18/08/14

BENARKAH BERSATU KITA TEGUH?


BENARKAH BERSATU KITA TEGUH?
Oleh: Jum’an


Saya kira anda akan merasa familiar dengan pengalaman masa lampau saya ini. Sering terjadi di dalam kelas, saya merasa bingung ketika kesulitan memahami penjelasan dari Pak Guru. Untungnya meskipun murid bebas bertanya kapan saja, Pak Guru biasanya menanyakan: “Ada yang kurang jelas?” Tetapi saya hanya terdiam tidak mengangkat tangan, sambil menengok kanan-kiri sampai Pak Guru dengan lega berkata: ”Kalau begitu mari kita lanjutkan!” . Ia pasti berpikir murid-muridnya pintar-pintar dan sudah merasa jelas dan ia merasa bahwa cara dia memberi pelajaran mudah dimengerti. Padahal saya masih menunggu kalau-kalau ada murid lain yang mengangkat tangan, sebab kalau saya sendirian melakukan itu, alangkah malunya ditatap begitu banyak murid lain karena hanya saya yang tidak mengerti. Alangkah bodohnya saya. Padahal, terbukti belakangan, kebanyakan murid-murid yang lain juga sama tidak mengertinya. Mereka tidak berani mengangkat tangan karena menyangka semua murid-murid lain merasa sudah jelas. Mereka diam dengan alasan yang sama dengan alasan saya mengapa tidak berani mengangkat tangan untuk bertanya. Demikian pula pengalaman bersama mengikuti seminar, meskipun sang penceramah selalu mengawali acaranya dengan berkata: “Kalau ada keterangan saya yang kurang jelas nanti, segera hentikan saya dan tanyakan!” Kebiasaan buruk itu sudah berlaku sejak entah kapan dan akan berterusan entah sampai kapan, padahal masing-masing kita sudah tahu bahwa kebiasaan buruk itu sudah seharusnya berakhir.

Itulah fenomena yang terjadi bila kita berada dalam sebuah kelompok. Kita menjadi berpikir, merasa dan melakukan hal-hal yang kalau kita sendirian tidak mungkin terjadi. Identitas pribadi serasa hilang dan larut kedalam kehendak kelompok yang tidak benar-benar mewakili kehendak masing-masing anggota. Kepribadian normal kita menjadi berubah. Hal itu kita alami ketika kita ikut terlibat dalam suatu demonstrasi, protes maupun menonton sepak-bola. Anda yang sehari-hari santun berubah brutal membakar toko, merusak pagar stadion, bahkan melempari penumpang kereta api yag tidak tahu menahu. Tentu ada gurunya, yaitu sejenis yang dalam kelas berkata: kalau begitu mari kita lanjutkan, sementara mayoritas muridnya tidak ada yang memahami penjelasan sang guru. Demikian pula dalam menanggapi opini publik seperti isu-isu tentang perbedaan suku dan agama. Meskipun semua orang menyadari sudah bukan zamannya lagi, tetapi sebagaimana yang terjadi didalam kelas,  isu-isu itu tetap tetap muncul terus menerus. Penyebab asalnya adalah karena kita semua adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki karakter kelompok seperti juga murid-murid dalam kelas.

Karakter kelompok yang bersifat negatif ini sudah lebih dari satu abad ditengarai orang, bahkan dijadikan dasar bertindak oleh hampir semua pemerintahan didunia dalam menyikapi gerakan massa. Gustave Le Bon, psikolog sosial, sosiolog dan antropolog dari Perancis menulisnya dalam buku The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895).  Ia menjelaskan bahwa manusia dalam kelompok besar adalah berbahaya, bahwa mereka secara spontan berubah menjadi manusia hewani yang mudah terombang -ambing dan rentan terhadap kekerasan. Meski fenomena ini dengan jelas dapat kita saksikan, penelitian-penelitian membuktikan bahwa padangan tentang sikap hewani itu tidak sepenuhnya benar. Para psikolog terus mencoba untuk menelusuri apa pengaruh orang banyak terhadap pikiran pribadi kita dan mengapa demikian. Michael Bond, penulis ilmiah dari Inggris yang menulis tentang bagaimana orang di sekitar kita mempengaruhi segala sesuatu yg kita lakukan (The Power of Others: Peer Pressure, Groupthink, and How the People Around Us Shape Everything We Do) menjelaskan bahwa makin banyak penelitian ilmu-ilmu sosial dilakukan, semakin sedikit kebenaran ide tentang sifat hewani yg ceroboh yang terbukti. Menurutnya tindakan polisi yang mendasarkan pada pandangan itu dengan membubarkan demonstran menggunakan gas air mata justru menciptakan situasi yang mereka coba cegah. Hampir di setiap bidang kehidupan, perilaku kita dipengaruhi oleh orang lain, lebih dari yang kita bayangkan: geng remaja, korps militer, team ekspedisi, dan penonton sepak bola. Dari permukaan, masing-masing kelompok ini mungkin tampak biasa, tapi kekuatan yang mengikat dan mendorong mereka dapat mempengaruhi kita semua.

Dalam dekade terakhir, psikolog telah menemukan bagaimana dan mengapa sifat sosial bawaan kita berpengaruh besar terhadap bagaimana kita berpikir dan bertindak, mendorong kita untuk berprestasi tinggi dan sekaligus bertindak kejam dan membabi buta. Kita berhutang budi kepada orang-orang disekitar kita: ketika kita pikir bahwa kita lah yang berperan, ternyata itu adalah pengaruh kekuatan dari orang lain. Kita tidak pernah sendirian. Orang-orang dalam kehidupan kita mempengaruhi setiap aspek dari perilaku kita dengan cara yang kita sering tidak menyadarinya. Meskipun kita menganggap diri kita sebagai individu bebas, pilihan kita dipengaruhi oleh orang lain dan hal yang menakutkan adalah bahwa kita tidak menyadari itu. Michael Bond telah menyelidiki terobosan terbaru dalam psikologi sosial untuk mengungkapkan bagaimana cara menjaga diri terhadap bahaya pemikiran kelompok, bagaimana membangun kerja sama tim dan bertindak lebih etis, mengidentifikasi tujuan bersama dan bagaimana bertahan saat-saat menghadapi isolasi. Demikian ditulis dalam salah satu ulasan buku tersebut. Kita harus berhati-hati agar dapat memanfaatkan sifat kolektif kita demi kehidupan yang lebih damai dan bermanfaat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar