ANAK BERAGAMA LEBIH KEJAM DARI ANAK ATHEIS?
Oleh: Jum’an
Menurut hasil penelitian Pew
Research Center 2011 - 2013
terhadap 37 ribu orang di 39 negara, kebanyakan orang diseluruh dunia, percaya
kepada Tuhan adalah mutlak perlu untuk membentuk moralitas yang baik. Masuk
akal; kalau tidak, untuk apa 84% penduduk dunia memeluk agama? Kebanyakan
keluarga percaya bahwa pendidikan agama memainkan peranan penting dalam
perkembangan moral anak. Tetapi menurut penelitian
kontroversial yang baru oleh Jean Decety, neuroscientist dari Univ. Chicago,
anak-anak keluarga beragama justru lebih kikir dan kejam dibanding anak-anak
keluarga tak beragama. Atau lebih khasnya: Anak-anak keluarga Kristen dan Islam
rata-rata kurang bersedia berbagi dan lebih kejam dibanding anak-anak tak beragama.
Decety memberi kesimpulan lagi: "Secara keseluruhan, temuan kami mendukung
gagasan bahwa sekularisasi moral tidak akan mengurangi kebaikan manusia -
justru sebaliknya"
Penelitian ini melibatkan 1.170 anak usia 5 – 12 th dari
6 negara (AS, Kanada, AfSel, Turki, Yordan dan China): 43 % Muslim, 24 % Nasrani,
27,6 % tak beragama, dan 5 agama lain diwakili oleh beberapa anak. Melalui
permainan yang disebut dictator game, anak-anak
diberi 10 stiker favorit, kemudian diminta untuk berbagi dengan teman sekolah
yang lain yang tidak hadir. Hasilnya, rata-rata anak-anak keluarga Kristen hanya
merelakan 3,3 stiker untuk disumbangkan, anak keluarga Islam 3,2 tetapi anak-anak
keluarga tak beragama memberikan rata-rata 4.1 stiker untuk yang tidak hadir.
Mereka juga disuruh menonton film kartun pendek dimana
orang saling mendorong dan menabrak satu sama lain, untuk melihat reaksi anak-anak
tehadap perilaku buruk. Hasilnya, anak-anak Islam menilai menabrak dan
mendorong lebih “jahat” dari pernilaian anak-anak Kristen. Sementara anak-anak
Kristen menilainya lebih jahat dibanding anak-anak keluarga tak beragama. Orang
tua anak-anak itu juga ditanya tentang kesalehan beragama dan kerajinan
beribadah mereka, dan rasa kasih sayang anak mereka dan kepekaannya terhadap keadilan. Ketika diminta untuk
menetapkan hukuman untuk saling tabrak dan dorong itu, anak-anak Islam dan
Kristen cenderung menetapkan hukuman yang lebih keras daripada anak-anak yang
tak beragama.
Martin
Marty, ahli sejarah agama, pendeta dan kolumnis berkomentar
diantaranya: Para peneliti telah mengabaikan banyak studi yang menemukan fakta sebaliknya
yang telah lalu. Mereka tidak menguji penjelasan alternatif dan mereka
mempertanyakan dengan bangga tentang (tidak) perlunya agama bagi perkembangan
moral. Yang bersorak adalah mereka kaum sekuler yang fanatik. Masyarakat
sekuler Inggris menyambut studi ini dengan penuh semangat sebagai “Penolakan
anggapan bahwa agama merupakan prasyarat moralitas!”
Tahir
Nasser, seorang dokter dan komentator dari Ingris mengkritik
bahwa kesimpulan penelitian yang menunjukkan korelasi (bukan sebab-akibat!)
sangat tipis (= -0,173) antara religiusitas dan kemurahan hati ini tidak wajar.
Korelasi kecil ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang ini tidak dipertimbangkan.
Penafsiran penelitian ini juga bias. Anak-anak beragama memiliki reaksi negatif
lebih besar terhadap perilaku buruk bisa diartikan sebagai kebencian yang lebih
besar terhadap ketidakadilan. Tetapi
mereka secara negatif menafsirkannya sebagai kecenderungan suka menghakimi. Bahwa
anak-anak beragama mungkin menghukum perilaku buruk lebih keras daripada anak
tak beragama hanya bisa mengisyaratkan adanya pedoman moral yang berkembang
yang belum matang. Sedangkan kelonggaran anak-anak atheis bisa diartikan
kurangnya pedoman moral dan ketidak-mampuan untuk mengenali tindakan yang
salah. Nampak tidak adanya kerendahan hati sebagai hal penting untuk penelitian
yang jujur. Lebih-lebih untuk menarik
kesimpulan tentang kecenderungan moral 3,8 milyar orang Kristen dan Islam (48%
dari populasi dunia) terutama dengan penelitian yang hanya mempunyai nilai
korelasi serendah -0,173.
Victoria
Sayo Turner, ahli ilmu saraf di Nanyang Technological University,
Singapura mengulas penelitian ini dalam Scientific American Februari yang lalu.
Orang beriman sering diperintahkan untuk bertindak tanpa pamrih terhadap orang
lain. Islam menekankan amal dan pemberian sedekah, Kristen pada mengasihi
sesama seperti mengasihi diri sendiri. Dalam kasus penelitian ini, para
peneliti membatasi kemurahan hati menjadi menyumbang stiker untuk teman sekolah
yang anonim. Mungkin anak menolak untuk menyumbangkannya dengan maksud membawanya
pulang dan berbagi dengan kakak atau adik atau teman dekatnya daripada kepada orang
asing. Apakah itu termasuk kemurahan hati atau nepotisme? Jika anak-anak beragama
itu kebetulan mempunyai saudara-saudara kandung, maka hasilnya sebenarnya mengungkapkan
hubungan antara saudara kandung dan stiker bukan antara agama dan kemurahan
hati. Semua tahu bahwa korelasi merupakan indikator yang rumit terhadap sebab-akibat.
Seperti komentar Tahir Nasser, Victoria Turner juga mengatakan bahwa interpretasi
eksperimen ini sulit. Temuan ini bisa dartikan sebagai tanda rasa keadilan yang
lebih tinggi dari anak-anak Islam dan Kristen, dan lebih peka terhadap korban
kekerasan disbanding anak-anak dari keluarga tak beragama. Dan bahwa anak-anak keluarga
tak beragama yang kurang keras dalam menghukum, disebabkan mereka tidak
mempunyai pedoman moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar