24/02/13

MENGINGAT MATI MENYEGARKAN HIDUP



Oleh: Jum’an

Tidaklah menyimpang dari dugaan kalau dalam penelitian terbukti bahwa orang Islam akan meningkat kepercayaannya kepada Allah ketika diingatkan dan berfikir tentang kematian. Demikian pula ketika orang Kristen memikirkan kematian, mereka bertambah yakin akan Tuhan mereka. Tetapi orang ateis ketika diingatkan tentang kematian, hatinya tak bergeming dan tetap tidak percaya. Sedangkan kaum agnostik yang ragu-ragu (karena menurut mereka kebenaran adanya Tuhan sangat sulit dibuktikan) ketika diingatkan akan kematian, mereka menjadi lebih bersedia untuk percaya adanya Tuhan, hanya saja mereka tidak pilih-pilih untuk percaya kepada Allah, Budha maupun Yesus; meskipun penelitian ini diadakan di Amerika, lingkungan yang mayoritas Kristen. Temuan ini meyakinkan bahwa agama yang menjanjikan kehidupan akhirat yang kekal, dapat membantu kita menyikapi soal kematian dan bahwa orang mengatasi rasa takut mati menurut kepercayaannya sendiri-sendiri. Mudah difahami bahwa orang yang religious cenderung makin kuat kepercayaan kepada agamanya sendiri dan semakin menjauhi kepercayaan agama lain.

Demikian diantara kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Kenneth Vail psikolog Universitas Missiouri dan rekan-rekan tentang Agama dan Kematian.  Ia merekrut 20 mahasiswa Kristen, 28 ateis, 40 Muslim dan 28 penganut agnostik. Semuanya mahasiswa Amerika kecuali 40 yang Muslim, mereka mahasiswa Iran yang belajar di Iran. Sesuai dengan dugaan para peneliti terungkap bahwa ketika orang Kristen berfikir tentang kematian, mereka lebih tegas keyakinannya kepada Yesus Kristus ketimbang orang Kristen yang tidak pernah diingatkan soal kematian mereka. Mereka juga makin tidak percaya dengan kebenaran agama lain. Demikian pula sebaliknya dengan orang Islam. Juga terungkap, mithos bahwa orang ateis akan beriman jika terancam kematian (no atheist in foxholes) adalah tidak benar. Orang atheist tetap atheist meskipun mereka diingatkan akan kematian mereka yang tak terelakkan. Penelitian ini juga menunjukkan betapa berbeda-bedanya cara orang menagani rasa takut akan kematian mereka. Bukti bahwa mengingat dan berfikir tentang kematian ternyata meningkatkan iman orang Islam kepada Allah merupakan fakta yang penting dan bermanfaat bagi kita.

Menurut suatu teori dalam ilmu psikologi sosial, kesadaran akan kematian yang tak terelakkan, dapat mendorong manusia untuk mengisi hidup mereka dengan sesuatu yang lebih penting dan bermakna, dan menyatukan diri dengan sesuatu yang lebih besar seperti agama atau Negara. Peristiwa serangan 11 September 2001 di New York, telah menimbulkan rasa takut luar biasa dan membangkitkan kesadaran akan kematian. Peristiwa itu telah memberikan sekaligus dampak negatif maupun dampak positif. Kebanyakan media cenderung memfokuskan diri kepada reaksi negatif terhadap aksi terorisme seperti meningkatnya permusuhan antar agama, kekerasan dan rasialisme. Tapi menurut Kenneth Vail penelitian juga menemukan bahwa sesudah peristiwa itu orang lebih menunjukkan rasa syukur, harapan, dan kepemimpinan yg lebih baik.

Memikirkan tentang kematian dengan sadar, dapat memotivasi orang untuk menjaga kesehatan dan menyegarkan kembali cita-cita perorangan. Sementara secara tidak disadari mendorong manusia untuk hidup sesuai dengan standar dan keyakinan yang positif, membangun hubungan baik, melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat, hidup berdampingan, dan memperkaya kehidupan mereka sendiri.
Menurut kesimpulan penelitian tentang sikap orang terhadap kematian, memikirkan kematian dapat memperbaiki kehidupan. Menurut istilah mereka, menari dengan kematian adalah langkah yang pelik tetapi anggun menuju kehidupan yang lebih baik. Barangkali hadis Nabi yang mengatakan “Perbanyaklah mengingat kematian” memang perlu kita budayakan.

10/02/13

SAYA DIATAS RATA-RATA


Oleh: Jum'an..

Diantara rekan-rekan sekantor rasanya kebaikan budi dan kemurahan hati, termasuk nilai kinerja saya adalah diatas rata-rata. Demikian pula diantara tetangga, rekan-rekan seprofesi serta rekan-rekan seusia, saya merasa demikian. Padahal mungkin sulit bagi saya mencapai nilai diatas rata-rata kalau benar-benar diuji dalam bidang tertentu seperti pengetahuan computer, bermain catur ataupun mengemudi mobil. Tetapi begitulah, diberbagai arena saya merasa berada diatas rata-rata. Kalau nilai terbaik 10, nilai saya mungkin tujuh. Apakah anda punya perasaan begitu juga? Kalau memang demikian, benarlah apa yang dinyatakan oleh  David Dunning yang telah meneliti  gejala ini selama beberapa puluh tahun. Psikolog dari Univ. Cornell ini mengatakan bahwa fenomena berkhayal unggul itu memang melekat erat pada semua orang.

Kalau anda mengenal saya dari dekat anda dapat menilai berapa nilai saya kira-kira menurut anda. Mungkin hanya empat atau lima. Hanya saja anda pasti merasa rikuh untuk mengatakannya didepan saya. Apalagi bila anda merasa kurang pandai menilai orang lain, anda semakin tidak mau mengatakan bahwa saya dibawah rata-rata. Karena itu ilusi superioritas saya terlindung dari gangguan dan, kata Dunning, perasaan unggul itu ternyata baik bagi kesehatan mental kita. Kebanyakan orang cukup teliti dalam menilai orang lain; tetapi berlebihan ketika menilai kemampuan sendiri, seolah-olah bebas dari segala kendala. Dalam penelitian klasik tahun 1977, 94% para professor menilai diri mereka “diatas rata-rta” relatif terhadap rekan-rekan mereka. Dalam penelitian lain 32% karyawan sebuah perusahaan software menilai diri mereka lebih baik dari hampir semua rekan kerja mereka. Para sopir, menurut penelitian Mark Horswill psikolog Univ. Queensland Australia, menilai diri mereka diatas rata-rata, meskipun dalam test persepsi kecelakaan nilai mereka rendah. Sopir lama, sopir baru, sopir muda dan sopir tua sama. Anehnya mereka yang paling tidak berkompeten adalah yang paling mungkin untuk melebih-lebihkan kemampuan mereka, sementara mereka yang berkompeten cenderung merendahkan diri, karena apa yang mereka rasakan mudah dikiranya mudah juga bagi orang lain.

Satu-satunya kelompok yang terbebas dari berkhayal unggul adalah orang-orang yang menderita depresi dan kecemasan. Mereka tidak punya kecenderungan membesar-besarkan diri. Semakin parah depresi mereka semakin besar kemungkinan mereka meremehkan diri. Karena itu ilusi super yang melekat pada semua orang itu, menurut Horswill mungkin merupakan mekanisme perlindungan bagi  kesehatan mental kita. Dengan ilusi bahwa kita unggul, harga diri kita seperti terlindungi. Menurut David Dunning, ilusi super atau membesar-besarkan diri bervariasi diantara berbagai budaya. Di Amerika fenomena itu sangat kentara, sementara di Korea, Jepang atau China hampir tak teramati. Orang timur lebih mementingkan peningkatan diri sementara budaya Barat cenderung mementingkan harga diri.

Lalu bagaimana kita mensikapi ilusi kita yang salah itu? Karena tidak mungkin menilai diri sendiri dengan objektif, sebaiknya kita berusaha menyesuaikan diri dengan realitas. Salah satunya dengan melihat dan mencontoh perlaku orang lain yang jelas-jelas berjasa bagi masyarakat. Karena umumnya kita cukup teliti dalam menilai orang lain kita harus berinisiatif menangkap dan memperhatikan  kritik-kritik konstruktif dari orang lain. Kata Dunning “Jalan menuju mawas diri adalah melalui orang lain”