MENDENGAR ENAK – MENYANYI SUMBANG
Oleh: Jum’an
Bagi yang mendambakan hidup tenteram dan harmonis, menutupi
aib dan noda adalah wajar dan perlu. Baik merahasiakan penyakit,
sejarah hitam masa lalu ataupun perselingkuhan. Saya juga menyembunyikan banyak
hal, kalau tidak, bagaimana di usia setua ini masih bisa terseok-seok mengais
rejeki. Selain jenis aib yang klasik dan konvensional seperti diatas saya juga menutup
rapat-rapat rahasia cacat yang cukup fatal yang jangan-jangan diantara anda merahasiakannya
juga. Kini setelah ancaman dan bahayanya tidak ada lagi karena sudah kedaluwarsa
saya rela untuk berbagi dengan siapa saja yang sudi membacanya. Siapa tahu ada
manfaatnya. Dengan ikhlas dan legowo saya mengakui bahwa seumur hidup saya benar-benar
tidak pernah bisa menyanyikan lagu apapun. Tidak pernah bisa mengaji dengan
lagu atau menyerukan azan dengan lagu. Yang menyedihkan dan memalukan adalah tidak
pernah bisa menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya ataupun
lagu mars Maju Tak Gentar yang
semua orang bisa menyanyikannya dengan mudah. Saya hanya tertolong karena kedua
lagu itu selalu dinyanyikan dalam upacara bersama sehingga ketika suara saya terdengar
sumbang ditelinga sendiri, buru-buru saya hentikan dan ikut menggerakkan bibir
saja. Kakak saya yang ketika belajar di Sekolah Rakyat selalu duduk satu kelas dengan
saya, juga mempunyai cacat yang sama. Guru kami sangat tahu itu; masih teringat
hingga kini ketika dia mempermalukan kami berdua didepan semua murid. Dua kakak
beradik ini tidak bisa menyanyi. Selama bertahun-tahun saya merasa teraniaya
dan terhina ketika tiba mata pelajaran seni suara.
Apakah ini sejenis cacat keturunan? Konon orang yang gagap tak terkendali bisa menyanyi dengan
baik. Orang yg tak bisa bicara karena stroke kadang-kadang bernyanyi. Penderita
penyakit Alzheimer yang hampir tak bisa mengingat namanya sendiri kadang-kadang
mampu menyanyi. Mungkinkah karena kendala mental, kurang percaya diri dan merasa
malu sehingga suara yang keluar lemah dan gemetar? Saya benar-benar merasa
putus asa, terutama setelah suara penyanyi tenar yang merdu, suara qari’ dan
muadzin yang enak didengar tersedia setiap saat melalui media elektronik, kaset
dan CD. Mengapa harus tersiksa mendengarkan suara sendiri yang sumbang kalau
penyanyi tenar bersedia menyanyikannya kapan saja?
Dalam pergaulan sehari-hari ketika
sama-sama diam sambil mendengarkan lagu-lagu, selera saya cukup bersaing dan
sama terhormatnya dengan rekan-rekan yang lain. Dalam keadaan diam, batin saya
bisa menyanyikan lagu-laguGesang, bahkan LucianoPavarotti dengan suara yang persis sama. Serasa suara saya kembar
dengan suara mereka sama bagusnya. Tetapi begitu saya mencoba membuka mulut yang
keluar tidak lebih dari suara keledai, sember dan sumbang. Jauh dari Bengawan
Solo atau Ave Maria. Saya sudah sering mecoba menyanyi sendiri ditempat yang
sepi, tetap saja suara saya membelot keluar jalur. Jadi bukan masalah mental
atau kurang percaya diri. Padahal saya mempunyai pita suara yang utuh yang dapat
mengeluarkan nada yang saya kehendaki dan menaik-turunkannya dengan baik.
Menurut situs“EasyEarTraining” nyanyian kita akan selaras bila kita dapat
mengendalikan tinggi rendah nada (mengatur pita suara) dan
menyesuaikan (melalui pendengaran) nada yang sedang kita nyanyikan dengan nada
yang seharusnya kita nyanyikan.
Menurut
penelitian, pada prinsipnya
baik musisisi maupun non musisi, semua mampu mencocokkan nada dengan baik. Hanya
saja ketika mereka diminta menggunakan suara sendiri untuk mencocokkan nada, hanya
sedikit non-musisi yang berhasil. Masalahnya, begitu telinga kita tahu bahwa
nada yang keluar dari mulut berbeda dari yang seharusnya dinyanyikan, pita
suara kita tidak segera melakukan koreksi untuk menyesuaikan. Otak kita
memiliki kemampuan untuk memberitahu suara yang harus dihasilkan dengan nada
yang benar tetapi memberikan petunjuk yang salah pada pita suara untuk mencocokkan nada yg dimaksud. Otak
orang yang tidak bisa menyanyi bersikeras, terus menerus memaksa memproduksi
kesalahan, meskipun telinganya segera tahu. Mereka tahu suara mereka sumbang,
tetapi mereka tidak dapat menemukan jalan menuju nada yang tepat.
Begitulah kira-kira kesimpulan penelitian itu tentang
cacat yang selama ini saya rahasiakan. Saya tidak bisa menyanyi karena salah di
otak! Bukan di pita suara maupun ditelinga saya; kedua-duanya tidak bermasalah.
Ketika saya mendengar Gesang menyanyikan “Bengawan Solo” dan berniat untuk
menirukannya, otak saya salah memerintahkan pita suara untuk menghasilkan nada
yang sama. Seolah-olah seseorang mengacaukan tombol pada keyboard computer kita
sehinga ketika ditekan huruf A yang yang tampil dilayar justru huruf F. Telinga
kita segera tahu begitu terdengar suara kita sumbang, itulah sebabnya kita malu
mendengar suara sendiri.
Menurut Sean Hutchins peneliti dari lembaga riset
kognisi bakat musik di Montreal, menyembuhkan otak orang yang tidak bisa
bernyanyi adalah mungkin, tetapi untuk orang dewasa merupakan tugas yang sangat
sulit, membutuhkan latihan setiap hari selama bertahun-tahun. Jadi bagi saya mustahil
dapat dicapai dan lebih baik saya terima apa adanya. Toh saya masih bebas bisa
menikmati musik seperti orang lain. Dan siapa tahu, cacat saya dibidang musik
merangsang kearifan yang lebih dibidang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar