SOLAT INTUITIF
DAN OTOMATIS
Oleh:
Jum’an
CPU komputer saya ada dibawah meja berukuran 120 x 75 cm
diatas dingklik setinggi 10 centi. Karena ruang gerak terlalu sempit saya menggunakan
jempol kaki untuk menekan tombol on-off tiap kali menghidupkan komputer. Tetapi
mencolokkan flashdisk kedalam lubang USB tidak mungkin menggunakan kaki, jadi
saya terpaksa mengulurkan tangan kebawah meja mecari lubang kecil itu tanpa
melihatnya. Mula-mula selalu kesasar dan lama meraba-raba, tapi untuk
selanjutnya tangan saya seperti punya mata sendiri dan tak pernah salah. Tahu
persis dimana titik yang saya cari. Demikian pula dengan parkir paralel atau
memarkir mobil kedalam garasi yang sempit. Sesudah beberapa kali kesulitan maju
mundur, selanjutnya mobil dan badan kita serasa menyatu sehingga jarak beberapa
centimeter saja serasa terdeteksi dengan baik; tak pernah menyerempet tembok
atau mobil lain. Anda begitu juga; untuk hal yang sama atau yang lain. Gerakan
gerakan kita ternyata menunjukkan kemanjuran yang tidak kita sangka dan
menjadikan kita percaya diri.
Tetapi ingat-ingat ini: Sekali kita sudah terbiasa
dengan letak lubang USB dibawah meja atau parkir parallel atau ketrampilan
lainnya, jangan lagi dipikir waktu mengerjakannya. Sebab memikirkan sesuatu
yang sedang kita kerjakan akan merusak kinerja kita. Dalam blognya The
Myth of ‘Just Do It’ Barbara
Montero seorang profesor filsafat mengutip rumus seorang tokoh baseball Yogi Berra:
“Anda tidak bisa memukul dan berpikir pada saat
yang sama.” Juga nasehat koreografer terkenal George Balanchine kepada
para penarinya “Don’t think, dear; just do.” Jangan dipikir, lakukan saja! Bagi
yang sudah terlatih melakukan sesuatu, memikirkan apa yang sedang dilakukannya
mengarah pada ketidak-akuratan, kesalahan dan kadang-kadang bahkan ketidak-berdayaan
total. Membawa gelas penuh air sambil memikirkan
caranya akan membuat tangan kita bergoyang dan menumpahkannya; berpidato sambil
memikirkan bagamana cara memulainya bisa membuat kita tersedak. Sebabnya,
menurut sebuah artikel dalam The Scientific American yang pernah saya kutip
dalam tulisan saya Akibat
Terlalu Banyak Berpikir, "Mencoba
berkonsentrasi untuk memantau kwalitas kinerja kita sendiri adalah
kontraproduktif karena otak kecil kita, yang mengatur gerakan yang komplek tidak
mungkin kita akses dengan sadar dan disengaja."
Saya kira fenomena diatas ada kaitannya
dengan usaha saya yang selalu gagal untuk melaksanakan tertib solat dengan
baik. Bukankah kita yang selalu melakukan solat wajib lima kali sehari sangat
terlatih dan lancar melakukan urutan langkah-langkah dari takbir hingga salam? Kita
melakukannya secara intuitif dan otomatis. Tidak kita pikir-pikir lagi. Meskipun
demikian tidak jarang diantara kita yang tersesat di rakaat mana kita sedang berada.
Saat itulah kita berfikir untuk mencari kejelasan supaya dapat melanjutkan langkah
berikutnya. Karena daya ingat yang menurun dimakan usia, saya memakai cara
begini: Ketika berdiri untuk mulai setiap rakaat, pikiran saya berkata: ini
adalah rakaat ke sekian. Saya berharap cara ini akan menghilangkan keraguan. Tetapi
waktu melakukan rakaat berikutnya selalu muncul pikiran: rakaat yang sebelum
ini tadi sudah saya kerjakan atau baru rencana dalam pikiran? Pikiran pun menjadi buntu dan solat 4 rakaat
saya tetap berpotensi meleset menjadi tiga atau lima rakaat. Kita memang sulit untuk
mengerjakan sesuatu sambil memantaunya secara bersamaan.
Dalam sebuah penelitian, dua kelompok mahasiswa diberi
tugas untuk memberikan peringkat lima buah merk selai, dari yang terbaik sampai
yang terburuk. Kelompok pertama hanya diminta menentukan peringkatnya saja,
sedangkan kelompok kedua diminta juga untuk menyertakan alasan-alasan mereka.
Hasilnya, kelompok pertama menunjukkan pernilaian yang cukup konsisten, selaras
baik antar mereka dalam satu kelompok maupun dengan pernilaian dari Lembaga
Konsumen. Sedangkan penilaian oleh
lompok kedua yang harus menyertakan alasan, ternyata kacau dan saling berbeda
baik antar anggota kelompok maupun dengan penilaian Lembaga Konsumen. Para
peneliti menduga karena kelompok kedua lebih banyak berpikir dalam menilai dan
mempengaruhi hasil penilaian mereka.
Bagi mereka yang sudah ahli atau terbiasa baik dalam berolah
raga, menari, menyanyi, berkhotbah maupun solat, tidaklah seharusnya untuk berfikir
waktu mengerjakannya karena pertimbangan cermat dapat menimbulkan kesulitan.
Wallohu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar