26/03/16

KETIKA NYAWA ORANG ADA DITANGAN ANDA


KETIKA NYAWA ORANG ADA DITANGAN ANDA
Oleh: Jum’an

Pada akhir 1998, Raja Hussein dari Jordania diterbangkan dari Amerika ke Amman dalam keadaan koma setelah gagal menjalani pengobatan kanker di Mayo Clinic Minnesota. Alat-alat bantu seperti infus, ventilator, mesin cuci darah, tidak dicabut dari tubuhnya karena keluarga kerajaan sepakat untuk membiarkan beliau meninggal secara alami yaitu ketika jantungnya berhenti berdenyut dengan sendirinya. Akhirnya beliau meninggal pada jam 11.45, 7 Feb. 1999. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon pada 2006 mederita stroke karena pendarahan di otak pada usia 78 tahun. Menurut hasil CT scan Sharon menderita kerusakan otak yang tidak dapat disembuhkan. Sharon tak pernah terbangun lagi dari koma, dan terus dalam keadaan vegetatif (hidup tetapi tidak sadar) dengan berbagai alat bantu. Diantaranya sebuah ventilator untuk nafas buatan dan tabung khusus untuk menyalurkan nutrisi langsung ke perutnya. Ia dapat dipertahankan hidup selama 8 tahun - setidaknya dalam arti fisik – sampai meninggal pada bulan Januari 20014. Kedua puteranya Gilad dan Omri yang bertekad untuk tidak mencabut alat-alat bantu itu.

Siapapun mempunyai kemungkinan mewakili orang dekatnya yang tidak bisa lagi dapat memutuskan untuk dirinya karena menjelang ajal atau sakit parah. Tugas itu termasuk untuk mencabut atau meneruskan alat bantu kehidupan, memasang infus, mencoba nafas buatan (CPR), boleh atau tidak jenazahnya di otopsi atau organ tubuhnya disumbangkan. Beberapa contoh nyata dibawah ini memberi gambaran situasi yang dialami oleh seseorang yang harus menjalankan tugas yang menentukan itu.

Darlene, penderita sakit paru-paru yg sudah parah, telah menandatangani arahan yang menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak ingin pertolongan CPR dilakukan atas dirinya jika jantungnya berhenti. Suatu saat ia mengalami gagal pernapasan, hilang kesadaran dan sekarat. Suaminya, yang tidak bisa membayangkan hidup tanpa Darlene, memutuskan untuk mengabaikan arahannya. Darlene behasil disadarkan dan dipasang alat bantu dan akhirnya keluar dari rumah sakit. Tetapi ia sangat marah pada suaminya yang telah mencegah dia dari mati secara alami, yang akan terjadi bila ia tidak diberi nafas buatan. Ketika sang suami membela diri bahwa Darlene telah tersealamatkan oleh tindakannya, Darlene menjawab dengan nada marah: "Kau pikir saya senang hidup dengan penyakit mengerikan ini. Bagaimana aku bisa percaya kamu lagi? " Sang suami berbuat demikian karena terperangkap oleh panggilan cinta.

Jong, seorang pasien, sedang menjelang ajal karena kanker. Proses kemoterapi telah menghilangkan kekebalan tubuhnya hingga ia terserang virus ganas dan harus dirawat diruang ICU untuk perlidungan yang maksimal. Jong tidak memberikan arahan sebelumnya dan istrinya, Soo-jin yang mewakilinya untuk memutuskan. Kondisi Jong memburuk dan tim medis ingin melepaskan alat-alat bantu dan memungkinkan dia untuk mati. Soo-jin adalah seorang wanita lemah lembut yang sangat hormat kepada dokter. Tetapi ia dengan tegas menolak diajak untuk berdiskusi tentang pencabutan alat bantu kehidupan suaminya. Ketika ditanya apakah kalau Soo-jin dalam kedudukan suaminya ia akan berbuat sama untuk dirinya, ia menjawab:”Tentu saja tidak!”, Dia lebih suka  alat-alat bantu itu dilepaskan agar ia dapat mati dengan tenang. Jadi mengapa ia berbuat sebaliknya untuk suaminya? "Tugas seorang istri yang baik adalah untuk menyelamatkan suaminya," katanya lembut dan dengan tekad baja. Panggilan tugas itu sangat kuat dan sulit untuk diabaikan. Soo-jin mengambil keputusan yang tidak akan ia ambil untuk dirinya karena panggilan tugas itu.

James yang sudah tua, mengalami sakit jantung yang parah. Dia telah beberapa kali masuk rumah sakit. Suatu kali ia tidak sadar dan harus dirawat diruang ICU dan dipasang peralatan bantu kehidupan. Meski  dengan terapi maksimal, tekanan darahnya terlalu rendah, ginjalnya tidak berfungsi dan ia tidak bisa dibangunkan. Anaknya, John, yang tinggal di negara bagian lain, diminta datang. John sibuk dengan hidupnya dan tidak mengunjungi ayahnya selama beberapa tahun. Ketika ia tiba, tim medis minta izin kepadanya untuk mencabut alat-alat bantu dari tubuh ayahnya untuk memungkinkan ayahnya mati. Sambil duduk di samping tempat tidur ayahnya yang menjelang ajal, yang diingatnya hanyalah rasa menyesalnya bahwa ia tidak pernah mengunjungi maupun menilpun ayahnya. Sekarang, ia datang melihat ayahnya di ambang kematian, nalurinya yang kuat mengatakan bahwa ia wajib untuk berperan sebagai pembela dan berjuang untuk melindungi ayahnya dari dokter-dokter yang ingin mencabut alat-alat bantu hidupnya. Dalam situasi seperti ini, sadar atau tidak sadar, ia terutama didorong oleh kepentingan dirinya sendiri untuk menebus kesalahan, satu kesempatan terakhir untuk memperbaiki hubungan dengan ayahnya.


Ketika nyawa seseorang ada ditangan kita (anda), terutama ketika harus memilih untuk mencabut atau membiarkan alat penyambung hidup seseorang, ada beberapa kesulitan tersembunyi dan karenanya kita harus sangat berhati-hati. Disamping panggilan rasa cinta, tugas ataupun menebus kesalahan, kita harus bertanya apakah tindakan kita didasari kepentingan diri-sendiri atau kepentingan si sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar