Oleh:
Jum'an..
Diantara
rekan-rekan sekantor rasanya kebaikan budi dan kemurahan hati, termasuk nilai
kinerja saya adalah diatas rata-rata. Demikian pula diantara tetangga,
rekan-rekan seprofesi serta rekan-rekan seusia, saya merasa demikian. Padahal
mungkin sulit bagi saya mencapai nilai diatas rata-rata kalau benar-benar diuji
dalam bidang tertentu seperti pengetahuan computer, bermain catur ataupun mengemudi
mobil. Tetapi begitulah, diberbagai arena saya merasa berada diatas rata-rata.
Kalau nilai terbaik 10, nilai saya mungkin tujuh. Apakah anda punya perasaan
begitu juga? Kalau memang demikian, benarlah apa yang dinyatakan oleh David
Dunning yang telah meneliti gejala
ini selama beberapa puluh tahun. Psikolog dari Univ. Cornell ini mengatakan
bahwa fenomena berkhayal unggul itu memang melekat erat pada semua orang.
Kalau anda
mengenal saya dari dekat anda dapat menilai berapa nilai saya kira-kira menurut
anda. Mungkin hanya empat atau lima. Hanya saja anda pasti merasa rikuh untuk
mengatakannya didepan saya. Apalagi bila anda merasa kurang pandai menilai
orang lain, anda semakin tidak mau mengatakan bahwa saya dibawah rata-rata.
Karena itu ilusi superioritas saya terlindung dari gangguan dan, kata Dunning,
perasaan unggul itu ternyata baik bagi kesehatan mental kita. Kebanyakan orang
cukup teliti dalam menilai orang lain; tetapi berlebihan ketika menilai
kemampuan sendiri, seolah-olah bebas dari segala kendala. Dalam penelitian
klasik tahun 1977, 94% para professor menilai diri mereka “diatas rata-rta”
relatif terhadap rekan-rekan mereka. Dalam penelitian lain 32% karyawan sebuah
perusahaan software menilai diri mereka lebih baik dari hampir semua rekan
kerja mereka. Para sopir, menurut penelitian Mark Horswill psikolog Univ.
Queensland Australia, menilai diri mereka diatas rata-rata, meskipun dalam test
persepsi kecelakaan nilai mereka rendah. Sopir lama, sopir baru, sopir muda dan
sopir tua sama. Anehnya mereka yang paling tidak berkompeten adalah yang paling
mungkin untuk melebih-lebihkan kemampuan mereka, sementara mereka yang berkompeten
cenderung merendahkan diri, karena apa yang mereka rasakan mudah dikiranya
mudah juga bagi orang lain.
Satu-satunya
kelompok yang terbebas dari berkhayal unggul adalah orang-orang yang menderita
depresi dan kecemasan. Mereka tidak punya kecenderungan membesar-besarkan diri.
Semakin parah depresi mereka semakin besar kemungkinan mereka meremehkan diri.
Karena itu ilusi super yang melekat pada semua orang itu, menurut Horswill mungkin
merupakan mekanisme perlindungan bagi kesehatan mental kita. Dengan ilusi bahwa kita
unggul, harga diri kita seperti terlindungi. Menurut David Dunning, ilusi super
atau membesar-besarkan diri bervariasi diantara berbagai budaya. Di Amerika
fenomena itu sangat kentara, sementara di Korea, Jepang atau China hampir tak
teramati. Orang timur lebih mementingkan peningkatan diri sementara budaya
Barat cenderung mementingkan harga diri.
Lalu bagaimana kita mensikapi ilusi kita yang
salah itu? Karena tidak mungkin menilai diri sendiri dengan objektif, sebaiknya
kita berusaha menyesuaikan diri dengan realitas. Salah satunya dengan melihat dan
mencontoh perlaku orang lain yang jelas-jelas berjasa bagi masyarakat. Karena
umumnya kita cukup teliti dalam menilai orang lain kita harus berinisiatif
menangkap dan memperhatikan kritik-kritik
konstruktif dari orang lain. Kata Dunning “Jalan menuju mawas diri adalah
melalui orang lain”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar