30/04/15

MAAF MBA ATUN KITA BELUM JODOH


MAAF MBA ATUN - KITA BELUM JODOH
Oleh: Jum’an
(Saya senang tulisan th 2009 ini masih sering dibaca orang. Di Wordpress saja, th 2014 masih ada 1,200 pembaca. Smp April, th. ini ada 580 orang. Untuk orang spt saya alhamdulillah sekali, ini saya muat lagi. Mba Atun meninggal 2 bulan yang lalu.)
Sejak kecil memang saya sudah mulai dibentuk. Karena sampai tamat SMP tidak pernah berpindah tempat tinggal, maka tulang-tulang dan gigi saya hanya terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari hasil bumi desa kelahiran saya. Demikian pula sebagian ciri-ciri hidup saya sudah mulai terbentuk didesa itu.
Suatu pagi hari dimasa kanak-kanak, karena sakit yang tak kunjung sembuh saya disuruh berjongkok dekat padasan – tempat mengambil air wudu. Dibawah kain ibu, saya dimandikan dengan urine hangat langsung dari pancurannya. Itulah terapi pamungkas setelah semua cara gagal dicoba. Tentu saja sesudah itu saya dicuci bersih karena ibu saya yang guru ngaji, tahu hukum najis mutawasitoh itu. Pada kesempatan lain, nama saya diganti karena badan saya ceking dan sakit-sakitan, mungkin panggilan baru akan lebih merangsang pertumbuhan. Itulah bagian dari awal terbentuknya pola hidup saya.
Setelah dewasa dan terpelajar saya berkiblat kepada pengobatan medis untuk memelihara kesehatan. Tetapi pengobatan medis yang terlalu mahal itu menakutkan: pisau bedah, jarum suntik, bius total, cuci darah, amputasi.....
Sementara pengobatan nonmedis meyajikan jamu-jamu godok yang serba herbal, wirid, tenaga dalam dan air doa. Kalau memang sama-sama dapat menyembuhkan, tentu yang kedua inilah pilihan utama saya.
Kecuali mengandalkan terapi gelombang kejut -ESWL- yang tidak juga sekali tuntas dan obat-obatan untuk menghilangkan batu ginjal, saya menjalankan upaya non-medis juga. Gagal dengan operasi goresan kuku Haji Fauzi antara Puncak dan Cipanas yang katanya ampuh, saya tetap tidak putus asa.
Waktu itu sedang ramai tersiar nama Ibu Atun dari Pemalang ahli pengobatan alternatif yang dapat mengobati macam-macam jenis penyakit. Pasiennya terdiri dari rakyat jelata, pejabat tinggi dan selebritis, bukan saja dari Nusantara tetapi juga Malaysia, Singapura dan Hongkong. (Sebagian testimoni ada disini). Besan saya yang kebetulan orang sana, menceritakan bahwa tetangganya yang terkena penyakit kaki gajah (filariasis) sembuh ditangan ibu Atun –sebenarnya lebih tepat dipanggil mba Atun karena ia masih lajang waktu itu-. Katanya darah hitam bercampur lemak dikeluarkan dari kedua kaki dan dibersihkannya menggunakan kapas.
Sesudah satu setengah bulan mendaftar dan mendapat nomor urut tujuhpuluh sekian untuk hari itu, batu ginjal sayapun dikeluarkan oleh ibu Atun.
“Boleh saya bawa pulang untuk kenang-kenangan Bu?” kata saya sambil meminta kapas ditangannya yang masih basah oleh darah. Silahkan, katanya.
Dalam perjalanan pulang saya cium-cium kapas dan saya raba-raba batu sebesar butir beras itu. Rasanya bau darah saya tidak amis begini dan batu ginjal saya mirip kristal garam tidak seperti serpihan tulang. Foto rontgen yang saya lakukan dua minggu kemudian membuktikan bahwa batu ginjal saya masih utuh. Maaf mba Atun, kita mungkin belum jodoh.
Bahkan waktu ginjal saya makin tidak berfungsi dan harus menjalani cuci darah saya tetap meminum air doa, pijat refleksi, serta rajin berobat kepad Ir. KRM. H. Gembong Danudiningrat yang berwibawa itu.

Lama sesudah semua usai dengan izin Alloh, saya baru menyadari apa yang saya peroleh dari Haji Fauzi, Bu Atun dan terutama Romo Gembong dari Kraton Yogya itu. Yaitu harapan. Harapanlah yang telah ikut menopang pertahanan saya melawan penderitaan dan cobaan selama itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar