AGAMA – MENGAPA RUWET BEGINI?
Oleh: Jum’an
Budi pekerti yang baik, hati yang tenteram, dan kerukunan
bersama adalah suatu idaman dalam kehidupan beragama saya. Sedikit banyak saya telah
merasakan dan menikmatinya. Mungkin karena pergaulan saya yang sempit dan tidak
terlibat dalam kegiatan masyarakat yang berarti, maka kenikmatan itu terasa
nyata. Tetapi menikmati ketenteraman sambil menutup mata dari kenyataan
sebaliknya di dunia luar adalah tidak jujur. Setiap hari kita dihadapkan pada
berita-berita kekejaman dan kejahatan perang serta penderitaan umat. Pada 22
Agustus lalu, 70 jamaah solat Jum’at di masjid Sunni di propinsi Diyala Irak,
tewas dibantai sekelompok milisi Syiah. Konon itu pembalasan terhadap tewasnya
sejumlah milisi Syiah dalam bentrokan dengan kaum Sunni sebelumnya. Gerakan
ISIS membantai minoritas Yazidi karena dianggap menyembah berhala, berencana
menyerbu Ka’bah dan membunuh “para penyembah batu”, mengancam membom Candi
Borobudur, menyembelih wartawan Amerika James Foley dan bahkan mengancam
membunuh Paus. Belum lagi kekerasan agama lain seperti radikalisme penganut
Budha di Myanmar dan Sri Langka, ekstremis Hindu di India serta kekerasan kaum
Kristen ultra-kanan di Dunia Barat. Tindakan-tindakan kejam diatas semua dimotivasi
oleh oleh klaim yang dimiliki oleh penganut semua agama: Yaitu bahwa merekalah
pemilik kebenaran dan yang lain tidak. Pantaslah kalau banyak orang yang menyimpulkan
bahwa agama lah penyebab semua kekejaman dan penderitaan itu. Setidaknya agama
dapat menimbulkan kekejaman dan penderitaan.
Secara teoritis, ada alasan bahwa agama dapat
menyebabkan penderitaan mental dan membahayakan jiwa. Dr Marlene Winell adalah
salah satu pelopor teori itu, yang berbicara psikologi bagaimana
agama benar-benar dapat menyakiti orang. Marlene, konsultan pengembangan sumber daya
manusia dari California dan anak seorang pendeta, 20 tahun berprofesi
menyembuhkan orang dari gejala trauma karena agama (Religious Trauma Sydrome / RTS).
Menurutnya banyak gejala psikologis berbahaya dapat ditimbulkan oleh agama dan
berlanjut dari sana. Tetapi Asosiasi Konseling Kristen menolak pendapat Dr.
Marlene. Menurut mereka bukan agama, iman atau kitab yang dapat menyebabkan
penderitaan, tetapi mereka yang menafsirkan doktrin itu yang akhirnya melakukan
penyalahgunaan. Kata Marlene, gejala trauma yang menyakitkan itu berasal dari
dua hal: terbenam dalam aliran agama yang otoriter dan dampak sekunder dari meninggalkan
kelompok agama. Keduanya merupakan hal yang krusial dan sebagian besar orang
tidak mampu melakukannya. Melalui pendidikan, pemerintah atau orang tua
mempengaruhi dan akhirnya membentuk hati nurani seorang anak. Proses ini dapat
dikatakan sebagai indoktrinasi. Berpaling dari sistem kepercayaan yang sudah
dianut adalah melawan naluri seseorang, dan tidak alami dan mengakibatkan rasa
bersalah. Itulah mengapa agama benar-benar dapat menyakiti seseorang secara
mental dan emosional.
Dr. Charles Kimball, direktur Studi Agama Univ. Oklahoma adalah
seorang pendeta yang kebetulan arif dalam perbandingan agama-agama dan selalu
bekerja dengan organisasi lintas agama internasional. Dalam bukunya “When
Religion Becomes Evil” (Ketika Agama Menjadi Jahat) ia menulis bahwa,
agama-agama dunia yang telah teruji abadi, seperti Islam, Kristen, Yahudi,
Budha dan Hindu semua didasarkan pada prinsip-prinsip dasar cinta, perdamaian, kebaikan dan harmoni. Namun,
keaslian itu terkikis dan esensinya hilang ketika kecurangan manusia berakar
kedalam agama-agama itu. Dari contoh masa lampau dan masa kini, semuanya telah
bersalah melakukan tindakan barbar dan kekerasan yang mengerikan. Dr. Kimball
menengarai setidaknya empat
tanda-tanda peringatan ketika agama akan berubah menjadi kejahatan diantaranya klaim kebenaran mutlak, menuntut kesetiaan buta, memastikan waktu kiamat, dan menghalalkan
semua cara untuk mencapai tujuan. Atau dengan kata lain
mengabaikan kemanusiaan atas nama Tuhan. Setiap orang atau komunitas agama yang
mengklaim pengetahuan agama yang mutlak dan sempurna dan memaksa orang-orang
untuk berfikir sama, adalah perwujudan dari kelompok agama yang tak sehat. Jika
organisasi keagamaan mengatas namakan agamanya untuk membenarkan menyakiti
orang lain, agama itu telah menjadi jahat. Ketika agama menggunakan cara
kekerasan atau anti-sosial berarti agama telah terkontaminasi.
Penting untuk diingat bahwa agama adalah lembaga
manusia, itulah sebabnya mengapa agama yang indah dapat mengambil jalan yang
salah. Sepanjang sejarah, orang telah disesatkan oleh para pemimpin politik
karismatik sehingga masuk akal bahwa mereka dapat disesatkan oleh para pemimpin
agama karismatik juga. Seorang pemimpin agama bisa mengutip ayat kitab suci di
luar konteks dan menggunakannya untuk membenarkan perilaku kejam atau
kekerasan. Ayat-ayat itu sebenarnya terbuka untuk banyak penafsiran dan setiap
pemimpin yang mengklaim memiliki "kebenaran mutlak" membuka pintu
untuk penyalahgunaan. Setiap kali seorang pemimpin agama menuntut
"kesetiaan buta" untuk kewenangannya atau organisasinya dan melarang
pertanyaan atau perbedaan pendapat, agamanya itu tercemar.
Kita harus memiliki pikiran terbuka dan menjaga kekuatan
berpikir kritis tetap kita aktifkan. Ini adalah pertahanan terbaik terhadap
manipulasi oleh pemimpin agama yang kasar. Sebagai sebagai pemerhati
agama-agama, Dr. Kimball justru memilih ayat Qur’an (surat Al-Maidah ayat 48) untuk
menjelaskan tentang perselisihan agama:
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu
semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar