28/01/15

PROVOKASI SALAH-SALAH BISA MATI


PROVOKASI SALAH-SALAH BISA MATI
Oleh: Jum’an

Untuk mengimbangi pekerjaan kantor yang membosankan karyawan selalu punya cara. Bercanda untuk membangkitkan suasana ceria. Tentang apa saja dan siapa saja seperti sindiran  untuk karyawati gemuk, bos yang botak, lemburan fiktif, tentang mertua, perselingkuhan dan apa saja. Ditelinga saya yang lebih tua tidak selalu terdengar menyenangkan, kadang-kadang risi dan menyakitkan hati. Contohnya bila sasarannya respsionis  kami yang sedikit oversize, berwajah bulat dan kebetulan berhidung pesek. Selalu ada yang kreatif dan cekatan menemukan julukan yang mengena dan provokatif. Saya rasa ia pasti merasa tersinggung dan marah. Sementara ia telah gagal berjuang untuk melangsingkan badan justru diejek dengan julukan truk tronton dan hidungnya dibilang mancung kedalam. Tetapi karena hati lebih arif dari mata dan telinga, selama tidak terasa ada nada kebencian, resepsionis kita tetap tersenyum-senyum saja. Nampaknya ia justru ikut bergembira karena tanpa upaya apapun telah berhasil ikut menghidupkan suasana. Juga karena kami karyawan yang hanya belasan orang, merupakan komunitas kecil yang senasib, lingkungan terbatas dan materi gurauannya ringan-ringan saja. Ada benang merah antara sindiran halus (satir) dan kebencian. Bagi yang seumur saya, mungkin masih ingat peristiwa ini. Kebanyakan umat Islam di desa-desa yang mengenakan kain sarung ketika pergi ke masjid; tetapi ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1960-an menjuluki kita sebagai “kaum sarungan”, kita segera tahu itu bukan sekedar sindiran tapi provokasi yang mengundang  permusuhan. Antara sesama kita, sebutan kaum sarungan atau pecian terdengar damai-damai saja.

Kebebasan berekspresi bukan berarti siapa saja berhak untuk didengar kapan saja, dimana saja tentang apa saja dan siapa saja. Ada saat-saat ketika dapat atau harus dirtarik garis batas demi alasan moral atau hukum, ada saat-saat lain dimana tidak pantas dan salah untuk membuat garis tersebut. Paus Franciscus mengatakan kebebasan berekspresi ada batasnya terutama ketika menghina atau mengejek iman seseorang. Kebebasan berbicara memang bukan saja merupakan hak asasi, tetapi adalah kewajiban setiap manusia untuk menyampaikan pikirannya, demi kebaikan bersama. Bagaimanapun tetap ada batas-batasnya. "Jika teman baik saya Dr. Gasparri ini mengucapkan kutukan terhadap ibu saya, dia akan saya pukul.” Dr. Gasparri adalah  pejabat Vatikan yang memimpin rombongan perjalanan Paus ke Philipina. "Ini normal. Anda tidak boleh memprovokasi. Anda tidak bisa menghina iman orang lain. Anda tidak bisa mengolok-olok iman orang lain. Banyak orang yang berbicara buruk tentang agamanya atau agama lain, yang mengolok-olok mereka, yang mempermainkan agama-agama lain," katanya. "Mereka adalah provokator. Dan apa yang terjadi pada mereka adalah apa yang akan terjadi pada Dr. Gasparri jika ia mengucapkan kutukan terhadap ibu saya. Ada batas."

Sementara itu Roskomnadzor, badan pengawas media dan komunikasi Rusia memperingatkan bahwa publikasi karikatur yang menggambarkan peribadatan umat beragama yang menyinggung perasaan adalah melawan norma-norma etika dan moral yg sudah berlaku selama berabad-abad. Di bawah hukum Rusia disejajarkan dengan menghasut kebencian etnis dan agama. Publikasi ini juga melanggar undang-undang media dan anti-ekstremisme Rusia. Meskipun Pemerintah Rusia membela Perancis dan Menteri LN Sergei Lavrov ikut berpawai di Paris, para komentator pro-Kremlin menuduh kartunis Charlie Hebdo yang memprovokasi serangan. Dewan Mufti Rusia, otoritas Muslim tertinggi disana mengutuk serangan itu tetapi mengatakan bahwa "dosa provokasi tidak kalah berbahaya bagi perdamaian dibanding dosa orang-orang yang terpancing oleh provokasi itu." Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov juga mengatakan bahwa para pelukis karikatur Nabi Muhammad saw itu "orang tanpa nilai-nilai spiritual dan moral."

David Brooks pengamat politik dan budaya Amerika dalam tulisannya ”I am not Charlie Hebdo” menjelaskan kemunafikan banyak orang Amerika yang menyanjung keberanian Charlie Hebdo untuk menyebarkan hal-hal yang ofensif, pada kenyataannya tidak toleran terhadap siapapun yang menyinggung pandangan mereka sendiri. Para penggambar karikatur Nabi Muhammad saw adalah generasi hipokrit yang paling merasa yakin alias fundamentalis dalam kebebasan berbicara tanpa batas untuk mengatakan tentang apa saja, kapan saja dan siapa saja. Mereka bangga dan terlatih membuat sindiran yang menusuk hati dan membakar telinga dengan dalih kebebasan ber ekspresi dan semangat provokasi. Baik Paus Franciscus dari Vatican, Roskomnadzor Pengawas Media Rusia, apalagi kita yang merasa Junjungan kita dijadikan olok-olok, sepakat bahwa para kartunis itu adalah jelas provokator. Saya hanya ingin menambahkan, jangan suka memprovikasi salah-salah bisa mati!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar