BENARKAH DOSA MENGUNDANG BENCANA?
Oleh: Jum’an
Kita sama-sama mengetahui bahwa cuaca buruk di muka bumi
makin sering terjadi dan bertambah mengerikan. Peningkatan ini pastilah ada
asal-usul dan sebab musababnya. Entah kehendak Allah untuk menghukum manusia
atas dosa-dosanya yang semakin beragam dan menggila atau akibat ulah manusia
yang merusak alam dan merangsang terjadinya banjir dan badai. Meskipun tidak
ada bukti yang meyakinkan bahwa tsunami yang melanda Aceh pada 2004 atau topan
raksasa Haiyan di Filipina akhir-akhir ini adalah akibat dari perbuatan manusia
merusak alam, tetapi para
ahli percaya bahwa aktivitas manusia merupakan kekuatan utama di balik
perubahan iklim dan perubahan iklim akan menyebabkan lebih banyak badai dahsyat
seperti Haiyan, Sandy dan Phailin. Anggapan bahwa bencana yang mengerikan, seperti
angin topan, gempa maupun tsunami adalah tindakan Tuhan untuk mengingatkan atau
menghukum umat manusia, banyak dipercayai oleh kaum beragama baik Islam, Yahudi
maupun Nasrani. Di Barat dan di Timur, di negeri maju maupun di negeri
terbelakang. Tidak hanya sekali saya mendengar khotib solat Jum’at yang
menyatakan dengan nada menuduh bahwa masyarakat Aceh yang bergelar Serambi
Mekah telah meninggalkan agamanya, hilang iman mereka dan karena itu Allah
menurunkan bencana bagi mereka. Ada pula ulama Iran yang menyatakan bahwa
wanita yang berpakaian tidak sopan dan berperilaku sembarangan yang seharusnya
dipersalahkan atas terjadinya gempa. Menyingkap
Kerudung Mengundang Gempa. Di negeri Barat banyak tokoh agama Yahudi maupun
Nasrani yang meyakini bahwa gempa besar yang terjadi adalah akibat dari
kegiatan-kegiatan homoseksual (perkawinan sesama jenis) yang menentang fitrah manusia
atau kehendak Tuhan. Cobalah Google “homosex and earthquake”
andapun akan tahu.
Ketika terjadi gempa
dahsyat di Lisbon 250 tahun lalu, ketegangan antara kaum agama dan para
intelektual memuncak. Inilah sekelumit
kisah gempa dahsyat dan ketegangan itu: Tanggal 1 November tahun 1755
jatuh pada hari Minggu. Pagi hari itu cuaca di Lisbon ibukota Portugal sangat
cerah dan hangat. Lisbon merupakan salah satu pelabuhan paling penting dan
terkaya di Eropa pada saat itu. Penduduknya yang terkenal relijius sedang
merayakan “Hari Semua Orang Kudus” (All Saint’s Day) dengan penuh gairah. Gereja-gereja
dipenuhi jemaat pengunjung. Pukul 9.30 pagi terjadi getaran gempa yang lemah yang
disusul dengan suara gemuruh yang makin keras dan makin keras, sampai menyerupai
dentuman meriam dan terjadilah guncangan dahsyat yang pertama. Pada 09:40 semua
lonceng kota berbunyi bersamaan karena guncangan gempa dan beberapa detik
kemudian gedung-gedung mulai runtuh. Tiga guncangan besar berturut-turut
terjadi selama 10 menit berikutnya, kebanyakan orang tewas akibat runtuhnya
gereja-gereja yang penuh pengunjung yg sedang mengikuti misa kedua pagi hari
itu.
Orang-orang melarikan diri ke arah pelabuhan di mana ada
lapangan istana yang luas untuk perlindungan yg aman dari reruntuhan bangunan.
Di sana mereka menyaksikan kejadian yang sangat aneh: Laut surut dan berubah
menjadi daratan dan sungai Tagus kering sampai kedasar. Jam 10 lebih 10,
gelombang tsunami setinggi 12 meter melanda kota dan menghancurkan seluruh
pelabuhan; ribuan orang yang berada di sepanjang pantai tewas ditelan ombak.
Setelah gempa dan tsunami reda, kebakaran yang mengerikan terjadi, berkobar
selama lima hari lima malam menghancurkan apa yang masih disisakan oleh gempa
dan tsunami. Akhirnya lebih dari tiga perempat kota rata dengan tanah, sekitar
90,000 dari 275,000 penduduk tewas. Gempa yang terjadi pada hari raya umat
Katolik dan menghancurkan hampir seluruh gereja dikota Lisbon yang relijius itu
sangat mengguncang kehidupan spiritual dan intelektual bangsa Eropah.
Banyak tokoh agama dan pendeta, seperti biasa menyebut gempa
itu sebagai kemarahan dan hukuman Tuhan terhadap dosa-dosa manusia.Tetapi para intelektual
waktu itu, seperti ahli
filsafat Voltaire dan Jean Jacques Rousseau, menolak pendapat gempa sebagai
hukuman Tuhan tetapi menyebutnya sebagai kejadian alam yang netral. Sekarang,
dua setengan abad kemudian kita tahu bahwa kulit bumi merupakan lempeng-lempeng
tektonik yang mengambang di atas magma cair. Gempa bumi terjadi karena
pergeseran antar lempeng-lempeng ini.Teori lempeng tektonik merupakan tulang
punggung geologi modern dan dapat menjelaskan hampir semua pristiwa gempa besar
didunia.
Menurut sejarah, manusia baru menghuni bumi beberapa
ratus ribu tahun terakhir, sedangkan badai, gempa dan letusan gunung berapi
telah berlangsung selama 4 miliar tahun atau lebih. Bagaimana mungkin akhlak
masyarakat Aceh dikait-kaitkan sebagai penyebab gempa yang sudah berjalan milyaran
tahun? Keyakinan kita tetap, bahwa Allah adalah sumber hukum yang mengendalikan
fenomena alam - tetapi sangat tidak relevan untuk mengatakan bahwa gempa Aceh
2004 disebakan oleh dosa-dosa masyarakatnya. Apapun pendapat kita, sikap yang jelas
lebih bermanfaat adalah berusaha mengurangi korban yang jatuh karena bencana
alam itu. Jika kita ingin menyelamatkan nyawa mereka, sangat penting bagi kita memahami
ilmu dibalik gempa bumi, meteorologi dan klimatologi daripada mencari-cari dosa
orang-orang yang sedang haus pertolongan. Wallohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar