17/03/16

ANAK BERAGAMA LEBIH KEJAM DARI ANAK ATHEIS?


ANAK BERAGAMA LEBIH KEJAM DARI ANAK ATHEIS?
Oleh: Jum’an

Menurut hasil penelitian Pew Research Center  2011 - 2013 terhadap 37 ribu orang di 39 negara, kebanyakan orang diseluruh dunia, percaya kepada Tuhan adalah mutlak perlu untuk membentuk moralitas yang baik. Masuk akal; kalau tidak, untuk apa 84% penduduk dunia memeluk agama? Kebanyakan keluarga percaya bahwa pendidikan agama memainkan peranan penting dalam perkembangan moral anak. Tetapi menurut penelitian kontroversial yang baru oleh Jean Decety, neuroscientist dari Univ. Chicago, anak-anak keluarga beragama justru lebih kikir dan kejam dibanding anak-anak keluarga tak beragama. Atau lebih khasnya: Anak-anak keluarga Kristen dan Islam rata-rata kurang bersedia berbagi dan lebih kejam dibanding anak-anak tak beragama. Decety memberi kesimpulan lagi: "Secara keseluruhan, temuan kami mendukung gagasan bahwa sekularisasi moral tidak akan mengurangi kebaikan manusia - justru sebaliknya"

Penelitian ini melibatkan 1.170 anak usia 5 – 12 th dari 6 negara (AS, Kanada, AfSel, Turki, Yordan dan China): 43 % Muslim, 24 % Nasrani, 27,6 % tak beragama, dan 5 agama lain diwakili oleh beberapa anak. Melalui permainan yang disebut dictator game,   anak-anak diberi 10 stiker favorit, kemudian diminta untuk berbagi dengan teman sekolah yang lain yang tidak hadir. Hasilnya, rata-rata anak-anak keluarga Kristen hanya merelakan 3,3 stiker untuk disumbangkan, anak keluarga Islam 3,2 tetapi anak-anak keluarga tak beragama memberikan rata-rata 4.1 stiker untuk yang tidak hadir.
Mereka juga disuruh menonton film kartun pendek dimana orang saling mendorong dan menabrak satu sama lain, untuk melihat reaksi anak-anak tehadap perilaku buruk. Hasilnya, anak-anak Islam menilai menabrak dan mendorong lebih “jahat” dari pernilaian anak-anak Kristen. Sementara anak-anak Kristen menilainya lebih jahat dibanding anak-anak keluarga tak beragama. Orang tua anak-anak itu juga ditanya tentang kesalehan beragama dan kerajinan beribadah mereka, dan rasa kasih sayang anak mereka dan kepekaannya  terhadap keadilan. Ketika diminta untuk menetapkan hukuman untuk saling tabrak dan dorong itu, anak-anak Islam dan Kristen cenderung menetapkan hukuman yang lebih keras daripada anak-anak yang tak beragama.

Martin Marty, ahli sejarah agama, pendeta dan kolumnis berkomentar diantaranya: Para peneliti telah mengabaikan banyak studi yang menemukan fakta sebaliknya yang telah lalu. Mereka tidak menguji penjelasan alternatif dan mereka mempertanyakan dengan bangga tentang (tidak) perlunya agama bagi perkembangan moral. Yang bersorak adalah mereka kaum sekuler yang fanatik. Masyarakat sekuler Inggris menyambut studi ini dengan penuh semangat sebagai “Penolakan anggapan bahwa agama merupakan prasyarat moralitas!”

Tahir Nasser, seorang dokter dan komentator dari Ingris mengkritik bahwa kesimpulan penelitian yang menunjukkan korelasi (bukan sebab-akibat!) sangat tipis (= -0,173) antara religiusitas dan kemurahan hati ini tidak wajar. Korelasi kecil ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang ini tidak dipertimbangkan. Penafsiran penelitian ini juga bias. Anak-anak beragama memiliki reaksi negatif lebih besar terhadap perilaku buruk bisa diartikan sebagai kebencian yang lebih besar terhadap  ketidakadilan. Tetapi mereka secara negatif menafsirkannya sebagai kecenderungan suka menghakimi. Bahwa anak-anak beragama mungkin menghukum perilaku buruk lebih keras daripada anak tak beragama hanya bisa mengisyaratkan adanya pedoman moral yang berkembang yang belum matang. Sedangkan kelonggaran anak-anak atheis bisa diartikan kurangnya pedoman moral dan ketidak-mampuan untuk mengenali tindakan yang salah. Nampak tidak adanya kerendahan hati sebagai hal penting untuk penelitian yang jujur.  Lebih-lebih untuk menarik kesimpulan tentang kecenderungan moral 3,8 milyar orang Kristen dan Islam (48% dari populasi dunia) terutama dengan penelitian yang hanya mempunyai nilai korelasi serendah -0,173.

Victoria Sayo Turner, ahli ilmu saraf di Nanyang Technological University, Singapura mengulas penelitian ini dalam Scientific American Februari yang lalu. Orang beriman sering diperintahkan untuk bertindak tanpa pamrih terhadap orang lain. Islam menekankan amal dan pemberian sedekah, Kristen pada mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Dalam kasus penelitian ini, para peneliti membatasi kemurahan hati menjadi menyumbang stiker untuk teman sekolah yang anonim. Mungkin anak menolak untuk menyumbangkannya dengan maksud membawanya pulang dan berbagi dengan kakak atau adik atau teman dekatnya daripada kepada orang asing. Apakah itu termasuk kemurahan hati atau nepotisme? Jika anak-anak beragama itu kebetulan mempunyai saudara-saudara kandung, maka hasilnya sebenarnya mengungkapkan hubungan antara saudara kandung dan stiker bukan antara agama dan kemurahan hati. Semua tahu bahwa korelasi merupakan indikator yang rumit terhadap sebab-akibat. Seperti komentar Tahir Nasser, Victoria Turner juga mengatakan bahwa interpretasi eksperimen ini sulit. Temuan ini bisa dartikan sebagai tanda rasa keadilan yang lebih tinggi dari anak-anak Islam dan Kristen, dan lebih peka terhadap korban kekerasan disbanding anak-anak dari keluarga tak beragama. Dan bahwa anak-anak keluarga tak beragama yang kurang keras dalam menghukum, disebabkan mereka tidak mempunyai pedoman moral.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar