JANGAN SEKARANG – BESOK SAJA!
Oleh: Jum’an
Saya mau mulai menulis e-mail permintaan sample dari
sebuah produsen bahan kimia. Baru saja mulai dengan Dear Sir, tangan kanan saya
lepas dari keyboard, menuju ke cangkir kopi dan mengantar ke bibir saya untuk menyeruputnya.
Karena nikmatnya, syaraf saya terbuka dan pikiran saya berubah untuk membaca
berita dulu sebelum menyelesaikan e-mail. Ada link dalam berita yang saya baca dan
ketika saya klik ternyata berisi artikel panjang yang informatif dan menarik.
Saya membacanya sampai selesai dan menyarankan rekan disebelah ikut membaca.
Lalu kami saling memberi komentar. Walhasil setelah lebih dari dua jam, barulah
email selesai saya tulis. Anda mungkin pernah membaca tentang sseorang yang mau
menulis novel atau menyusun makalah yang tidak pernah kunjung selesai karena
setiap kali ia memulai, ada saja pekerjaan sederhana dan remeh yang
menginterupsi. Memotong kuku, membeli rokok, memberi makan burung, membaca koran,
diajak teman keluar sebentar minum kopi. Katanya ia tidak punya waktu untuk
bekerja serius. Tentu saja kalau begitu caranya. Bila tugas pekerjaan sampai
terhenti ditengah akan sulit untuk meneruskannya lagi. Umumnya kita sendiri
yang menundanya bukan karena perintah atau permintaan orang lain.
Menurut
penelitian psikolog Dr. Ferrari hampir seperempat penduduk
dewasa sedunia adalah penunda yang kronis. Bagi para penunda kronis, ini bukan
soal manajemen waktu. Kita tidak bisa mengatur waktu. Kita harus mengatur diri
kita sendiri, kata Ferrari. Untuk itu kita harus tahu mengapa kita sampai
menunda-nunda. Ada tiga hal yang mungkin menjadi penyebab. Salah satu sebab mengapa
kita enggan untuk menyelesaikan tugas adalah ketakutan kita untuk dievaluasi.
Kita tidak ingin orang menilai kemampuan kita, kita lebih suka usaha kita yang
mereka nilai. Mengulur penyelesaian pekerjaan bisa menjadi salah satu cara
untuk menghindari ketakutan dievaluasi dengan tajam. Yang kedua mungkin
sebaliknya: kita bukan takut gagal dievaluasi tetapi justru takut sukses karena
bila hasil kerja kita saat ini terlalu sempurna, mungkin kita memempatkan diri
terlalu tinggi yang menyulitkan diri-sendiri diwaktu yang akan datang. Ini
kembali ke soal tanggung jawab. Bagaimana jika kita tidak se-sempurna itu untuk
tugas berikutnya? Dan yang ketiga, kita
enggan untuk mengakhiri kenikmatan terlalu dini. Jika kita merasakan waktu yang
menyenangkan ketika mengerjakan suatu, akan terasa kecewa untuk mengakhirinya.
Ini dapat menyebabkan kita untuk hanya megulang-ulang apa yang kita kerjakan,
sekedar untuk menghindari selesai.
Kebanyakan penunda yang parah,
adalah juga orang baik-baik. Artinya menunda-nunda bukanlah sesuatu yang
seburuk menipu atau mencuri. Lagi pula sebenarnya jumlah pekerjaan yang dapat
kita lakukan tidak terbatas. Tetapi dalam sepotong waktu hanya satu pekerjaan
yang dapat kita lakukan, tidak lebih. Jadi masalahnya bukanlah
bagaimana untuk menghindari penundaan, tapi bagaimana untuk menunda dengan
baik. Menunda itu bisa dengan menghentikan kerja lalu tidak berbuat apa-apa,
atau beralih mengerjakan sesuatu yang kurang penting, atau mengerjakan sesuatu
yang lebih penting. Penundaan yg baik
adalah menyingkirkan tugas kecil untuk melakukan sesuatu yang lebih penting dan
nyata. Profesor botak yang lupa makan, mandi dan bercukur, atau seniman yang
berkutat menekuni lukisan di sanggarnya adalah contoh penunda yang baik; mereka
menunda hal-hal kecil untuk mengerjakan hal-hal besar.
Menunda adalah praktek melaksanakan
tugas-tugas yang kurang penting sebagai ganti tugas-tugas yang lebih mendesak,
atau yang lebih menyenangkan menggantikan yang kurang menyenangkan, dan dengan
demikian menunda tugas mendatang ke lain waktu, kadang-kadang sampai
"menit terakhir" sebelum batas waktu (wikipedia).
Kebiasaan menunda nampaknya erat hubungannya dengan kecenderungan manusia
mencari kesenangan untuk menghindari perasaan tidak enak dan menunda tugas yg
penuh tekanan. Banyak pula yang
memandang penundaan sebagai cara yang berguna untuk menandai apa yang penting
bagi kita secara pribadi karena jarang menunda-nunda bila seseorang benar-benar
menghargai pekerjaannya.
Penundaan dengan menghentikan
kerja yang penting dan menggantinya dengan sesuatu yang kurang penting seperti
contoh penulis novel diatas, adalah berbahaya karena tidak terasa menunda.
Mereka memang menyelesaikan sesuatu, tetapi bukan pekerjaan yang merupakan
tujuan utama. Mengapa kita enggan menekuni pekerjaan penting yang makan waktu?
Salah satu alasannya adalah bahwa imbalannya masih terlalu lama dan kurang
nyata. Jika kita mengerjakan sesuatu yang selesai dalam waktu singkat, kita
dapat mengharapkan kepuasan dengan prestasi yang cukup singkat. Tapi yag lebih
menakutkan, menghadapi tugas pekerjaan besar memang terasa menyakitkan seperti
ada vacuum cleaner yang siap menyedot imajinasi kita. Semua ide awal yang kita
miliki disedotnya habis dengan cepat, dan meskipun sudah habis bersih, vacuum
cleaner itu masih terus menghisap.
Kita tidak dapat menatap pekerjaan besar terlalu langsung didepan mata. Kita harus mendekatinya dari samping, mencari sudut yang pas sehingga dapat menangkap beberapa bagian yang menyenangkan yang memancar dari situ, tapi jangan terlalu banyak sehingga dapat melumpuhkan kita. Kita dapat mempertajam sudutnya setelah berjalan, seperti perahu layar dapat berlayar dengan berpegangan pada angin setelah mulai berlayar. Menurut Paul Graham cara memecahkan masalah penundaan adalah dengan membiarkan kenikmatan menarik kita ketimbang memaksa diri dengan jadwal tugas-tugas. Kerjakan sebuah proyek ambisius yang benar-benar kita nikmati, dan berlayarlah sedekat mungkin dengan angin, dan relakan pekerjaan-pekerjaan kecil kita tinggalkan.