08/12/13

BENARKAH DOSA MENGUNDANG BENCANA


BENARKAH DOSA MENGUNDANG BENCANA?
Oleh: Jum’an

Kita sama-sama mengetahui bahwa cuaca buruk di muka bumi makin sering terjadi dan bertambah mengerikan. Peningkatan ini pastilah ada asal-usul dan sebab musababnya. Entah kehendak Allah untuk menghukum manusia atas dosa-dosanya yang semakin beragam dan menggila atau akibat ulah manusia yang merusak alam dan merangsang terjadinya banjir dan badai. Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa tsunami yang melanda Aceh pada 2004 atau topan raksasa Haiyan di Filipina akhir-akhir ini adalah akibat dari perbuatan manusia merusak alam, tetapi para ahli percaya bahwa aktivitas manusia merupakan kekuatan utama di balik perubahan iklim dan perubahan iklim akan menyebabkan lebih banyak badai dahsyat seperti Haiyan, Sandy dan Phailin. Anggapan bahwa bencana yang mengerikan, seperti angin topan, gempa maupun tsunami adalah tindakan Tuhan untuk mengingatkan atau menghukum umat manusia, banyak dipercayai oleh kaum beragama baik Islam, Yahudi maupun Nasrani. Di Barat dan di Timur, di negeri maju maupun di negeri terbelakang. Tidak hanya sekali saya mendengar khotib solat Jum’at yang menyatakan dengan nada menuduh bahwa masyarakat Aceh yang bergelar Serambi Mekah telah meninggalkan agamanya, hilang iman mereka dan karena itu Allah menurunkan bencana bagi mereka. Ada pula ulama Iran yang menyatakan bahwa wanita yang berpakaian tidak sopan dan berperilaku sembarangan yang seharusnya dipersalahkan atas terjadinya gempa. Menyingkap Kerudung Mengundang Gempa. Di negeri Barat banyak tokoh agama Yahudi maupun Nasrani yang meyakini bahwa gempa besar yang terjadi adalah akibat dari kegiatan-kegiatan homoseksual (perkawinan sesama jenis) yang menentang fitrah manusia atau kehendak Tuhan. Cobalah Google “homosex and earthquake” andapun akan tahu.

Ketika terjadi gempa dahsyat di Lisbon 250 tahun lalu, ketegangan antara kaum agama dan para intelektual memuncak. Inilah sekelumit kisah gempa dahsyat dan ketegangan itu: Tanggal 1 November tahun 1755 jatuh pada hari Minggu. Pagi hari itu cuaca di Lisbon ibukota Portugal sangat cerah dan hangat. Lisbon merupakan salah satu pelabuhan paling penting dan terkaya di Eropa pada saat itu. Penduduknya yang terkenal relijius sedang merayakan “Hari Semua Orang Kudus” (All Saint’s Day) dengan penuh gairah. Gereja-gereja dipenuhi jemaat pengunjung. Pukul 9.30 pagi terjadi getaran gempa yang lemah yang disusul dengan suara gemuruh yang makin keras dan makin keras, sampai menyerupai dentuman meriam dan terjadilah guncangan dahsyat yang pertama. Pada 09:40 semua lonceng kota berbunyi bersamaan karena guncangan gempa dan beberapa detik kemudian gedung-gedung mulai runtuh. Tiga guncangan besar berturut-turut terjadi selama 10 menit berikutnya, kebanyakan orang tewas akibat runtuhnya gereja-gereja yang penuh pengunjung yg sedang mengikuti misa kedua pagi hari itu.

Orang-orang melarikan diri ke arah pelabuhan di mana ada lapangan istana yang luas untuk perlindungan yg aman dari reruntuhan bangunan. Di sana mereka menyaksikan kejadian yang sangat aneh: Laut surut dan berubah menjadi daratan dan sungai Tagus kering sampai kedasar. Jam 10 lebih 10, gelombang tsunami setinggi 12 meter melanda kota dan menghancurkan seluruh pelabuhan; ribuan orang yang berada di sepanjang pantai tewas ditelan ombak. Setelah gempa dan tsunami reda, kebakaran yang mengerikan terjadi, berkobar selama lima hari lima malam menghancurkan apa yang masih disisakan oleh gempa dan tsunami. Akhirnya lebih dari tiga perempat kota rata dengan tanah, sekitar 90,000 dari 275,000 penduduk tewas. Gempa yang terjadi pada hari raya umat Katolik dan menghancurkan hampir seluruh gereja dikota Lisbon yang relijius itu sangat mengguncang kehidupan spiritual dan intelektual bangsa Eropah.

Banyak tokoh agama dan pendeta, seperti biasa menyebut gempa itu sebagai kemarahan dan hukuman Tuhan terhadap dosa-dosa manusia.Tetapi para intelektual waktu itu, seperti ahli filsafat Voltaire dan Jean Jacques Rousseau, menolak pendapat gempa sebagai hukuman Tuhan tetapi menyebutnya sebagai kejadian alam yang netral. Sekarang, dua setengan abad kemudian kita tahu bahwa kulit bumi merupakan lempeng-lempeng tektonik yang mengambang di atas magma cair. Gempa bumi terjadi karena pergeseran antar lempeng-lempeng ini.Teori lempeng tektonik merupakan tulang punggung geologi modern dan dapat menjelaskan hampir semua pristiwa gempa besar didunia.


Menurut sejarah, manusia baru menghuni bumi beberapa ratus ribu tahun terakhir, sedangkan badai, gempa dan letusan gunung berapi telah berlangsung selama 4 miliar tahun atau lebih. Bagaimana mungkin akhlak masyarakat Aceh dikait-kaitkan sebagai penyebab gempa yang sudah berjalan milyaran tahun? Keyakinan kita tetap, bahwa Allah adalah sumber hukum yang mengendalikan fenomena alam - tetapi sangat tidak relevan untuk mengatakan bahwa gempa Aceh 2004 disebakan oleh dosa-dosa masyarakatnya. Apapun pendapat kita, sikap yang jelas lebih bermanfaat adalah berusaha mengurangi korban yang jatuh karena bencana alam itu. Jika kita ingin menyelamatkan nyawa mereka, sangat penting bagi kita memahami ilmu dibalik gempa bumi, meteorologi dan klimatologi daripada mencari-cari dosa orang-orang yang sedang haus pertolongan. Wallohu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar