03/08/14

APAKAH REJEKI SAYA TERTUKAR?


APAKAH REJEKI SAYA TERTUKAR?
Oleh: Jum’an

Bukankah sudah sewajarya bahwa hal-hal yang baik dialami oleh orang baik dan hal-hal buruk akan menimpa orang jahat? Yang bekerja giat, jujur, yang suka memberi, yang cinta sesama, seharusnya hidup lebih sejahtera dibanding mereka yang curang, suka menipu dan melecehkan orang lain? Bukankah begitu kehendak Allah menurut pemahaman banyak orang? Tetapi mengapa Allah membiarkan banyak hal baik terjadi pada orang jahat dan banyak hal buruk justru menimpa orang baik? Tidak jarang porsi yang sudah jelas merupakan milik orang baik, tidak dapat dinikmati tanpa harus mereka rebut terlebih dahulu. Dilain pihak penipu pajak, perusak lingkungan dan koruptor hidup hidup nikmat nyaman sejahtera. Kadang kadang kita tidak faham bagaimana cara Allah membagi rejeki. Sepertinya banyak yang tertukar-tukar! Mungkin dalam kehidupan duniawi ini Allah menggunakan rumus yang sama untuk seluruh umat manusia: yang beriman dan yang tidak, yang jahat maupun yang baik. Siapa cepat dia dapat; siapa kuat akan bertahan. Tidak ada subsidi, tidak ada prioritas. Terserah pada niat dan tindakan masing-masing. Itulah barangkali rumus ilmu hidup didunia. “Barang siapa menginginkan dunia maka ada ilmunya. Barangsiapa menginginkan akhirat maka ada ilmunya. Demikian sabda Rasulullah SAW. Jangan kecil hati kalau anda yang merasa sebagai orang yang baik terpaksa menderita dan sengsara. Yang akan memberikan hasil bukanlah semata-mata tindakan tetapi justru niat dibelakangnya. Niatlah yang melahirkan realitas. “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” Hadis shahih ini dikatakan oleh Imam Syafi’i mencakup sepertiga ilmu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Seperti tak bisa diartikan lain bahwa bukan tindakan yang kita lakukan tapi niat (kesadaran) dibelakangnya yang menjadikan pengalaman kita. Jika orang serakah percaya mereka layak atau mampu menciptakan kekayaan, merekapun akan mengalaminya.

Anda yang begitu berhati-hati, hanya makan makanan yang terpilih, bergizi dan seimbang masih juga gemuk dan penyakitan. Sementara orang lain melahap semua yang dia suka, tetap saja ramping dan bugar. Ada yang berpendapat bahwa itu disebabkan faktor keturunan atau genetika, tapi penemuan terbaru dalam epigenetik mengungkapkan bahwa gen tidak mengontrol tubuh kita, justru lingkungan sel yg mengontrol. Dan apa yang mengontrol lingkungan sel kita? Kesadaran kita, niat kita. Ilmu Psikoneuroimunologi dapat menjelaskan bagaimana pikiran kita menimbulkan impuls kimia dan listrik yang kemudian mengirimkan perintah ke sel-sel dalam tubuh kita, bagaimana pikiran menjelma menjadi tindakan. Berlaku sama bagi yang adil dan yang serakah! Tindakan memang penting untuk menjelmakan sesuatu, tetapi seperti kata hadis diatas, kita hanya akan memperoleh apa yang kita niatkan.

Penderitaan bukanlah pengertian yang berdiri sendiri. Kita mengenal arti penderitaan hanya karena kita mengenal pengertian tentang kesenangan, seperti kita mengenal arti keburukan karena terjalin erat dengan arti yang sebaliknya, yaitu kebaikan. Tanpa penderitaan, kesenangan juga akan tidak berarti. Tetapi untuk mengandaikan bahwa kita semua bernasib sama tak ada yang senang dan tak ada yang susah, tidak mungkin karena bertentangan dengan kenyataan hidup kita sebagai manusia. Karena kita mempunyai akal dan hati nurani, kita mengenal untung dan rugi, mengenal kenikmatan dan penderitaan. Penderitaan memang menyakitkan tapi karena pengertiannya terkait dengan kesenangan, orang baik yang menderita tidak selalu berarti tidak adil. Kecuali bila penderitaan ada sendirian, tanpa kaitan dengan kesenangan. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, suri tauladan kita yang dijamin sebagai ahli surga juga tidak sepi dari penderitaan sebagaimana manusia lainnya. Beliau mengajarkan, ketika hal-hal buruk terjadi pada orang baik - atau siapa saja - untuk menjaga kesabaran ketika merasakan kesedihan, dan untuk menjaga kepercayaan pada Allah. Nasehat itu tertuang dalam surat bela sungkawa (takziah) Rasulullah kepada sahabatnya Mu’adz bin Jabal  ketika putranya meninggal. Surat yang sangat bermakna itu diantaranya berbunyi demikian:   “.………….. bahwa jiwa, harta, dan anak-anak kita semua itu pemberian Allah yang menyenangkan hati dan pinjamanNya yang dititipkan, kita bersenang-senang dengan semua itu sampai kepada masa yang ditentukan dan akan ditarik kembali pada waktu yang ditentukan. Kemudian Allah mewajibkan kita bersyukur jika diberi dan sabar jika diuji, dan putramu itu berasal dari pemberian Allah yang menyenangkan dan pinjamannya yang dititipkan, Allah telah memuaskan engkau dengan kesenangan dan kini diambil oleh Allah dengan jaminan pahala yang besar jika engkau sabar dan ikhlas. Karena itu, wahai Mu’adz, jangan sampai duka hatimu menghilangkan pahalamu sehingga kau akan menyesali apa yang terlepas dari tanganmu dan andaikan engkau mengetahui pahala musibahmu, niscaya akan mengetahui bahwa musibah itu kecil (dibanding pahala bila bersabar). Dan ketahuilah bahwa dukacita ini tidak dapat mengembalikan orang yang telah mati dan tidak bisa mengurangi kesedihan karena itu hilangkan susahmu dengan apa (pahala/anugerah) yang akan turun padamu, seakan-akan sudah turun. Wassalam “

Mungkin rejeki saya tidak tertukar, mungkin mereka memang lebih berhak dari saya. Rejeki tak pernah tertukar. la mani'a lima a'thoita, wala mu'tia lima mana'ta. Tak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tak ada yang mampu memberi apa yang Engkau cegah. Dan penderitaan ini harus kita rasakan; masih bukan apa-apa dibanding kenikmatan yang kita terima. Sabaaar……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar