10/02/13

SAYA DIATAS RATA-RATA


Oleh: Jum'an..

Diantara rekan-rekan sekantor rasanya kebaikan budi dan kemurahan hati, termasuk nilai kinerja saya adalah diatas rata-rata. Demikian pula diantara tetangga, rekan-rekan seprofesi serta rekan-rekan seusia, saya merasa demikian. Padahal mungkin sulit bagi saya mencapai nilai diatas rata-rata kalau benar-benar diuji dalam bidang tertentu seperti pengetahuan computer, bermain catur ataupun mengemudi mobil. Tetapi begitulah, diberbagai arena saya merasa berada diatas rata-rata. Kalau nilai terbaik 10, nilai saya mungkin tujuh. Apakah anda punya perasaan begitu juga? Kalau memang demikian, benarlah apa yang dinyatakan oleh  David Dunning yang telah meneliti  gejala ini selama beberapa puluh tahun. Psikolog dari Univ. Cornell ini mengatakan bahwa fenomena berkhayal unggul itu memang melekat erat pada semua orang.

Kalau anda mengenal saya dari dekat anda dapat menilai berapa nilai saya kira-kira menurut anda. Mungkin hanya empat atau lima. Hanya saja anda pasti merasa rikuh untuk mengatakannya didepan saya. Apalagi bila anda merasa kurang pandai menilai orang lain, anda semakin tidak mau mengatakan bahwa saya dibawah rata-rata. Karena itu ilusi superioritas saya terlindung dari gangguan dan, kata Dunning, perasaan unggul itu ternyata baik bagi kesehatan mental kita. Kebanyakan orang cukup teliti dalam menilai orang lain; tetapi berlebihan ketika menilai kemampuan sendiri, seolah-olah bebas dari segala kendala. Dalam penelitian klasik tahun 1977, 94% para professor menilai diri mereka “diatas rata-rta” relatif terhadap rekan-rekan mereka. Dalam penelitian lain 32% karyawan sebuah perusahaan software menilai diri mereka lebih baik dari hampir semua rekan kerja mereka. Para sopir, menurut penelitian Mark Horswill psikolog Univ. Queensland Australia, menilai diri mereka diatas rata-rata, meskipun dalam test persepsi kecelakaan nilai mereka rendah. Sopir lama, sopir baru, sopir muda dan sopir tua sama. Anehnya mereka yang paling tidak berkompeten adalah yang paling mungkin untuk melebih-lebihkan kemampuan mereka, sementara mereka yang berkompeten cenderung merendahkan diri, karena apa yang mereka rasakan mudah dikiranya mudah juga bagi orang lain.

Satu-satunya kelompok yang terbebas dari berkhayal unggul adalah orang-orang yang menderita depresi dan kecemasan. Mereka tidak punya kecenderungan membesar-besarkan diri. Semakin parah depresi mereka semakin besar kemungkinan mereka meremehkan diri. Karena itu ilusi super yang melekat pada semua orang itu, menurut Horswill mungkin merupakan mekanisme perlindungan bagi  kesehatan mental kita. Dengan ilusi bahwa kita unggul, harga diri kita seperti terlindungi. Menurut David Dunning, ilusi super atau membesar-besarkan diri bervariasi diantara berbagai budaya. Di Amerika fenomena itu sangat kentara, sementara di Korea, Jepang atau China hampir tak teramati. Orang timur lebih mementingkan peningkatan diri sementara budaya Barat cenderung mementingkan harga diri.

Lalu bagaimana kita mensikapi ilusi kita yang salah itu? Karena tidak mungkin menilai diri sendiri dengan objektif, sebaiknya kita berusaha menyesuaikan diri dengan realitas. Salah satunya dengan melihat dan mencontoh perlaku orang lain yang jelas-jelas berjasa bagi masyarakat. Karena umumnya kita cukup teliti dalam menilai orang lain kita harus berinisiatif menangkap dan memperhatikan  kritik-kritik konstruktif dari orang lain. Kata Dunning “Jalan menuju mawas diri adalah melalui orang lain” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar