14/07/13

SOLAT INTUITIF DAN OTOMATIS


SOLAT INTUITIF DAN OTOMATIS
Oleh: Jum’an

CPU komputer saya ada dibawah meja berukuran 120 x 75 cm diatas dingklik setinggi 10 centi. Karena ruang gerak terlalu sempit saya menggunakan jempol kaki untuk menekan tombol on-off tiap kali menghidupkan komputer. Tetapi mencolokkan flashdisk kedalam lubang USB tidak mungkin menggunakan kaki, jadi saya terpaksa mengulurkan tangan kebawah meja mecari lubang kecil itu tanpa melihatnya. Mula-mula selalu kesasar dan lama meraba-raba, tapi untuk selanjutnya tangan saya seperti punya mata sendiri dan tak pernah salah. Tahu persis dimana titik yang saya cari. Demikian pula dengan parkir paralel atau memarkir mobil kedalam garasi yang sempit. Sesudah beberapa kali kesulitan maju mundur, selanjutnya mobil dan badan kita serasa menyatu sehingga jarak beberapa centimeter saja serasa terdeteksi dengan baik; tak pernah menyerempet tembok atau mobil lain. Anda begitu juga; untuk hal yang sama atau yang lain. Gerakan gerakan kita ternyata menunjukkan kemanjuran yang tidak kita sangka dan menjadikan kita percaya diri.
Tetapi ingat-ingat ini: Sekali kita sudah terbiasa dengan letak lubang USB dibawah meja atau parkir parallel atau ketrampilan lainnya, jangan lagi dipikir waktu mengerjakannya. Sebab memikirkan sesuatu yang sedang kita kerjakan akan merusak kinerja kita. Dalam blognya The Myth of ‘Just Do It’  Barbara Montero seorang profesor filsafat mengutip rumus seorang tokoh baseball Yogi Berra: “Anda tidak bisa memukul dan berpikir pada saat  yang sama.” Juga nasehat koreografer terkenal George Balanchine kepada para penarinya “Don’t think, dear; just do.” Jangan dipikir, lakukan saja! Bagi yang sudah terlatih melakukan sesuatu, memikirkan apa yang sedang dilakukannya mengarah pada ketidak-akuratan, kesalahan dan kadang-kadang bahkan ketidak-berdayaan total. Membawa gelas penuh air sambil memikirkan caranya akan membuat tangan kita bergoyang dan menumpahkannya; berpidato sambil memikirkan bagamana cara memulainya bisa membuat kita tersedak. Sebabnya, menurut sebuah artikel dalam The Scientific American yang pernah saya kutip dalam tulisan saya Akibat Terlalu Banyak Berpikir, "Mencoba berkonsentrasi untuk memantau kwalitas kinerja kita sendiri adalah kontraproduktif karena otak kecil kita, yang mengatur gerakan yang komplek tidak mungkin kita akses dengan sadar dan disengaja."
Saya kira fenomena diatas ada kaitannya dengan usaha saya yang selalu gagal untuk melaksanakan tertib solat dengan baik. Bukankah kita yang selalu melakukan solat wajib lima kali sehari sangat terlatih dan lancar melakukan urutan langkah-langkah dari takbir hingga salam? Kita melakukannya secara intuitif dan otomatis. Tidak kita pikir-pikir lagi. Meskipun demikian tidak jarang diantara kita yang tersesat di rakaat mana kita sedang berada. Saat itulah kita berfikir untuk mencari kejelasan supaya dapat melanjutkan langkah berikutnya. Karena daya ingat yang menurun dimakan usia, saya memakai cara begini: Ketika berdiri untuk mulai setiap rakaat, pikiran saya berkata: ini adalah rakaat ke sekian. Saya berharap cara ini akan menghilangkan keraguan. Tetapi waktu melakukan rakaat berikutnya selalu muncul pikiran: rakaat yang sebelum ini tadi sudah saya kerjakan atau baru rencana dalam pikiran?  Pikiran pun menjadi buntu dan solat 4 rakaat saya tetap berpotensi meleset menjadi tiga atau lima rakaat. Kita memang sulit untuk mengerjakan sesuatu sambil memantaunya secara bersamaan.
Dalam sebuah penelitian, dua kelompok mahasiswa diberi tugas untuk memberikan peringkat lima buah merk selai, dari yang terbaik sampai yang terburuk. Kelompok pertama hanya diminta menentukan peringkatnya saja, sedangkan kelompok kedua diminta juga untuk menyertakan alasan-alasan mereka. Hasilnya, kelompok pertama menunjukkan pernilaian yang cukup konsisten, selaras baik antar mereka dalam satu kelompok maupun dengan pernilaian dari Lembaga Konsumen.  Sedangkan penilaian oleh lompok kedua yang harus menyertakan alasan, ternyata kacau dan saling berbeda baik antar anggota kelompok maupun dengan penilaian Lembaga Konsumen. Para peneliti menduga karena kelompok kedua lebih banyak berpikir dalam menilai dan mempengaruhi hasil penilaian mereka.

Bagi mereka yang sudah ahli atau terbiasa baik dalam berolah raga, menari, menyanyi, berkhotbah maupun solat, tidaklah seharusnya untuk berfikir waktu mengerjakannya karena pertimbangan cermat dapat menimbulkan kesulitan. Wallohu a’lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar