilmu-ilmu sosial dilakukan, semakin sedikit kebenaran ide tentang sifat hewani yg ceroboh yang terbukti. Menurutnya tindakan polisi yang mendasarkan pada pandangan itu dengan membubarkan demonstran menggunakan gas air mata justru menciptakan situasi yang mereka coba cegah. Hampir di setiap bidang kehidupan, perilaku kita dipengaruhi oleh orang lain, lebih dari yang kita bayangkan: geng remaja, korps militer, team ekspedisi, dan penonton sepak bola. Dari permukaan, masing-masing kelompok ini mungkin tampak biasa, tapi kekuatan yang mengikat dan mendorong mereka dapat mempengaruhi kita semua.

Dalam dekade terakhir, psikolog telah menemukan bagaimana dan mengapa sifat sosial bawaan kita berpengaruh besar terhadap bagaimana kita berpikir dan bertindak, mendorong kita untuk berprestasi tinggi dan sekaligus bertindak kejam dan membabi buta. Kita berhutang budi kepada orang-orang disekitar kita: ketika kita pikir bahwa kita lah yang berperan, ternyata itu adalah pengaruh kekuatan dari orang lain. Kita tidak pernah sendirian. Orang-orang dalam kehidupan kita mempengaruhi setiap aspek dari perilaku kita dengan cara yang kita sering tidak menyadarinya. Meskipun kita menganggap diri kita sebagai individu bebas, pilihan kita dipengaruhi oleh orang lain dan hal yang menakutkan adalah bahwa kita tidak menyadari itu. Michael Bond telah menyelidiki terobosan terbaru dalam psikologi sosial untuk mengungkapkan bagaimana cara menjaga diri terhadap bahaya pemikiran kelompok, bagaimana membangun kerja sama tim dan bertindak lebih etis, mengidentifikasi tujuan bersama dan bagaimana bertahan saat-saat menghadapi isolasi. Demikian ditulis dalam salah satu ulasan buku tersebut. Kita harus berhati-hati agar dapat memanfaatkan sifat kolektif kita demi kehidupan yang lebih damai dan bermanfaat. 

03/08/14

APAKAH REJEKI SAYA TERTUKAR?


APAKAH REJEKI SAYA TERTUKAR?
Oleh: Jum’an

Bukankah sudah sewajarya bahwa hal-hal yang baik dialami oleh orang baik dan hal-hal buruk akan menimpa orang jahat? Yang bekerja giat, jujur, yang suka memberi, yang cinta sesama, seharusnya hidup lebih sejahtera dibanding mereka yang curang, suka menipu dan melecehkan orang lain? Bukankah begitu kehendak Allah menurut pemahaman banyak orang? Tetapi mengapa Allah membiarkan banyak hal baik terjadi pada orang jahat dan banyak hal buruk justru menimpa orang baik? Tidak jarang porsi yang sudah jelas merupakan milik orang baik, tidak dapat dinikmati tanpa harus mereka rebut terlebih dahulu. Dilain pihak penipu pajak, perusak lingkungan dan koruptor hidup hidup nikmat nyaman sejahtera. Kadang kadang kita tidak faham bagaimana cara Allah membagi rejeki. Sepertinya banyak yang tertukar-tukar! Mungkin dalam kehidupan duniawi ini Allah menggunakan rumus yang sama untuk seluruh umat manusia: yang beriman dan yang tidak, yang jahat maupun yang baik. Siapa cepat dia dapat; siapa kuat akan bertahan. Tidak ada subsidi, tidak ada prioritas. Terserah pada niat dan tindakan masing-masing. Itulah barangkali rumus ilmu hidup didunia. “Barang siapa menginginkan dunia maka ada ilmunya. Barangsiapa menginginkan akhirat maka ada ilmunya. Demikian sabda Rasulullah SAW. Jangan kecil hati kalau anda yang merasa sebagai orang yang baik terpaksa menderita dan sengsara. Yang akan memberikan hasil bukanlah semata-mata tindakan tetapi justru niat dibelakangnya. Niatlah yang melahirkan realitas. “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” Hadis shahih ini dikatakan oleh Imam Syafi’i mencakup sepertiga ilmu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Seperti tak bisa diartikan lain bahwa bukan tindakan yang kita lakukan tapi niat (kesadaran) dibelakangnya yang menjadikan pengalaman kita. Jika orang serakah percaya mereka layak atau mampu menciptakan kekayaan, merekapun akan mengalaminya.

Anda yang begitu berhati-hati, hanya makan makanan yang terpilih, bergizi dan seimbang masih juga gemuk dan penyakitan. Sementara orang lain melahap semua yang dia suka, tetap saja ramping dan bugar. Ada yang berpendapat bahwa itu disebabkan faktor keturunan atau genetika, tapi penemuan terbaru dalam epigenetik mengungkapkan bahwa gen tidak mengontrol tubuh kita, justru lingkungan sel yg mengontrol. Dan apa yang mengontrol lingkungan sel kita? Kesadaran kita, niat kita. Ilmu Psikoneuroimunologi dapat menjelaskan bagaimana pikiran kita menimbulkan impuls kimia dan listrik yang kemudian mengirimkan perintah ke sel-sel dalam tubuh kita, bagaimana pikiran menjelma menjadi tindakan. Berlaku sama bagi yang adil dan yang serakah! Tindakan memang penting untuk menjelmakan sesuatu, tetapi seperti kata hadis diatas, kita hanya akan memperoleh apa yang kita niatkan.

Penderitaan bukanlah pengertian yang berdiri sendiri. Kita mengenal arti penderitaan hanya karena kita mengenal pengertian tentang kesenangan, seperti kita mengenal arti keburukan karena terjalin erat dengan arti yang sebaliknya, yaitu kebaikan. Tanpa penderitaan, kesenangan juga akan tidak berarti. Tetapi untuk mengandaikan bahwa kita semua bernasib sama tak ada yang senang dan tak ada yang susah, tidak mungkin karena bertentangan dengan kenyataan hidup kita sebagai manusia. Karena kita mempunyai akal dan hati nurani, kita mengenal untung dan rugi, mengenal kenikmatan dan penderitaan. Penderitaan memang menyakitkan tapi karena pengertiannya terkait dengan kesenangan, orang baik yang menderita tidak selalu berarti tidak adil. Kecuali bila penderitaan ada sendirian, tanpa kaitan dengan kesenangan. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, suri tauladan kita yang dijamin sebagai ahli surga juga tidak sepi dari penderitaan sebagaimana manusia lainnya. Beliau mengajarkan, ketika hal-hal buruk terjadi pada orang baik - atau siapa saja - untuk menjaga kesabaran ketika merasakan kesedihan, dan untuk menjaga kepercayaan pada Allah. Nasehat itu tertuang dalam surat bela sungkawa (takziah) Rasulullah kepada sahabatnya Mu’adz bin Jabal  ketika putranya meninggal. Surat yang sangat bermakna itu diantaranya berbunyi demikian:   “.………….. bahwa jiwa, harta, dan anak-anak kita semua itu pemberian Allah yang menyenangkan hati dan pinjamanNya yang dititipkan, kita bersenang-senang dengan semua itu sampai kepada masa yang ditentukan dan akan ditarik kembali pada waktu yang ditentukan. Kemudian Allah mewajibkan kita bersyukur jika diberi dan sabar jika diuji, dan putramu itu berasal dari pemberian Allah yang menyenangkan dan pinjamannya yang dititipkan, Allah telah memuaskan engkau dengan kesenangan dan kini diambil oleh Allah dengan jaminan pahala yang besar jika engkau sabar dan ikhlas. Karena itu, wahai Mu’adz, jangan sampai duka hatimu menghilangkan pahalamu sehingga kau akan menyesali apa yang terlepas dari tanganmu dan andaikan engkau mengetahui pahala musibahmu, niscaya akan mengetahui bahwa musibah itu kecil (dibanding pahala bila bersabar). Dan ketahuilah bahwa dukacita ini tidak dapat mengembalikan orang yang telah mati dan tidak bisa mengurangi kesedihan karena itu hilangkan susahmu dengan apa (pahala/anugerah) yang akan turun padamu, seakan-akan sudah turun. Wassalam “

Mungkin rejeki saya tidak tertukar, mungkin mereka memang lebih berhak dari saya. Rejeki tak pernah tertukar. la mani'a lima a'thoita, wala mu'tia lima mana'ta. Tak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tak ada yang mampu memberi apa yang Engkau cegah. Dan penderitaan ini harus kita rasakan; masih bukan apa-apa dibanding kenikmatan yang kita terima. Sabaaar……….