DENG
XIAOPING & KUCING HITAMNYA
Oleh:
Jum’an
Sebuah
jajak pendapat oleh lembaga survey terkenal Baseera di Mesir menunjukkan bahwa
populariatas Presiden Mohammad Mursi telah menurun tajam dari 78% pada Sept.
2012 anjlok menjadi 49% beberapa pekan terakhir. Mereka yang tak setuju dengan
kinerja Presiden naik dari 15% menjadi 43% dalam tujuh bulan terakhir. Setelah
100 hari menjabat, 58% responden menyatakan akan memilih dia lagi sedang
hari-hari terakhir ini hanya 35% yang menyatakan demikian. Mursi adalah ketua
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang dibentuk oleh Ikhwanul Muslimin
setelah Revolusi mesir 2011. Ia maju sebagai calon presiden dar FJP pada pemilu
2012 dan menang. Di Tunisia yang mengalami revolusi lebih awal (2011), Mohammad
Rashid Ghannushi pemimpin partai Islam Hizb-Nahdhah yang berkuasa tidak jauh
berbeda nasibnya. Ia dilempari tomat dan telur busuk dalam acara peringatan
jatuhnya pemerintah yang sebelumnya, karena banyak warga yang tidak puas dengan
kinerja pemerintah. Menurut hasil survei bulan Februari lainnya, 77% responden menyatakan
Tunisia bergerak kearah yang salah. Tingkat ketidak-puasan terhadap kinerja
pemerintah tertinggi selama 2 tahun.
Demikian dimuat dalam The
Daily Star Lebanon 13 Maret yang lalu. Disertai banyak contoh kasus
lain termasuk Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon disimpulkan bahwa
kinerja, dan bukan kesalehan yang merupakan faktor utama bagi suatu gerakan Islam
untuk memperoleh dukungan rakyat setelah mereka memegang kendali pemerintahan. Ikhwanul
Muslimin adalah organisasi yang berlandaskan dan memandang Islam
sebagai dien yang universal dan menyeluruh, bukan sekedar urusan ibadah ritual.
Tujuannya mewujudkan terbentuknya individu muslim, rumah tangga serta pemerintahan
yang Islami, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan mengibarkan bendera jihad
dan dakwah sehingga dunia mendapatkan ketenteraman dengan ajaran-ajaran Islam. Ikhwanul Muslimin banyak memberikan inspirasi pada organisasi-organisasi
di Indonesia seperti Partai Masyumi, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
Konflik
kepentingan idealisme dan tuntutan rakyat bagi partai politik yang berkuasa selalu terjadi dimana-mana. Partai yang semula
populer karena idealismenya ternyata kinerjanya buruk ketika harus menjalankan
roda pemerintahan.
Deng Xiaoping adalah
Perdana Menteri RRC dan tokoh paling berkuasa China sesudah Mao Zedong dari tahun
70-an s/d awal 90-an. Tidak seperti Mao, Deng tidak menganggap politik sebagai
panglima. Pandangan politik haruslah komunis tetapi ekonomi tidak harus, sebab
tujuan pembangunan ekonomi Cina adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Teori tradisional Maois memfokuskan pengembangan China pada
pembangunan sosialisme dan perjuangan kelas, sementara teori Deng menekankan
pembangunan ekonomi dan stabilitas. Ia memasukkan pola ekonomi pasar dalam
sistem politik Marxis-Leninis. Menurutnya menjunjung ajaran Mao tidak berarti
meniru tindakannya secara membabi buta seperti yang dilakukan pemerintahan PM
Hua Guofeng sebelumnya. Deng juga menganjurkan membuka Cina ke dunia luar serta
mendukung pragmatisme politik dan ekonomi.
Semboyan Deng yang terkenal adalah: “Tidak peduli kucing putih
atau kucing hitam asalkan bisa menangkap tikus” Dengan kata lain ia tidak
terlalu khawatir tentang apakah kebijakan itu kapitalis atau sosialis asalkan
meningkatkan perekonomian. Sementara semboyan di era Mao Zedong adalah: "Kereta
sosialis yang datang terlambat lebih baik daripada kereta kapitalis yang tepat
waktu". Sukses pertumbuhan ekonomi China yang fenomenal adalah berkat jasa
pragmatisme teori Deng Xiaoping.
Hampir bersamaan waktu dengan gejolak Partai Komunis China dimasa
Deng Xiaoping, Partai Nahdatul Ulama (NU) di Indonesia juga menghadapi dualisme
kepentingan antara idealisme dan tuntutan masyarakat. NU akhirnya tidak lagi
menjadi partai politik dan kembali ke organisasi sosial keagamaan pada 1984.
Nahdatul Ulama didirikan
tahun 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan dengan tujuan mempertahankan ajaran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan untuk menghadapi tekanan-tekanan Pemerintah
Penjajah Belanda terhadap ummat Islam di Indonesia. Garis perjuangan sosial
keagamaan ini mengalami banyak kendala dan kritik internal sejak NU menjadi
partai politik pada tahun 1952. Oleh karena itu pada Muktamar ke 27 tahun 1984 di
Situbondo diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi sosial
keagamaan dan tidak terlibat dalam politik praktis lagi.
Adapun Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang sekarang disibukkan dengan kemelut impor daging
sapi, menurut Harian Republika adalah :”Partai Islam Pengadopsi Ikhwanul Muslimin yang Gagal”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar