TERTIDUR DI GEREJA INGGRIS
Oleh: Jum’an
Saya masih ingat menjadi murid SMA tahun 1960-an. Setiap
siang hari Jum’at sepulang sekolah, saya mengenakan kain sarung berpanas-panas
bersepeda pergi ke masjid. Sementara pada hari Minggu pagi siswa-siswi Kristen yang
seusia saya, segar sehabis mandi pagi dan berpakaian necis, berpasangan
masing-masing membawa alkitab ukuran palmtop, bergandengan pergi ke gereja. Ada
rasa iri dihati saya melihat mereka berpasangan ketempat kebaktian dipagi hari ceria
dan bersemangat. Seperti jalan-jalan pagi menghirup udara segar. Ketika kita
sama-sama dewasa menjadi kaum pekerja mencari sesuap nasi, saya tidak lagi
merasa iri kerena pada hari Minggu saya dapat berleha-leha sepajang hari
sementara mereka harus bangun pagi, mandi, berdandan untuk pergi ke gereja. Silahkan!
Gambaran itu tentu saja tidak sepenuhnya
benar. Tetapi kini, kewajiban pergi ke gereja pada hari Minggu dirasakan makin berat oleh
kaum katolik di Inggris.
Dalam kehidupan ekstra sibuk masa kini, hari minggu dinilai tidak ideal untuk
pergi ke gereja. Orang sibuk dengan berbelanja, hiburan bersama keluarga, merapihkan
rumah dan halaman. Umat makin
mengebelakangkan tradisi berabad-abad menghadiri kebaktian hari Minggu karena
hiburan dan ikatan sosial lainnya. Pimpinan gereja Lichfield, Pendeta Adrian
Dorber, mengatakan banyak orang sebenarnya masih mendambakan ibadah yang tenang,
tetapi mencari saat yang kurang mendesak dibandingkan hari Minggu pagi. Sebagai
jalan keluar mereka memilih pergi kegereja katedral (keuskupan) yang besar
dipertengahan minggu daripada kegereja-gereja paroki pada hari Minggu. Kenaikan
jemaat Katedral menunjukkan banyak orang tertarik dengan formalitas dan tidak
perlu saling kenal di gereja yang besar. Dalam dekade terakhir jumlah orang
dewasa yang menghadiri gereja katedral naik 30% lebih, sementara pengunjung kebaktian
hari Minggu di paroki-paroki turun separohnya sejak 1960-an.
Tahun lalu Lord Carey, mantan
Uskup Agung Canterbury (pimpinan tertinggi Gereja Inggris dan Agama
Katolik Anglican sedunia) memberikan sebuah peringatan fatal bahwa Gereja
Inggris akan punah
dalam waktu satu generasi mendatang
jika tidak melakukan terobosan yang dramatis untuk menarik kaum muda kembali
beriman. Para pendeta kini dicekam rasa kalah dan jemaat makin menurun oleh
rasa enggan, sementara masyarakat hanya menanggapi keduanya dengan mengangkat
bahu dan menguap bosan. Uskup Agung York, Dr. John Sentamu menggaris-bawahi
peringatan Lord Carey dengan menyerukan kampanye ambisius yang ditujukan untuk
"penginjilan kembali Inggris" kalau tidak, “kita akan menjadi
fosil". Ia berharap Gereja mau
mengadopsi sikap para misionaris baru dan menghentikan perdebatan
berkepanjangan seperti sibuk menata meja-kursi ketika rumah sedang terbakar.
"Tragisnya yang selalu kita lakukan adalah reorganisasi struktur, berdebat
tentang kata-kata dan ungkapan, sementara masyarakat dibiarkan menggelepar di
tengah kecemasan dan putus asa". Uskup Blackburn mengatakan Gereja Inggris
harus membuat perubahan
besar-besaran yang radikal
untuk menghentikan penyusutan jemaat, atau layu di abad 21. Beberapa perbaikan
dan penyesuaian saja tidak akan cukup. Jika penurunan berlanjut seperti
sekarang, tidak akan ada lagi Gereja Inggris di Lancashire pada tahun 2050.
Andrew Norman Wilson seorang
kolumnis Inggris terkemuka, mempertanyakan peringatan Lord Carey bahwa Gereja
Inggris akan punah dalam satu generasi, bahwa pendeta dicekam oleh rasa kalah
dan jemaat menurun karena lelah dan enggan. Apakah Lord Carey menderita sindrom
kesal seorang manula? Tetapi Wilson menjawab sendiri: “Sayangnya
Lord Carey memang benar!”
Menurutnya Gereja Inggris adalah lembaga yang hampir mati yg diteruskan oleh
dan untuk orang-orang tua. Pendeta-pendetanya kurang berpendidikan dan kemampuan
public-speaking mereka nihil. Padahal Gereja Inggris membayar birokrat
puncaknya lebih dari
gaji Perdana Menteri. Sejumlah
pegawai biasa di markas Gereja London menerima lebih dari 100.000 pound setahun
(sekitar 150 juta rupiah per bulan?). Komisi Amal yang menghimpun dana untuk
membantu kaum miskin, memperingatkan
bahwa menyumbang untuk gereja berisiko membawa tujuan yang baik menjadi
keburukan dengan memberikan gaji terlalu tinggi bagi pejabat-pejabat Gereja.
Menurut Wilson, ada dua alasan
yang sulit dibantah mengapa jemaat begitu menurun. Yang pertama adalah seks.
Agama mengajarkan bahwa tidak ada hubungan seksual yang diizinkan di luar
pernikahan sementara kini apa yang dulu disebut hidup dalam dosa, benar-benar
dianggap normal. Hampir semua orang muda, ketika mereka mencapai saat tertentu
dalam hubungan mereka, mencoba hidup bersama.
Alasan kedua adalah hal yang jauh lebih besar yaitu penurunan keyakinan
itu sendiri. Kebanyakan orang tidak bisa mempercayai bahwa Tuhan mengambil
bentuk seorang manusia yang dilahirkan oleh seorang perawan atau akan bangkit
dari kematian. Tidak masuk akal mereka. Bagaimana Gereja dengan cerita-cerita
seperti itu mau mengatur bagaimana orang berperilaku di kamar tidur. Ketidak-percayaan,
dan perubahan kebiasaan seksual, tidak hanya mempengaruhi penurunan jemaat
Anglikan, tetapi seluruh sejarah Gereja Barat. Orang tidak berpikir bahwa
kumpul kebo itu adalah dosa, bahwa homoseks adalah dosa dan mereka tidak lagi
benar-benar percaya pada penjelmaan. Ini dalah sesuatu yang mengerikan, kata
Wilson.
Dalam dunia narsis yang dipenuhi
sikap riya dan kepuasan instan, nilai-nilai dan hakekat keimanan bisa nampak usang.
Cermin bagi semua umat beragama. Na’uzubillah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar