ORANG ALIM HATINYA KURANG PEKA?
Oleh: Jum’an
Sudah biasa bagi anak-anak desa generasi saya dulu
mengenakan kain sarung yang sudah kumal karena malas mencucinya untuk solat
sehari-hari karena kain sarung itu masih “suci” artinya tidak terkena najis. Istimewanya
meskipun kain sarung kami baru dicuci bersih, kalau secara tidak sengaja terpercik
air seni, kurang dari setetes sekalipun, kami pasti mencucinya kembali
bersih-bersih, bukan bagian yang terkena najis etapi seluruhnya. Sampai
sekarang umat Islam generasi saya umumnya tetap membedakan kata suci untuk pakaian
yang boleh dipakai untuk solat dengan kata bersih untuk pakaian yang pantas
dipakai kekantor misalnya. Suci berarti bersih menurut aturan agama, sedangkan
pakaian bersih artinya tidak tampak kotor dan dekil dipandang mata. Bukan hanya
itu. Kita juga membedakan pula orang baik menurut agama dan orang baik dalam
pengertian umum. Wanita soleh berarti ia mengikuti perintah dan petunjuk Allah
sedangkan wanita baik hati adalah baik berdasar penilaian masyarakat. Dalam
kumpulan surat-suratnya Raden Ajeng Kartini pernah menulis: “Tidak
jadi solehpun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati” seperti pernah saya mengutipnya dulu. Bukan
hanya tentang pakaian yang suci dan wanita soleh, Agama memang membawa ajaran moral
tersendiri yang tidak selalu selaras dengan nurani manusia. Dan bukan umat
Islam saja yang membedakan moralitas agama dengan etika sekuler.
Setiap kali mendirikan solat, kita selalu mengucapkan
ikrar bahwa solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, hingga
tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengikuti dengan pasrah kehendak Allah.
Tetapi Allah juga bersabda dalam Qur’an bahwa semua manusia (yang kafir atau
ateis sekalipun) telah diciptakanNya dalam struktur yang sebaik-baiknya, kemudian
Dia sempurnakan lagi, lalu ditentukan kadarnya dan diberikannya petunjuk,
sehingga tanpa bimbingan agamapun manusia sudah mempunyai bekal potensi dan
kecenderungan untuk berbuati baik. Menurut penelitian
Universitas Barkeley California orang atheis dan yang tak beragama lebih didorong
oleh rasa kasih sayang mereka untuk membantu orang lain daripada orang-orang
yang relijius. Bukan berarti bahwa orang yang relijius tidak bersedia menolong,
tetapi nampaknya rasa kasih sayang kurang menarik orang relijius dibanding
kelompok orang lain. Orang-orang yang kurang atau tidak religius, mengandalkan
perasaan hati mereka apakah mau menolong orang lain atau tidak. Sementara orang
yang lebih relijius mungkin mendasarkan pertolongan mereka tidak pada emosi
tetapi lebih pada factor-afaktor lain seperti doktrin, identitas komunal, atau
reputasi; demikian hasil studi itu.
Seperti banyak kita temui orang-orang yang tidak relijius
tetapi suka menolong dan berderma. Mereka mengikuti perasaan hati mereka, yang
adalah karunia Allah juga, dan tumbuh menjadi orang yang berguna bagi
masyarakat. Menurut penelitian,
orang yang berkepribadian rendah hati (humble, andap-asor dalam bhs Jawa) terbukti
lebih bersedia untuk mengulurkan tangan untuk membantu dibanding mereka yang
arogan. Mereka juga cenderung menjadi pemimpin yang efektif dan lebih disukai
dari pada mereka yang memamerkan prestasi mereka.
Jika benar hasil penelitian Robb Willer dari Universitas
Berkeley diatas bahwa orang relijius lebih mendasarkan kemurahan hatinya kepada
doktrin daripada kepada perasaan, maka dapat difahami bahwa banyak orang yang
begitu relijius, perasaan mereka tidak peka. Ibarat pisau yang tumpul karena
jarang diasah. Mengapa banyak tokoh yang nampaknya alim menyelewengkan uang negara
yang sebenarnya merupakan hak rakyat miskin. Meskipun saya bukan orang yang
terlalu relijius, saya curiga mengapa hati saya kurang tergerak untuk
mengeluarkan uang untuk korban musibah kebakaran, banjir dsb. Saya meneteskan
air mata melihat laporan korban banjir di televisi, tetapi sesenpun tidak
keluar dari dompet saya untuk menolong mereka. Kalau anda juga merasa demikian,
artinya kita tidak menyadari bahwa hati-nurani kita sedikit banyak sudah
membawa petunjuk dari Allah swt. Dalam hal tolong-menolong kita kurang menghargai
rasa kasih sayang yang merupakan unsur ciptaanNya dalam diri kita.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam saya
percaya bahwa sifat-sifat baik yang saya miliki tumbuh dari keimanan saya. Kalau
saya mengakuinya dari diri sendiri, itupun saya percaya berasal dari potensi
yang sudah ditanamkan Allah sejak awal. Bedanya dengan kebaikan mereka yang tak
beragama, mereka tidak mungkin mengakui kebaikannnya berasal dari potensi
pemberian Allah dan tidak pula mereka peruntukkan bagi Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar