TERSANDERA OLEH TENGGANG
RASA
Oleh: Jum’an
Menghargai perasaan orang lain
atau bertenggang rasa adalah baik dan perlu demi kelancaran hubungan sesama kita.
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya dan tidak
dapat mencapai apa yang diinginkannya sendiri. Kita tidak dapat menyadari
identitas kita kecuali melalui kehidupan bermasyarakatl. Dalam
Video eksperimen Dr. Tronick:
“Still Face” ini, anak umur 1
tahun jelas dapat merasakan perubahan ekspresi wajah ibunya. Ia gelisah dan menangis
ketika ibunya tidak menanggapi perasannya. Ini mungkin bakat yang diberikan
Sang Pencipta sebagai bekal pertahanan dan perkembangan hidupnya nanti. Meskipun
tenggang rasa adalah baik dan manusiawi kita tidak mungkin untuk selalu menyenangkan
hati orang lain. Ada saatnya kita harus mengatakan tidak, karena masing-masing
kita memiliki batas-batas kepribadian sendiri . Yaitu
aturan dan prinsip tentang apa yang kita anggap boleh atau tidak boleh untuk
dilakukan, meliputi masalah fisik,
mental, emosiaonal dll. Batas-batas emosional misalnya, membedakan dan
memisahkan emosi dan tanggung jawab kita dari emosi dan tanggung jawab orang
lain. Seperti garis imajiner atau medan kekuatan yang memisahkan kita dengan
orang lain. Batas batas emosional yang sehat membuat kita tidak seenaknya
menasehati, menyalahkan atau menerima kesalahan orang lain. Melindungi kita
dari perasaan bersalah karena perasaan negatif atau masalah orang lain. Jika
kita kesulitan untuk mengatakan tidak dengan alasan tenggang rasa ketika kita
terganggu oleh tuntutan orang, merasa dikendalikan, dilecehkan, atau bahkan dipaksa
menerima kebaikan, adalah tanggung jawab kita untuk ber-reaksi. Tenggang rasa dapat
berubah menjadi kurang baik dan merusak, bahkan menyandera kita. Ada dua
penyebab mengapa
kita dapat dikendalikan oleh perasaan orang lain yang menyebabkan kita
merasa tersandera.
Pertama bila orang lain memiliki batas-batas kepribadian
yang buruk dan sengaja mengharapkan kita merasa bertanggung jawab atas perasaan
negatifnya, untuk selalu merasakan apa yang dia rasakan. Kalau ia dongkol, kita
tidak boleh bercanda dan kalau dia senang dia tak mau mengerti mengapa kita
bisa bersedih. Mereka umumnya adalah orang-orang yang narsistis atau penderita gangguan kepribadian (Borderline Personality
Disorder - BPD). Mereka mungkin dengan aktif berusaha untuk memanipulasi
kita dengan perasaan mereka. Mereka menyalahkan dan menuduh kita tidak sensitif
terhadap kebutuhan mereka, mereka melemparkan persoalan-persoalan mereka pada
kita, bahkan mereka mengancam mau bunuh diri. Mereka mencari penyaluran bagi
penderitaannya sendiri.
Yang kedua bila batas-batas kepribadian kita sendiri
yang lemah dan tidak sehat. Kita
menjadi seperti karet busa atau spons yang menyerap air comberan
sekalipun. Kita terbiasa menyerap dan menghayati perasaan orang lain seolah-olah
perasaan kita sendiri. Tidak peduli apakah orang lain itu baik atau buruk- kita
sangat terpengaruh oleh suasana hati mereka dan kita menghisap semuanya seperti
spons menghisap air. Banyak penyebab mengapa seseorang bisa menjadi seperti
spons. Umumnya (tetapi tidak selalu), mereka memiliki orang tua dengan gangguan
kepribadian, narsistis, pemabuk, atau orang tua yang kasar yang suasana hatinya
sangat tidak stabil. Lama-lama anak tersebut merasa dia "bertanggung
jawab" atas perilaku dan perasaan orang tuanya. Dia bisa menghabiskan masa
dewasanya mencoba untuk menyenangkan orang lain, dan menghambakan diri pada perasaan
orang lain, meskipun orang lain itu tidak bermaksud memperbudak atau
menyanderanya! Wajah seorang pimpinan mampak kurang ceria mungkin habis
bertengkar dengan isterinya dirumah. Kita merasa khawatir dan berdebar-debar
mendengar dan menanggapi kata-katanya, kita mengambil alih ketidak-senangannya seolah-olah
itu tanggung jawab kita.
Apa yang dapat kita lakukan
untuk memperkuat batas-batas kepribadian kita guna menghadapi para penyandera?
Richard Zwolinski (Standing
Up ForYou With An Emotional Hostage Taker) memberkan beberapa tips,
sebagian diantaranya:
Pertama, kita perlu menegaskan
pada diri sendiri: “Saya bukan Dia.” Saya bertanggung jawab untuk perasaan saya
sendiri; saya tak bertanggung jawab atas perasaan orang lain (dengan asumsi
bahwa kita tidak menghina, mengabaikan atau melecehkan orang lain). Saya tidak
perlu menghabiskan waktu dengan orang-orang yang menguras saya. Saya mampu
menangani perasaan sendiri. Kedua, kumpulkan tekad dan kekuatan untuk
mengucapkan ini pada orang yang mengganggu kita: “Saya bukan karung tinju sasaran
emosional anda. Keruwetan anda adalah urusan anda bukan urusan saya.” Disisi
lain, kita harus memahami perbedaan antara penyanderaan dan keluhan yang wajar.
Mungkin mereka mempunyai alasan yang sah untuk minta kita bertanggung jawab
atas tindakan yang telah kita lakukan. Jika seseorang yang secara umum baik
mengeluh tentang perilaku kita yang menurutnya berbahaya atau menyakitkan hati,
tetaplah terbuka dan positif, mendengarkan keluhan mereka, dan mengatasinya.
Sisihkan ego kita dan minta maaf dan mencoba untuk memperbaiki. Kita juga bisa
salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar