06/12/14

TERTIDUR DI GEREJA INGGRIS


TERTIDUR DI GEREJA INGGRIS
Oleh: Jum’an

Saya masih ingat menjadi murid SMA tahun 1960-an. Setiap siang hari Jum’at sepulang sekolah, saya mengenakan kain sarung berpanas-panas bersepeda pergi ke masjid. Sementara pada hari Minggu pagi siswa-siswi Kristen yang seusia saya, segar sehabis mandi pagi dan berpakaian necis, berpasangan masing-masing membawa alkitab ukuran palmtop, bergandengan pergi ke gereja. Ada rasa iri dihati saya melihat mereka berpasangan ketempat kebaktian dipagi hari ceria dan bersemangat. Seperti jalan-jalan pagi menghirup udara segar. Ketika kita sama-sama dewasa menjadi kaum pekerja mencari sesuap nasi, saya tidak lagi merasa iri kerena pada hari Minggu saya dapat berleha-leha sepajang hari sementara mereka harus bangun pagi, mandi, berdandan untuk pergi ke gereja. Silahkan!  Gambaran itu tentu saja tidak sepenuhnya benar. Tetapi kini, kewajiban pergi ke gereja pada hari Minggu dirasakan makin berat oleh kaum katolik di Inggris. Dalam kehidupan ekstra sibuk masa kini, hari minggu dinilai tidak ideal untuk pergi ke gereja. Orang sibuk dengan berbelanja, hiburan bersama keluarga, merapihkan rumah dan halaman. Umat makin mengebelakangkan tradisi berabad-abad menghadiri kebaktian hari Minggu karena hiburan dan ikatan sosial lainnya. Pimpinan gereja Lichfield, Pendeta Adrian Dorber, mengatakan banyak orang sebenarnya masih mendambakan ibadah yang tenang, tetapi mencari saat yang kurang mendesak dibandingkan hari Minggu pagi. Sebagai jalan keluar mereka memilih pergi kegereja katedral (keuskupan) yang besar dipertengahan minggu daripada kegereja-gereja paroki pada hari Minggu. Kenaikan jemaat Katedral menunjukkan banyak orang tertarik dengan formalitas dan tidak perlu saling kenal di gereja yang besar. Dalam dekade terakhir jumlah orang dewasa yang menghadiri gereja katedral naik 30% lebih, sementara pengunjung kebaktian hari Minggu di paroki-paroki turun separohnya sejak 1960-an.

Tahun lalu Lord Carey, mantan Uskup Agung Canterbury (pimpinan tertinggi Gereja Inggris dan Agama Katolik Anglican sedunia) memberikan sebuah peringatan fatal bahwa Gereja Inggris akan punah dalam waktu satu generasi mendatang jika tidak melakukan terobosan yang dramatis untuk menarik kaum muda kembali beriman. Para pendeta kini dicekam rasa kalah dan jemaat makin menurun oleh rasa enggan, sementara masyarakat hanya menanggapi keduanya dengan mengangkat bahu dan menguap bosan. Uskup Agung York, Dr. John Sentamu menggaris-bawahi peringatan Lord Carey dengan menyerukan kampanye ambisius yang ditujukan untuk "penginjilan kembali Inggris" kalau tidak, “kita akan menjadi fosil".  Ia berharap Gereja mau mengadopsi sikap para misionaris baru dan menghentikan perdebatan berkepanjangan seperti sibuk menata meja-kursi ketika rumah sedang terbakar. "Tragisnya yang selalu kita lakukan adalah reorganisasi struktur, berdebat tentang kata-kata dan ungkapan, sementara masyarakat dibiarkan menggelepar di tengah kecemasan dan putus asa". Uskup Blackburn mengatakan Gereja Inggris harus membuat perubahan besar-besaran yang radikal untuk menghentikan penyusutan jemaat, atau layu di abad 21. Beberapa perbaikan dan penyesuaian saja tidak akan cukup. Jika penurunan berlanjut seperti sekarang, tidak akan ada lagi Gereja Inggris di Lancashire pada tahun 2050.

Andrew Norman Wilson seorang kolumnis Inggris terkemuka, mempertanyakan peringatan Lord Carey bahwa Gereja Inggris akan punah dalam satu generasi, bahwa pendeta dicekam oleh rasa kalah dan jemaat menurun karena lelah dan enggan. Apakah Lord Carey menderita sindrom kesal seorang manula? Tetapi Wilson menjawab sendiri:  “Sayangnya Lord Carey memang benar!” Menurutnya Gereja Inggris adalah lembaga yang hampir mati yg diteruskan oleh dan untuk orang-orang tua. Pendeta-pendetanya kurang berpendidikan dan kemampuan public-speaking mereka nihil. Padahal Gereja Inggris membayar birokrat puncaknya lebih dari gaji Perdana Menteri. Sejumlah pegawai biasa di markas Gereja London menerima lebih dari 100.000 pound setahun (sekitar 150 juta rupiah per bulan?). Komisi Amal yang menghimpun dana untuk membantu kaum miskin,  memperingatkan bahwa menyumbang untuk gereja berisiko membawa tujuan yang baik menjadi keburukan dengan memberikan gaji terlalu tinggi bagi pejabat-pejabat Gereja.

Menurut Wilson, ada dua alasan yang sulit dibantah mengapa jemaat begitu menurun. Yang pertama adalah seks. Agama mengajarkan bahwa tidak ada hubungan seksual yang diizinkan di luar pernikahan sementara kini apa yang dulu disebut hidup dalam dosa, benar-benar dianggap normal. Hampir semua orang muda, ketika mereka mencapai saat tertentu dalam hubungan mereka, mencoba hidup bersama.  Alasan kedua adalah hal yang jauh lebih besar yaitu penurunan keyakinan itu sendiri. Kebanyakan orang tidak bisa mempercayai bahwa Tuhan mengambil bentuk seorang manusia yang dilahirkan oleh seorang perawan atau akan bangkit dari kematian. Tidak masuk akal mereka. Bagaimana Gereja dengan cerita-cerita seperti itu mau mengatur bagaimana orang berperilaku di kamar tidur. Ketidak-percayaan, dan perubahan kebiasaan seksual, tidak hanya mempengaruhi penurunan jemaat Anglikan, tetapi seluruh sejarah Gereja Barat. Orang tidak berpikir bahwa kumpul kebo itu adalah dosa, bahwa homoseks adalah dosa dan mereka tidak lagi benar-benar percaya pada penjelmaan. Ini dalah sesuatu yang mengerikan, kata Wilson.


Dalam dunia narsis yang dipenuhi sikap riya dan kepuasan instan, nilai-nilai dan hakekat keimanan bisa nampak usang. Cermin bagi semua umat beragama. Na’uzubillah…. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar