23/06/14

PERJUANGAN TANPA PERIKEMANUSIAAN


PERJUANGAN TANPA PERIKEMANUSIAAN
Oleh: Jum’an

Pada tahun 1568 diabad ke 16, Panglima Takeda berperang melawan Panglima Imagawa, Shizuoka dan Uesugi di Matsumoto Jepang. Shizuoka, yang wilayahnya berbatasan dengan laut sebagai sumber penghasil garam menghentikan pengiriman garam kepada Takeda untuk memaksa rakyat kelaparan dan menyerah. Tetapi Uesugi yang wilayahnya juga memiliki pantai laut tidak tega melihat orang menderita karena kekurangan garam. Baginya tidak terhormat sebagai seorang prajurit dan panglima perang. Dia tidak ingin menaklukkan musuh dengan cara membuat orang awam menderita. Tanpa garam mereka tak dapat mengawetkan makanan yang mudah rusak seperti ikan dan daging. Garam juga mempengaruhi kekuatan otot, tekanan darah dan menahan cairan dalam tubuh manusia. Tanpa garam sama sekali, orang bisa mati. Maka Uesugi mengirimkan garam untuk Takeda, diangkut menggunakan sapi yang tiba di Matsumoto 10 Januari 1568 saat Takeda hampir menyerah. Batu tempat mengikat sapi (Usitunagiishi) di jalan Honmachi di kota Matsumoto itu diabadikan hingga kini. Festival merayakan kedatangan garam pun diadakan setiap 10 Januari dari abad ke 16 sampai sekarang disana.

Ditengah berkecamuknya peperangan di Irak sekarang, pihak-pihak yang bermusuhan yang semuanya adalah kaum muslimin, juga menggunakan cara-cara yang tidak ber perikemanusiaan dan menyengsarakan rakyat. Disaat damai kita semua sadar bahwa orang tua, wanita dan anak-anak, ternak dan tanaman tidak boleh dijadikan sasaran perang baik menurut agama maupun perikemanusiaan. Tetapi dalam masa peperangan semua orang tidak peduli: mereka menghalalkan segala cara demi cita-cita perjuangan yang menurut anggapan mereka paling benar.

Gerilyawan Irak telah menggunaakan air sebagai senjata perang setelah berhasil merebut suatu bendungan sungai Efrat di Nuaimiya, 5 km selatan Falluja yang sejak tahun lalu dikepung oleh pasukan pemerintah untuk mengusir mereka dari sana. Para pejuang ISIS (ISIL) menutup semua pintu bendungan itu yang mengakibatkan banjir didaerah hulu dan kekeringan diprovinsi selatan Irak yang dilalui aliran sungai Efrat. Penutupan itu dimaksudkan untuk membanjiri daerah sekitar kota agar pasukan pemerintah mundur dan menghentikan pengepungan di Falluja. Banjir itu telah mengakibatkan sekitar 60.000 orang kehilangan rumah, panen, ternak dan mata pencaharian mereka. Ratusan ribu orang mengungsi keluar provinsi Anbar akibat banjir yang berminggu-minggu menenggelamkan wilayah di provinsi terbesar Irak itu. Di Ramadi saja, 10.000 rumah hancur, 2000 hektar lahan pertanian tak dapat ditanami, 49 sekolah ditutup dan ujian ditunda. Ini merupakan banjir terburuk sejak 1950, kata Azhar Ibrahim,seorang seorang petani. Meskipun demikian, ia masih merasa beruntung karena sempat memanen melon tepat sebelum banjir datang. Setelah itu ladangnya tergenang habis. "Apa yang mereka lakukan terhadap kita adalah kejahatan," ia menangis putus asa sambil menghitung uang recehan hasil menjual melonnya di pinggir jalan kota Baghdad. "Menggunakan air sebagai senjata dalam perjuangan untuk membuat orang kehausan adalah kejahatan keji," kata Oun Dhiyab, pejabat Departemen Pengairan. "Menutup bendungan dan bermain-main dengan air sungai Efrat akan menimbulkan akibat yang mengerikan." Selain itu banjir buatan itu juga dimaksudkan untuk menjegal pemilihan parlemen pada 30 April. Mereka berhasil; ternyata hanya sepertiga dari TPS di Provinsi Anbar yang dapat dibuka akibat bencana banjir itu.

Penutupan bendungan Nuamiya sekaligus bertujuan untuk membuat Karbala dan Najaf, tempat suci kaum Syiah kekeringan, sehingga memperluas kegiatan mereka di wilayah selatan. Sepuluh juta penduduk mengalami kekurangan air. Bila penutupan terus berlangsung tentu akan berdampak buruk bagi daerah pertanian di banyak provinsi selatan yang bergantung pada sungai Efrat, termasuk Hilla, Karbala, Najaf dan Diwaniya. Penurunan debit air juga menyebabkan kekurangan tenaga listrik di kota-kota di selatan Baghdad, yang mengandalkan generator bertenaga uap (PLTU) yang sepenuhnya bergantung air yang cukup. Pemerintah akhirnya mengunakan taktik yang sama. Mereka membuka semua pintu air di bendungan dekat Haditha lebih ke utara (hulu) di sungai Efrat. Akibatnya, permukaan air naik secara drastis dan meluap ketepi Efrat, masuk dan menjebol tanggul saluran irigasi. Banjir diutara Fallujah ini disengaja oleh pemerintah Irak untuk menghambat gerakan kelompok ISIS dan untuk mencegah  mereka agar tidak sampai ke Baghdad. Diharapkan banjir di wilayah Suni itu akan mengurangi dukungan pada ISIS sehingga mereka tak akan mampu mempertahankan basis operasional mereka di Anbar. Nampaknya hal ini tidak terbukti.


Menurut berita, awal Juni lalu bendungan Haditha telah dikuasai pihak pemberontak ISIS . Mereka juga menguasai salah satu bendungan besar 30 kilometer utara Mosul, yang dibangun diatas pondasi yang rapuh dan memiliki resiko bobol. Bendungan ini menampung setidaknya 8 miliar meter-kubik air. Bila dam ini sampai jebol maka Mosul akan tenggelam 20 meter dan Baghdad 5 meter dibawah air dan kemungkinan korban tewas  dapat mencapai 500,000 jiwa, kata manajer bendungan Abdulkhalik Ayub. Nauzubillah bila sampai bendungan Mosul ini disabot oleh salah satu pihak yang berperang………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar