BENARKAH BERSATU KITA TEGUH?
Oleh: Jum’an
Saya kira anda akan merasa familiar dengan pengalaman
masa lampau saya ini. Sering terjadi di dalam kelas, saya merasa bingung ketika
kesulitan memahami penjelasan dari Pak Guru. Untungnya meskipun murid bebas
bertanya kapan saja, Pak Guru biasanya menanyakan: “Ada yang kurang jelas?” Tetapi
saya hanya terdiam tidak mengangkat tangan, sambil menengok kanan-kiri sampai
Pak Guru dengan lega berkata: ”Kalau begitu mari kita lanjutkan!” . Ia pasti
berpikir murid-muridnya pintar-pintar dan sudah merasa jelas dan ia merasa bahwa
cara dia memberi pelajaran mudah dimengerti. Padahal saya masih menunggu kalau-kalau
ada murid lain yang mengangkat tangan, sebab kalau saya sendirian melakukan
itu, alangkah malunya ditatap begitu banyak murid lain karena hanya saya yang
tidak mengerti. Alangkah bodohnya saya. Padahal, terbukti belakangan, kebanyakan
murid-murid yang lain juga sama tidak mengertinya. Mereka tidak berani mengangkat
tangan karena menyangka semua murid-murid lain merasa sudah jelas. Mereka diam
dengan alasan yang sama dengan alasan saya mengapa tidak berani mengangkat
tangan untuk bertanya. Demikian pula pengalaman bersama mengikuti seminar,
meskipun sang penceramah selalu mengawali acaranya dengan berkata: “Kalau ada
keterangan saya yang kurang jelas nanti, segera hentikan saya dan tanyakan!” Kebiasaan
buruk itu sudah berlaku sejak entah kapan dan akan berterusan entah sampai
kapan, padahal masing-masing kita sudah tahu bahwa kebiasaan buruk itu sudah seharusnya
berakhir.
Itulah fenomena yang terjadi bila kita berada dalam sebuah
kelompok. Kita menjadi berpikir, merasa dan melakukan hal-hal yang kalau kita
sendirian tidak mungkin terjadi. Identitas pribadi serasa hilang dan larut
kedalam kehendak kelompok yang tidak benar-benar mewakili kehendak masing-masing
anggota. Kepribadian normal kita menjadi berubah. Hal itu kita alami ketika
kita ikut terlibat dalam suatu demonstrasi, protes maupun menonton sepak-bola. Anda
yang sehari-hari santun berubah brutal membakar toko, merusak pagar stadion,
bahkan melempari penumpang kereta api yag tidak tahu menahu. Tentu ada gurunya,
yaitu sejenis yang dalam kelas berkata: kalau begitu mari kita lanjutkan, sementara
mayoritas muridnya tidak ada yang memahami penjelasan sang guru. Demikian pula
dalam menanggapi opini publik seperti isu-isu tentang perbedaan suku dan agama.
Meskipun semua orang menyadari sudah bukan zamannya lagi, tetapi sebagaimana yang
terjadi didalam kelas, isu-isu itu tetap
tetap muncul terus menerus. Penyebab asalnya adalah karena kita semua adalah
makhluk sosial yang secara alami memiliki karakter kelompok seperti juga
murid-murid dalam kelas.
Karakter kelompok yang bersifat negatif ini sudah lebih
dari satu abad ditengarai orang, bahkan dijadikan dasar bertindak oleh hampir semua
pemerintahan didunia dalam menyikapi gerakan massa. Gustave Le Bon,
psikolog sosial, sosiolog dan antropolog dari Perancis menulisnya dalam buku The Crowd: A Study
of the Popular Mind (1895). Ia
menjelaskan bahwa manusia dalam kelompok besar adalah berbahaya, bahwa mereka
secara spontan berubah menjadi manusia hewani yang mudah terombang -ambing dan
rentan terhadap kekerasan. Meski fenomena ini dengan jelas dapat kita saksikan,
penelitian-penelitian membuktikan bahwa padangan tentang sikap hewani itu tidak
sepenuhnya benar. Para psikolog terus mencoba untuk menelusuri apa pengaruh orang
banyak terhadap pikiran pribadi kita dan mengapa demikian. Michael Bond,
penulis ilmiah dari Inggris yang menulis tentang bagaimana orang di sekitar
kita mempengaruhi segala sesuatu yg kita lakukan (The
Power of Others: Peer Pressure, Groupthink, and How the People Around Us Shape
Everything We Do) menjelaskan bahwa makin banyak penelitian ilmu-ilmu
sosial dilakukan, semakin sedikit kebenaran ide tentang sifat hewani yg ceroboh
yang terbukti. Menurutnya tindakan polisi yang mendasarkan pada pandangan itu
dengan membubarkan demonstran menggunakan gas air mata justru menciptakan
situasi yang mereka coba cegah. Hampir di setiap bidang kehidupan, perilaku
kita dipengaruhi oleh orang lain, lebih dari yang kita bayangkan: geng remaja, korps
militer, team ekspedisi, dan penonton sepak bola. Dari permukaan, masing-masing
kelompok ini mungkin tampak biasa, tapi kekuatan yang mengikat dan mendorong
mereka dapat mempengaruhi kita semua.
Dalam dekade terakhir, psikolog telah menemukan
bagaimana dan mengapa sifat sosial bawaan kita berpengaruh besar terhadap
bagaimana kita berpikir dan bertindak, mendorong kita untuk berprestasi tinggi
dan sekaligus bertindak kejam dan membabi buta. Kita berhutang budi kepada orang-orang
disekitar kita: ketika kita pikir bahwa kita lah yang berperan, ternyata itu
adalah pengaruh kekuatan dari orang lain. Kita tidak pernah sendirian. Orang-orang
dalam kehidupan kita mempengaruhi setiap aspek dari perilaku kita dengan cara
yang kita sering tidak menyadarinya. Meskipun kita menganggap diri kita sebagai
individu bebas, pilihan kita dipengaruhi oleh orang lain dan hal yang
menakutkan adalah bahwa kita tidak menyadari itu. Michael Bond telah menyelidiki
terobosan terbaru dalam psikologi sosial untuk mengungkapkan bagaimana cara
menjaga diri terhadap bahaya pemikiran kelompok, bagaimana membangun kerja sama
tim dan bertindak lebih etis, mengidentifikasi tujuan bersama dan bagaimana bertahan
saat-saat menghadapi isolasi. Demikian ditulis dalam salah satu ulasan buku
tersebut. Kita harus berhati-hati agar dapat memanfaatkan sifat kolektif kita demi
kehidupan yang lebih damai dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar